Perempuan Itu Buruk Secara Fiksi tetapi Mengagumkan Secara Fakta
Peringatan
hari perempuan internasional yang diperingati setiap 8 Maret diseluruh dunia,
merupakan sebuah simbol yang mewakili perjuangan-perjuangan perempuan untuk
mendapat kesetaraan. Sejarah mencatat, 8 Maret adalah waktu dimana perempuan
Rusia Soviet mendapat hak pilih pada tahun 1917, dan kemudian diadopsi oleh PBB
pada tahun 1975, untuk menjadi hari perempuan Internasional. Hal ini
membuktikan, bahwa demokrasi yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua orang,
baru dirasakan perempuan di abad 20—hal itupun perlu diperjuangkan
habis-habisan, misalnya melalui gerakan-gerakan feminisme yang berkembang sejak
tahun 1630.[1]
Di
Indonesia sendiri, pembahasan tentang hak pilih untuk perempuan pertama kali
muncul di Kongres Perikatan Perempuan Istri Indonesia (PPII) I yang
dilaksanakan di Surabaya, 13-18 Desember 1930.[2]
Gerakan ini juga dipengaruhi oleh besarnya pengaruh dari luar untuk melakukan
upaya-upaya penyetaraan gender, misalnya, perempuan-perempuan Belanda yang
tergabung dalam Asosiasi Hak Pilih Perempuan Hindia Belanda. Salah satunya Neuyen
Hakker yang duduk di Dewan Rakyat memprovokasi dengan mengungkapakan hal
berikut.
“Apakah perempuan di sini, sama seperti di negara
beradab lain, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menentukan hukum yang
akan dibuat kemudian dipatuhi? Tidak? Lalu, harusnya perempuan Belanda juga
tidak bisa. Ya kan? Lalu, itu (hak pilih) seharusnya berlaku untuk semua
perempuan yang punya bekal pendidikan,”
Perempuan-perempuan di Belanda sendiri mendapat hak
pilih pada tahun 1919, setelah itu mereka mulai mengkampanyekan hak pilih
kepada perempuan negara-negara jajahan Belanda.
Setelah
mendapati perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan, sehari setelah kemerdekaan
Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, perempuan Indonesia mendapat kesetaraan
dengan laki-laki termasuk dalam hal memilih dan dipilih yang tertuang dalam
konstitusi.[3]
Bila
kita bandingkan dengan sekarang, perempuan di Indonesia tentu sudah mendapat
sedikit banyak dari manfaat demokrasi—salah satunya tentu kesetaraan. Meski
begitu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diperbaiki dalam konsep
kesetaraan. Masalah utamaya sekarang bukan lagi soal peraturan, tetapi lebih ke
pola pikir sisa-sisa budaya masa lalu yang berkembang di masyarakat.
Penulis
melihat masalah yang paling besar adalah masih kuatnya budaya patriarki di
Indonesia, terutama di pedesaan—yang memiliki kepercayaan pada budaya yang
masih kuat. Disini penulis akan coba berbagi pengalaman bagaiamana perempuan
mendapat perlakuan tidak adil dalam tiga konsep yang saling berkesinambungan,
yaitu pernikahan, pendidikan, dan pekerjaan.
Penulis
yang pernah tinggal di desa menyadari bahwa masalah nikah muda yang
disosialisasikan pemerintah untuk tidak dilakukan, bukan semerta-merta
keinginan perempuan itu sendiri. Mereka adalah korban dari kontruksi sosial
masyarakat tentang perempuan.
Karena
akses pendidikan yang kurang dari segi kualitas dan kuantitas, biasanya paling
tinggi perempuan di desa hanya mendapati diri sekolah sampai jenjang SMA,
itupun hanya sebagian—pengalaman penulis, mungkin hanya sekitar 15%, sisanya
hanya tamatan SMP. Di usia tamatan SMP, katakanlah sekitar umur 15
tahun—sebagai perempuan kamu hanya punya dua pilihan, bekerja ke kota atau
menikah. Itu saja. Maksudku apa yang bisa dilakukan dirumah, katakanlah sampai
usia pas untuk menikah, jika tidak melakukan apapun.
