Resensi Buku Filosofi Teras: Cara Menjadi Manusia yang Gak Gampang Galau
Pertama
kali mendengar kata filsafat biasanya orang akan berpikir bahwa hal itu njelimet, rumit, atau mungkin bahkan
murtad, tapi memang hal itu gak bisa disalahin, emang kadang ketika pertama
kali kita belajar filsafat kita langsung dibawa ke pemahaman yang baru dan
mungkin jarang dibahas dalam pelajaran apapun, misalnya tentang pemikiran.
Kenapa orang bisa berpikir? Kenapa orang mikir ini? Kenapa orang mikir itu? Apalagi
kalau udah bertanya perihal keberadaan sesuatu, misalnya manusia, benda, sampai
Tuhan. Pokoknya semuanya dipertanyakan, dari hal yang menurut orang gak pentig,
sampai gak penting banget, asli—karena emang ilmu inikan ingin coba menggali
segala hakikat sesuatu sampai ke akar-akar.
Sebenarnya
bukan cuma itu pelajaran filsafat, ada banyak, dan selain diidentikan sama hal
yang sebelumnya (njelimet), orang
yang berfilsafat juga biasa disebut bijak. Kenapa seperti itu? Ya mungkin
karena dalam filsafat kita diajak untuk mempertanyakan segala sesuatu sampai ke
pemahaman yang bener-bener clear,
jadi gak gampang buat nyimpulin sesuatu. Di filsafat juga sebenernya ada satu
ajaran yang baik buat kesehatan mental, yaitu ajaran Stoisisme, pertama kali
terkenal dari karya tulis Marcus Aurelius yang diberi judul meditasi.
Sebenernya Marcus Aurelius gak pernah kasih nama buat tulisannya, karyanya juga
bukan untuk dibukukan, tetapi buat jurnal pribadi yang ia tulis ketika sedang
menjadi kaisar Romawai pada tahun 161 Masehi.
Menariknya
di Indonesia sekarang ada sebuah buku yang berjudul Filosofi Teras, yang kata penulisnya, Henry Manampiring bisa ampuh
bikin orang bijak. Dalam artian bisa bikin orang gak gampang galau, gampang move on, gak gampang marah-marah,
gitulah ceritanya. Sebenernya setelah saya baca, tulisan ini terinpirasi dari
jurnal-jurnal Marcus Aurelius yang dibukukan menjadi buku yang berjudul
meditasi. Disebut filosofi teras, karena ternyata ajara-ajaran filsafat yang
diberikan diajarakan di teras, sesederhana itu.
Lalu
mungkin timbul pertanyaan, terus apa bedanya dengan tulisan meditation kalau
gitu? Oke mungkin disini Henry Manampiring justru membuat sebuah pegantar
tulisan bagi orang yang tertarik dengan ajaran Stoisisme. Tulisan ini memang
betul mengulas ajaran-ajaran Stoisisme yang ada dalam buku meditasi, namun
lebih di aktualisasikan dengan konteks kekinian yang menjadi masalah-masalah
manusia di era sekarang, dan ini sangat sesuai ternyata.
Disini
saya akan sedikit mengulas ajaran Stoisme yang diajarkan dalam buku Filosofi Teras. Ajaran ini saya piih
dari beberapa filososfi yang Henry Manampiring jelaskan dalam bukunya. Pertama
tentang, dikotomi kendali, menurut
saya ini adalah ajaran yang paling menarik dan bermanfaat, yaitu bagaimana kita
bersikap dengan cara hanya memperhatikan apa yang ada dalam kendali kita dan
tidak memikirkan apa yang diluar kendali kita.
“Some things are up to us, some things are not up to
us”—Epictetus
Menurut
saya kata-kata ini sangat melegakan, begini, jadi memang dalam hidup menurut
filosofi ini ada yang dibawah kendali kita dan ada yang diluar kendali kita.
Kunci kebahagiaan dan kebijaksanaan adalah ketika manusia hanya memikirkan dan
peduli terhadap apa yang ada di dalam kendalinya, hal itu contohnya,
pertimbangan, opini, keinginan, tujuan diri sendiri. Sedangkan sumber penderitaan
adalah ketika manusia terlalu memikirkan segala hal yang diluar kendali kita
seperti tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi kita, kesehatan,
kekayaaan, kondisi kita saat lahir. Kemudian timbul pertanyaan kok kesehatan,
kekayaan masuk hal diluar kendali kita.
