Kebenaran Seringkali Hilang, sedangkan Kepentingan Selalu Abadi
Perubahan sosial di
masyarakat selalu terjadi dan merupakan hal yang wajar dalam kehidupan manusia.
Perubahan sosial seringkali terjadi akibat suatu penemuan baru, yang berawal
dari pemikiran menjadi tekhnologi. Perubahan itu selalu memiliki akibat pada
kehidupan msyarakat, baik itu positif maupun negatif. Di dalam perubahan itu
juga, manusia selalu dituntut untuk beradaptasi, karena jika tidak mampu
beradaptasi maka manusia akan kewalahan dan mendapat efek negatif dalam menghadapi
perubahan tersebut.
Perubahan yang cepat
dalam masyarakat disebut dengan istilah revolusi. Bentuk revolusi yang cukup
besar dan berpengaruh adalah Revolusi Industri, yang di dalamnya terdapat
beberapa tahapan, dari Revolusi Industri 1.0 sampai sekarang Revlousi Industi
5.0. Setiap tahapan Revolusi Industri ditandai oleh ditemukannya tekhnologi
yang berbeda yang berdampak langsung pada masyarakat, terutama dalam bidang
ekonomi. Dampak itulah yang mesti dihadapi oleh masyarakat, karena apabila
tidak bisa dilakukan, maka manusia akan tergerus oleh perubahan tersebut.
Revolusi industri
pertama, yaitu pada di abad ke-18, ditandai dengan ditemukannya mesin uap,
sehingga pekerjaan yang awalnya di kerjakan oleh manusia digantikan oleh mesin.
Dampaknya sangat besar bagi masyarakat, seperti jumlah produksi meningkat yang
menyebabkan bertambah jumlah penduduk; munculnya kota industri yang menyebabkan
urbanisasi ke kota; munculnya kelas sosial di dalam masyarakat; dan yang paling
penting dari semua itu adalah munculnya sistem ekonomi kapitalis.
Sistem ekonomi baru ini
menyebabkan perubahan yang luar biasa besar dari segi pertumbuhan ekonomi dan
pertumbuhan penduduk. Pada tahun 1500, ada sekitar 500 juta Homo Sapiens di
seluruh dunia, kini mencapai 7 miliyar; nilai total barang dan jasa yang
diciptakan manusia pada tahun 1500 diperkirakan $250 miliar, dalam nilai dolar
saat ini, sedangkan kini mencapai $60 triliun dalam setahun; pada tahun 1500,
manusia mengkonsumsi 13 triliun kaori energi setiap hari, sekarang bisa
mencapai 1500 triliun sehari.[1] Perubahan itu bukan hanya
di sebabkan oleh revolusi industri pertama, melainkan oleh revolusi industri
berikutnya juga. Seperti Revolusi Industri 2.0, yang ditandai dengan
ditemukannya listrik pada tahun 1900-an; Kemudian, Revolusi Industri 3.0 yang
ditandai dengan ditemukannya proses otomasisasi, pada tahun 1970-1990-an; dan Revolusi
Industri 4.0, yang ditandai dengan ditemukannya internet dan berkembangnya
tekhnologi robot.[2]
Kesemua perubahan sosial yang
disebabkan revolusi industri ini berdampak langsung pada ranah ekonomi. Namun
ada fenomena lain diluar itu yang perlu diperhatikan, terutama pada saat Revolusi
Industri 4.0. Pada saat revolusi ini terjadi, yang ditandai dengan ditemukannya
internet, tepatnya pada tahun 1969 di Amerika.[3] Internet berkembang pesat
hingga sekarang dan mendapat posisi sangat penting bagi masyarakat di abad 21.
Pengguna internet menjadi sangat besar, terdapat 3,49 miliar pengguna internet
di seluruh dunia, pada tahun 2019, dan tentunya akan terus mengalami
peningkatan seiring perkembangan zaman.[4]
Di abad 21, hampir setiap
orang memiliki akses untuk menyebarkan informasi kesemua orang tanpa batas
ruang dan waktu. Inilah yang menjadi masalah di era sekarang, karena seringkali
penyebaran informasi menjadi tidak aktual. Banyak masalah yang terjadi akibat
fenomena ini, seperti mudahnya mengatur opini publik untuk kepentingan pribadi
atau golongan; mempropokasi/mempropaganda masa untuk melakukan sesuatu yang
salah; menyebarluaskan konten kebencian, penipuan, dan lain-lain yang merugikan
banyak pihak. Akibat fenomena ini munculah suatu istilah yang disebut
masyarakat post-truth, atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan
pasca-kebenaran.
