Catatan di Kampus Hijau: Terkesima dengan Nama-Nama

Tepat tiga tahun yang lalu, tahun 2017 awal saya memasuki perguruan tinggi. Jurusan sosiologi adalah jurusan impian saya sejak SMA, entah karena waktu itu hal itu yang paling masuk akal untuk saya atau mungkin juga memang jalan saya memang kesana.

Beberapa kali survei kampus, ada dua pilihan besar dalam benak saya waktu itu, Sosiologi UNJ atau Sosiologi Onsoed, yang pada akhirnya jatuh pada pilihan pertama. Meski ditolak di jalur undangan (SNMPTN), akhirnya setelah berusaha sangat keras bisa juga di terima di SBMPTN.

Entah kapan dimulainya perkuliahan pertama kali, mungkin bulan Agustus atau bulan September, saya sudah lupa. Tapi yang pasti masih hangat dalam ingatan saya berbagai kegiatan Masa Pengenalan Akademik (MPA) yang dilakukan oleh organisasi kampus (BEM). Rangkaiannya kurang lebih satu minggu, dari BEM UNJ, BEM Fakultas, sampai BEM Prodi, semuanya sangat membosankan—jujur saja.

Kegiatan-kegiatan itu memang bermanfaat, kecuali jadwal yang menurut saya kurang manusiawi—kita harus sudah siap dari jam 4 pagi, bahkan untuk shalat subuh harus di kampus—menurut saya sedikit itu sedikit berlebihan, tetapi yang lainnya cukup menghibur, meski banyak membosannkannya.

Di hari pertama kalau tidak salah rangkaian acara dimulai dengan penampilan-penampilan dari organisasi kampus yang dibagi dua. Pertama, Organisasi Pemerintahan Mahasiswa (OPMAWA) yang selanjutnya disebut Eksekutif, Legistatif dan Yudikatif. Kedua, Organisasi Mahasiswa (ORMAWA), yang bergerak di bidang minat dan bakat, seperti jurnalis, keolahragaan, seni, dan lain-lain. Acaranya cukup menarik, meski waktu itu saya duduk paling belakang dan belum memiliki teman. Meski menarik belum juga ada yang menarik minat saya, kegiatan satu-satunya yang menarik waktu itu hanyalah mengawasi dan mengawasi.

Hari berikutnya, hari Orientasi di tingkat Fakultas. Sama seperti hari sebelumnya rangkaian acara seperti pengenalan sampai penampilan-penampilan. Yang menarik mungkin adalah banyaknya Mahasiswa PAI waktu itu yang menjadi anggota di BEM Fakultas, saya berpikir mereka hebat-hebat, karena bisa mendominasi kursi pemerintahan di Fakultas.

Kemudian yang menarik berikutnya adalah penampilan dari ORMAWA bernama PUSDIMA. Organisasi yang katanya bergerak dibidang literasi menarik minat saya untuk pertama kali agar bisa bergabung, yang pada akhirnya ternyata menjadi saksi-saksi sejarah saya selama di Universitas.

Oh iya, waktu itu saya sudah memiliki teman—dua teman yang ternyata memiliki jurusan yang sama dengan saya, yaitu sosiologi, yaitu Bayu Kurniawan dan Derry Cristian. Bayu yang duduk di samping saya merupakan orang yang sangat aktif dan sangat suka dengan sorotan orang banyak, hal itu terbukti karena ia selalu mencoba menjawab pertanyaan dari MC. Ia juga bilang ke saya bahwa tahun depan akan berbicara di depan panggung di depan mahasiswa baru dan menjadi MC. Dan ternyata betul, menginjak tahun ketiga ini ia sudah sering memimpin jalan acara dengan menjadi MC, sekarang ia sudah menjadi Duta Universitas—kekuatan mimpi memang luar biasa. Sedangkan Derry, orang ini jarang bicara, namun dibalik ketenangannya saya yaki ia memiliki kemampuan yang baik dalam bergaul, ditahun kedua ia menjadi wakil ketua BEM Prodi.

Di berbagai kegiatan yang terjadi di kampus selama kurang lebih lima hari, banyak sekali wajah-wajah hebat yang terekam dalam ingatan. Para wanita terkesima dengan K3 (divisi di kegiatan yang bertugas untuk menjaga kedisiplinan mahasiswa), biasanya mereka marah-marah dan selalu menampilkan tampang judes. Tapi ternyata orang seperti itu kadang banyak disukai banyak orang. Ada juga yang menjadi pembicara dan moderator dalam berbagai acara. Kembali semua orang terkesima dengan hal itu—ya memang kita sering terkesima pada awal pertemuan.