Kalau
dipikir-pikir secara lebih seksama, yang namanya kekayaan, kesehatan bisa
direbut atau terpengaruh orang lain. Misalnya kita ditipu atau kena hujan
tiba-tiba terus sakit, padahal kita udah hati-hati dan menghindari hal
tersebut, tapi tetep aja kejadian. Filosofi ini menawarkan untuk tetap tenang
dan menerima apa saja hal yang diluar kendali kita dengan tenang, karena
bagaimanapun hal buruk bisa saja menimpa kita kapanpun tanpa aba-aba.
Memang
terkadang terdengar naïf, tapi percaya, kalau kita bener-bener bisa nerapin
filosofi ini kita bisa lebih santai. Misalnya, ketika pacaran, kita udah
bener-bener baik, jaga pandangan, jaga sikap, jaga pikiran kita agar bisa
setia—ehhh, sialnya pacar kita malah
selingkuh atau minta putus, gila juga kan, tetapi kalau kita paham bahwa hal
itu di luar kendali kita. Maksud saya sikap cewek itu kekita diluar kendali
kita, yang ada di kendali kita yang bersikap baik padanya, terus kenapa kita
harus sedih? Padahal kita bisa aja berpikir yaudahlah ya gak usaah terlalu
dipikirin wong itu diluar kendali
kita. Bisanya orang yang terlalu galau itu mikirnya macem-macem, apa gue kurang
baik? Apa gue kurang cantik? Apa gue kurang perhatian? Maksudku hey, itu bukan
atas kemampuan kita, kita udah baik sama orang belum tentu orang baikin balik.
Karena memang itu diluar kendali kita, yang kita lakukan hanyalah mengatur yang
ada dalam kendali kita, misalnya berbuat baik atau positif sama orang lain.
Filsofi
ini juga diperkuat oleh filosofi lain yang diungkapkan dalam ajaran stoisisme.
“Bukan
hal-hal atau peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tetapi
pertimbangan/pikiran/ persepsi akan hal-hal peristiwa tersebut”—Epictetus
“Jika
kamu merasa susah karena hal eksternal, maka perasaan susah itu tidak datang
dari hal tersebut, tetapi oleh pikiran/persepsimu sendiri. Dan kamu memiliki
kekuatan untuk mengubah pikiran dan persepsimu kapan pun juga”—Marcus Aurelius
Semua
kekhawatiran kita ada di pikiran kita, betul menurut filsuf dan ajaran ini
persepsi kita terhadap masalah kadang lebih besar dari masalah itu sendiri. Ajaran
stoisisme menekankan pada pikiran, tetapi bukan berarti pasrah pada keaadaan,
melainkan menerima setiap hal yang terjadi dengan wajar dan tidak lebay, hingga
gak perlu marah-marah, tetapi cenderung bisa intropeksi dengan baik.
Apabila
di dengar da dibaca, mantra yang diucapkan oleh filosofi ini memang tidak ada
yang spesial. Tetapi setelah dipikir-pikir ada benarnya juga dan ternyata sulit
diterapkan, misalnya sebagai mahasiswa kita sudah rajin-rajin tetapi dosen
memang tidak suka sama kita, akhirnya nilai kita jelek, yasudahlah ya, toh kita
udah baik-baik, dan sikap dosen itu di
luar kendali kita, jadi daripada marah-marah bikin mumet diri sendiri mending
ngomong langsung sama dosennya baik-baik.
Filosipi
ini memang kadang susah dan perlu dilatih, ibarat latihan otot pikiran juga
bisa dilatih, dan filosofi ini perlu dilatih, agar bisa cuek sama hal yang
sebenernya ada diluar kendali kita.
Secara
keseluruhan yang dibahas oleh buku ini menurut saya yang cukup penting itu.
Yang memebedakan dari bukut tentang ajaran filsafat stoisisme lainnya mungkin
dibuku ini lebih dijelaskan dengan bahasa yang santai, terus di gunakan juga
narasumber dari berbagai ahli psikologi influencer,
anak muda berbaka, dan lain-lain untuk menunjang ajaran stoisisme. Penulis juga
mencari atau memberikan contoh yang ada di masyarakat terutama generasi
milenial.
Menurut
saya buku yang bergenre self improvement ini cukup bagus karena disajikan
dengan bahasa yang asik, dan mudah dicerna. Hal itu juga karena memag ajaran
filsafat yang disamaikan juga tidak terlalu berat dan lebih mengarahkan ke
wejangan hidup. Buku ini menjadi pengantar yang bagus bagi rang yng tertarik
dengan ajaran stoisisme.
22 Juli 2019
Tulisan ini juga telah terbit di Blog Pusdima dengan judul yang sama.
Komentar
Posting Komentar