Makna kata pasca sebelum
kata kebenaran, menandai habisnya kebenaran dan ditandai dengan banyaknya
kebohongan dan dipercaya menjadi suatu kebenaran. Kata “Post-truth” menjadi
word of the year dalam Oxford
Dictionary pada tahun 2016. Post-truth sendiri diartikan sebagai
“Keadaan-keadaan (circumstances) di mana fakta objektif kurang
berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada tarikan emosi (appeal to
emotion) dan keyakinan pribadi.".[5]
Dua fenomena global pada
tahun 2016 menjadi penanda yang mendorong era post-truth, sehingga
kata-katanya banyak dicari orang. Pertama, Referendum Brexit yang terjadi pada
23 Juni 2016—pada momen ini, dalam pembentukan suara untuk keputusan, berbagai
berita bohong dibuat dan disebarkan untuk memengaruhi persepsi publik. Kebohongan yang dinarasikan salah satunya bahwa uang
Inggris mengalir ke Uni Eropa setiap minggu sebesar 350 juta euro, nyatanya
bisa dipercaya banyak orang dan hal ini berhasil memengaruhi opini publik.[6] Kedua, Pemilihan Presiden
di Amerika Serikat pada tanggal 8 November 2016, berbagai berita bohong
digunakan untuk alat kampanye menyerang lawan politik.
Di Indonesia sendiri
fenomena itu juga berkembang, terutama ketika momen Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta di tahun 2017 dan Pemilihan Presiden di tahun 2019. Di Pemilu DKI,
nyatanya statement rasis berdasarkan identitas agama dan etnis sangat kuat
untuk menentukan pemilihan pemimpin. Padahal jika kita bicara tentang baik atau
buruknya kualitas memimpin, terkadang hal itu tidak relevan—identitas itu lebih
bersifat emosional dan dianggap sebagai salah satu hal yang menentukan kualitas
kepemimpinan. Begitupun dalam Pemilu Presiden di tahun 2019, kampanye dengan
serangan mengatakan lawan sebagai antek-antek PKI[7] dan sebagainya, banyak
sekali terjadi. Hal ini menjadi bukti, bahwa nyatanya berita ini walaupun belum
tentu kebenarannya, tetap saja di percaya oleh sebagian orang.
Berbagai fenomena yang
berkembang, semakin meyakinkan bahwa konsep post-truth semakin menguat
akhir-akhir ini—dengan disokong oleh media sosial, hal ini bisa menjadi masalah
sosial yang baru di masyarakat. Kata post-truth sendiri pertama kali di
ungkapkan oleh Steve Tesich, pada tahun 1992, dalam esai yang berjudul “A
Government of Lies,” untuk menggambarkan bagaimana skandal Watergate dan
Perang Teluk Persia dapat membuat tenang dan nyaman warga Amerika Serikat meski
dua insiden tersebut dipenuhi banyak kebohongan.[8]
Nyatanya propaganda
kebohongan bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Propaganda kebohongan sudah
menjadi hal biasa. Mengutip perkataan yang diungkap oleh Propaganda Nazi,
Joseph Goebbels, “Kebohongan yang diceritakan sekali, itu adalah kebohongan,
kebohongan yang diceritakan seribu kali akan menjadi kebenaran”.[9] Propaganda yang dilakukan
oleh Joseph Goebbels bisa dipercaya oleh banyak orang, meski berita yang
disampaikan jelas-jelas salah, dan hanya demi kepentingan kekuasaan. Kebohongan
memang seringkali dijadikan alat untuk kekuasaann, hal itu bukan hanya terjadi
sekarang, melainkan sudah dilakukan puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun lalu.
Oleh sebab itu,
sebenarnya fenomena ini bukanlah hal baru bagi manusia. Hanya saja Revolusi Industry
4.0 yang ditandai ditemukannya internet menyebabkan hal ini semakin besar dan
mudah dilakukan. Kita seharusnya tidak takut dengan perubahan ini, hal yang
harus kita lakukan adalah beradaptasi dengan perubahan ini. Bagaimana cara kita
beradaptasi, berikut penulis jelaskan caranya.
