Waraskah Jika Anda Golput?
Golput atau golongan putih adalah sikap memilih untuk tidak memilih—atau dalam bahasa lain disebut abstain. Istilah ini berkembang pada tahun 1917, diciptakan oleh Imam Waluyo untuk orang yang tidak menyetujui partai yang ditawarkan pemerintah Orde Baru (Orba)—pada saat itu Orba hanya membatasi partai yang mengikuti pemilu. Pemilih pada waktu itu, memilih warna putih di kertas suara sebagai bentuk protes untuk tidak memilih partai manapun yang ditawarkan pemerintahan Orba
Menjelang Pemilu Serentak 2019, wacana
Golput kembali menguat—berbeda dengan zaman Orba, wacana golput yang sekarang
muncul dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan pemilih pada dua calon yang berlaga
di kontestasi politik, yaitu Jokowi dan Prabowo. Selain itu, untuk pemilihan
Badan Legistatif, masyarakat juga menilai bahwa tidak adanya kedekatan antara
pemilih dan orang yang dipilih. Mereka menganggap bahwa kontestasi pemilu ini
hanyalah sebuah bualan semata. Namun apakah melalui alasan itu, kita—khususnya
saya, yang merupakan milenial pantas untuk melakukan golput, atau pertanyaan
sederhananya—“Waraskah jika Anda golput?”
Franz Magnis-Suseno mengatakan bahwa
memang di Indonesia tidak ada larangan untuk melakukan golput, karena memang
memilih pun bukan sebuah kewajiban secara hukum. Tetapi menurut Franz, kita
memiliki kewajiban secara moral untuk memilih. Bahkan secara tegas Franz
mengatakan, kalau Anda, meskipun sebenarnya dapat, tetapi Anda memilih untuk
tak memilih atau golput, maaf, hanya ada tiga kemungkinan: Anda bodoh, just stupid; atau Anda berwatak
benalu, kurang sedap; atau Anda secara mental tidak stabil, Anda seorang psycho-freak.[1]
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa
pemilu ini akan sangat berdampak krusial pada bangsa ini, dan tidak ada alasan
untuk Anda untuk tidak memilih—partai sudah banyak, akses untuk memilih sudah
baik, maka kenapa harus golput. Franz juga mengatakan, bahwa jika Anda tidak
puas terhadap dua kontestan—Jokowi dan Prabowo, maka pikirkan dan pastikan
siapa yang terburuk diantara mereka—intinya pilihlah seseorang agar orang yang
Anda pikir lebih buruk tidak berkuasa. Karena menuru Franz, dalam memilih
pemimpin kita harus mencegah orang yang lebih buruk untuk berkuasa, caranya
dengan memilih.[2]
Selain itu, Megawati bahkan mencap
"pengecut" mereka yang tak mau memilih. Ia pun menyarankan
orang-orang ini "tak usah jadi WNI" sekalian.[3]
Berbeda denga Megawati—Wiranto menghimbau bahwa orang yang mengkampanyekan
golput bisa dipidanakan. Dari sekian stigma terhadap orang yang golput, kembali
pertanyaan itu mengemuka “Waraskah jika Anda golput?”.
Apabila pertanyaan itu di tanyakan ke
saya, maka saya jawab dengan tegas—waras. Golput adalah hak kita sebagai warga
negara dan tidak ada satupun UU yang melarang golput, termasuk mengkampanyekannya.
Apabila Megawati mengatakan bahwa orang yang golput adalah pengecut dan lebih
baik tidak jadi WNI saya rasa kurang tepat, selama orang yang golput memiliki
argumen yang kuat untuk melakukan golput kenapa harus dilarang. Bukankah
Megawati dahulu pernah mengkampanyekan golput juga, jelaslah sikapnya yang
sekarang sangat politis.[4] Begitupun
Wiranto, menurut saya, apabila Wiranto mengatakan hal itu—justru ia melanggar
hak seseorang. Karena golput itu juga pilihan—yaitu memilih untuk tidak memilih,
dan sekali lagi hal itu sama sekali tidak melanggar UU manapun.
Untuk urusan moral yang
diungkapkan oleh Franz, saya setuju bahwa pemilu ini sangat krusial untuk
bangsa ini. Tetapi Franz juga harus mempertimbangkan bahwa bagaimana rakyat
bisa memilih tanpa mengenal siapa yang dipilih (banyak masyarakat yang tidak
tahu calon legistatif), bukankah itu sama saja dengan melakukan perjudian—lalu
apakah itu membantu bangsa ini. Memilih sesuatu yang tidak kita ketahui sama
saja mengambil kucing dalam karung, tidak tahu kita kucing apa yang akan kita
dapatkan—apakah garong atau berwatak
hidung belang.
Untuk pemilihan presiden, saya setuju
bahwa kita harus mencegah yang terburuk yang berkuasa, hanya mungkin Franz juga
harus menyadari bahwa ada yang salah dalam proses seleksi Presiden di negara
kita, hanya elit politik yang menyerupai oligarki saja yang bisa bercikol
disana—diskursusnya sebenarnya menjadi menarik jika dampak golput bisa
memengaruhi seleksi kontestan pemilu.
Akhirnya, saya tida mendukung upaya golput
maupun memilih, itu hak warga negara. Yang saya tekankan saya tidak setuju
apabila banyak stigma negatif yang dilancarkan untuk pihak yang golput,
bagaiamanapun semua orang punya argumen masing-masing untuk itu. Dan begitupun
yang golput, ada banyak argumen dan alasan memilih, misalnya memilih calon yang
tidak memiliki rekam jejak korupsi, begitupun dengan partai—pilihlah partai
yang tidak melakukan korupsi selama mendapatkan kursi pemerintahan—karena memang
itu sebenarnya salah satu musuh kita bersama bukan.
Baiknya jangalah kita menghakimi tanpa
tahu duduk perkara, upayakan setiap hal yang kita pilih—yaitu memilih untuk
memilih atau tidak memilih, memiliki argumen yang bisa dipertanggung jawabkan,
bukankah itu lebih baik. Bersikap karena kata hati dan siap menanggung
risikonya.
Tulisan ini telah diikutsertakan dalam acara Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial di tahun 2019. Alhamdulillah waktu itu mendapat apresiasi sebagai esai terbaik di acara tersebut.
Tulisan ini telah diikutsertakan dalam acara Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial di tahun 2019. Alhamdulillah waktu itu mendapat apresiasi sebagai esai terbaik di acara tersebut.
[1]
Franz Magnis-Suseno, Kompas, 12 Maret 2019.
[2]
Ibid.
[3]
Felix Nathaniel, “'Golput Teknis' Bukan Cuma Momok Bagi Jokowi, Tapi Juga
Prabowo”, tirto.id, diakses dari https://tirto.id/golput-teknis-bukan-cuma-momok-bagi-jokowi-tapi-juga-prabowo-dk2s,
pada tanggal 17 April 2019.
[4]
Ruslan Tambak, “Sekarang Mengkritik, Padahal Dulu Megawati Pernah Menyerukan
Golput”, politik.rmlo.co, diakses dari https://politik.rmol.co/read/2019/04/01/384289/sekarang-mengkritik-padahal-dulu-megawati-pernah-menyerukan-golput,
pada tanggal 17 April 2019.
Komentar
Posting Komentar