Penulis
menyadari bahwa bahkan para laki-laki di desa merasakan hal yang sama, yaitu
sudah tamat SMP, jika tidak melakukan apapun, maka kamu harus mengadu nasib ke
kota. Tetapi ada perbedaan yang cukup pelik di usia menikah, laki-laki bisa
saja bekerja hingga usia misalnya 25 tahun, tapi itu sungguh terlalu tua untuk
perempuan di desa. Pengalaman penulis, para perempuan, yang bahkan sedang
meniti karier setidaknya sudah was-was ketika usia mereka memasuki 20 tahun,
rambu-rambu sudah mulai digaungkan—dari orang tua, tetangga, hingga kerabat
dekat dan jauh—basa-basi yang menyiksa bagi sebagian perempuan, “Wahhh, sebentar lagi punya menantu nih”
dan atau “Segeralah menikah maka, biarlah
lakimu yang kerja”, kalau sudah begitu, tamat. Habis perkara.
Dari
segi pendidikan laki-laki selalu lebih diutamakan, salah satu alasannya adalah
anggapan karena perempuan itu pengikut—biarlah lakimu yang bekerja, tidak usah
repot-repot belajar tnggi-tinggi, kalau akhirnya sumur, dapur, kasur. Akhirnya perempuan sulit mendapat akses
pendidikan, cara mereka untuk tidak segera menikah ya bekerja.
Di
pekerjaanpun sama, sering saya mendengar ungkapan, “Anak perempuan itu jangan bangun siang, gak baik”, alasannya untuk
membantu segala jenis pekerjaan rumah, yang tidak dibebankan kepada laki-laki.
Padahal kalau adil, semua jenis kelamin bagusnya bangun pagi dan bekerja untuk
keperluan mereka sendiri. Terkadang yang terjadi adalah pembagian kerja yang
tidak pas, perempuan kerja di dapur sedangkan laki-laki punya kebebasan untuk
bekerja mengejar karier.
Itulah sebenarnya kenapa saya katakan,
perempuan itu buruk secara fiksi—karena mereka dikontruksikan oleh
kepercayaan-kepercayaan fiksi masyarakat ayng tidak adil. tetapi menakjubkan
secara fakta—mereka adalah sumber kehidupan yang bahkan ketika dikucilkan.
Maka
sudah seharusnya kita sebagai laki-laki, harus menghilangkan segala jenis
pemikiran patriarki yang dikontruski oleh masyarakat. Betul, segala pemikiran
kita yang menganggap perempuan dibawah laki-laki adalah sebuah kontruksi
sosial. Menurut Marx, hal itu mungkin saja terjadi, karena realitas masyarakat
sering kali dikontruksikan oleh orang-orang yang dominan untuk kepentingan
mereka—yang dalam hal ini adalah laki-laki terhadap perempuan.
Akhirnya,
saya lebih suka menyebut perempuan menjadi wanita, karena wanita berasal dari
kata wani, yang artinya berani—berani untuk melawan ketidakadilan yang
dikontruksikan. Selamat hari wanita internasional, kalian hebat, kalian
menakjubkan secara fakta, tetap berani melawan kontruksi, dan jadilah besar
bestari untuk negeri dan hati nurani.
6 Maret 2019
Saya lupa untuk apa saya membuat tulisan ini, tetapi yang pasti, 2019 tampaknya memang salah satu tahun terproduktif dalam hidup saya dalam menulis.
[1]
George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 779.
[2]Janti,
Nur. Lika-liku Perjuangan Hak Pilih Perempuan. Historia.id. diakses dari https://historia.id/politik/articles/lika-liku-perjuangan-hak-pilih-perempuan-vgL1X
pada tanggal 9 Maret 2019.
[3]
Hartono, Rini. Kronik Perjuangan Hak Pilih Perempuan di Indonesia. Diakses dari
http://www.berdikarionline.com/kronik-perjuangan-hak-pilih-perempuan-di-indonesia/,
pada tanggal 9 Maret 2019.
Tulisan yang bagus mas. Keep it up! Terima kasih sudah menyuarakan isi hati kami, para wanita. Sehat selalu.
BalasHapus