Tulisan ini berjudul “Kebenaran
seringkali hilang, sedangkan Kepentingan Selalu Abadi”, artinya
pertama-tama kita harus menyadari bahwa kebenaran itu seringkali susah di
dapatkan, dan selalu ada kepentiungan dalam membuat kebenaran (informasi
aktual). Kepentinganlah yang selalu abadi, karena setiap orang selalu punya
kepentingan dan informasi bisa digunakan untuk mewujudkan kepentingan tersebut,
artinya kebenaran itu bisa dimodifikasi (bisa saja salah) sedangkan kepentingan
selalu ada (abadi). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Michel Foucault, bahwa
setiap kebenaran atau nilai pengetahuan apa saja, esensinya merupakan produk
kekuasaan yang di dalamnya ada kepentingan.[10]
Dari proses sadarnya kita
akan hal ini, seharusnya kita menjadi lebih kritis dalam menyikapi informasi. Kita
harus paham bahwa setiap informasi selalu memiliki kepentingan, tugas kita
adalah melihat kepentingan itu. Apakah kepentingannya untuk menyampaikan
informasi yang aktual sebagai pengetahuan atau memiliki kepentingan lain. Dengan
hal ini kita tidak bisa langsung percaya akan informasi yang beredar, melainkan
langsung mempertanyakan apa tujuan utama informasi ini. Kita bisa melihat apa
dampak dari informasi ini dan bagaimana media lain melihat informasi ini, kita
dituntut untuk melihat informasi dari berbagai media. Itulah jalan agar kita
pintar dalam mencari informasi yang aktual. Sadar bahwa informasi bisa di
gunakan untuk kepentingan, pada akhirnya menuntut kita untuk menjadi lebih
kritis menyikapi informasi.
2 November 2019
Ini esai saya yang pertama kali mendapat apresiasi. Waktu itu sebuah organisasi pers di Jakarta membuat sebuah lomba esai nasional. Hanya ada satu pemenang waktu dan alhamdulillah esai ini mendapat apresiasi tersebut.
[1]
Yuval Noah Harari, Sapiens; Sejarah Singkat Umat Manusia, Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2014, hlm. 293.
[2]
Yantina Debora, Sejarah Revolusi Industri dari 1.0 hingga 4.0, tirto.id,
diakses dari https://tirto.id/sejarah-revolusi-industri-dari-10-hingga-40-dhhu,
pada tanggal 2 November 2019.
[3]
CNN Indonesia, Mengenal Sejarah Internet, cnnindonesia.com, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190312125646-185-376484/mengenal-sejarah-internet,
paa tanggal 2 November 2019.
[4]
Dwi Hadya Jayani, Indonesia Peringkat Kelima Dunia dalam Jumlah Pengguna
Internet, katadata.id, diaksesdari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/11/indonesia-peringkat-kelima-dunia-dalam-jumlah-pengguna-internet,
pada tanggal 2 November 2019.
[5]
Y. D. Anugrahbayu, Pasca-Kebenaran, Detik.com, diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-3993900/pasca-kebenaran,
pada tanggal 26 Oktober 2019.
[6]
Taufiqurrahman, Asal-Usul Pasca Kebenaran, JawaPos.com, diakses dari https://www.jawapos.com/minggu/buku/18/06/2019/asal-usul-pasca-kebenaran/,
pada tanggal 26 Oktober 2019.
[7]
Singkatan dari Partai Komunis Indonesia, stereotif negatif ditunjukan bagi
mereka keturunan atau simpatisan PKI, hal itu karena pembentukan wacana buruk
tentang PKI yang terjadi pada tahun 1965 dalam sejarah politik di Indonesia.
[8]
Okky Ardiansyah, Post-Truth Adalah Gejala yang Hadir Bersama Hoaks,
pikiran-rakyat.com, diakses dari https://www.pikiran-rakyat.com/hidup-gaya/2019/04/18/post-truth-adalah-gejala-yang-hadir-bersama-hoaks.
[9]
Yuval Noah Harari, 21 Adab untuk Abad 21, Global Indo Kreatif , Manado, 2018,
hlm. 257.
[10]
Ampy Kali, Diskursus Seksualitas Michel Foucault, LEDALERO, Maumere,
2013, hlm. 105.
mantap bang
BalasHapus