Saya sendiri merupakan seorang mahasiswa yang biasa saja—rambut botak (najar ketika masuk PTN) baju kebesaran yang dibuat oleh Ayah saya semalam sebelum acara, karena panitia mewajibkan untuk harus menggunakan kemeja merah. Badan yang kurus dan wajah serius, saya membayangkan bagaimana orang lain sebal dengan gaya saya waktu itu. Sangat jarang bicara dan susah mendapat teman—pekerjaan saya hanya mengamati dan mengamati.

***

Kelaspun di dua, saya mendapat pembagian sebagai kelas B yang berjumlah 40 orang. Konon katanya kelas ini tidak akan pernah berubah sampai lulus, sayapun mengamati berbagai teman-teman saya yang akan menemi selama 4 tahun. Dan sial, sebenarnya ada seorang wanita yang menarik saya, meski akhirnya ternyata kia beda kelas, tapi semuanya memang sudah berubah sekali sekarang ini. Saya hanya ingat dan tertawa, benar memang pasti kita akan terkesima dengan orang lain di awal waktu dan kita sebut itu cinta—padahal kita belum tahu juga apa itu cinta.

Perjalanan di kampus terus berjalan—saya tidak pernah menyesal—jurusan sosiologi memang impian saya. Dan memang benar, tiada yang lebih menyenangkan daripada mengikuti kata hati, saya telah putuskan untuk jatuh cinta pada sosiologi, dan akhirnya saya memang Bahagia untuk mempelajarinya. 

Meski banyak mahasiswa yang akhirnya pindah kuliah atau mengambil kesempatan masuk polisi, saya mengaggap hal itu adalah sebuah keberanian dan memang harus dilakukan. Mengejar yang kita inginkan jauh lebih penting daripada terpaksa menjalani sesuatu yang kita tidak suka—ikuti kata hati—dan itu berlaku dalam setiap hal.

***

Di awal mahasiswa baru, memang mudah sekali menganggumi orang lain berkat nama-nama mereka. Kadang kita terkesima karena seseorang menjadi ketua organisasi ORMAWA atau OPMAWA. Kita mudah sekali terkesima dengan nama-nama, seolah-olah jika orang itu memiliki jabatan penting atau memiliki prestasi orang itu baik dan baik. Bahkan kita tidak memperdulikan orang yang dianggap tidak produktif, semisal nongkorog, ngopi, negerokok sampai mabuk-mabukan. Kita mudah menghakimi mudah mengagumi, itulah sifat manusia yang belum belajar.

Tapi hal itu wajar, ketika kita masuk ke sebuah lingkungan yang baru, nalar kita akan mencoba memahami berbagai simbol-simbol yang ada di lingkungan tersebut. Kita mencoba mempelajari kenapa orang lain bersikap seperti ini kenapa kita bersikap seperti itu. Justru ketika saya sudah menginjak tahun ketiga di kampus ini, saya baru mengerti bahwa hitam belum tentu hitam dan putih belum tentu putih, saya mengerti bahwa nama-nama kadang bagus tetapi bisa juga tidak. Nama-nama disini saya artikan sebagai orang yang memiliki jabatan di kampus atau memiliki prestasi yang tinggi.

Sejauh pengalaman saya di kuliah yang mungkin belum seberapa, ternyata nama-nama adalah hanya nama-nama dan belum tentu menampilkan kualitas seseorang. Ungkapan ini muncul karena kekecewaan saya kepada diri saya sendiri dan kepada orang lain bahwa terkadang kita menghormati seseorang, menyukai seseorang, dan sebaliknya didasarkan pada nama-nama yang telah saya sebutkan di awal.

Kita harus adil sejak dalam pikiran kata Pram, karena jika tidak, bagaimana mungkin kita bisa adil dalam tindakan. Percayalah tidak ada nama-nama yang mencerminkan orang tersebut, kualitas seseorang hanya muncul dari orang tersebut, bukan nama-nama yang ia sandang. Kita tidak bisa menghakimi tanpa tahu persoalan, bukankah itu makna kebijakan.

Semua orang terbentuk dalam ranah atau lingkungannya masing-masing. Setiap ideologi dan sikap selalu dibentuk oleh lingkungan dimana ia berinteraksi (Dalam sosiologi dikenal dengan interaksionalisme simbolik), kita mungkin berbeda dengan yang lain—tetapi saya harus adil dalam bersikap—yaitu menimbang sebelum bertindak.

Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa semua orang baik dan semua orang buruk, sedangkan nama-nama hanya sebuah ilusi yang dibuat agar orang berbuat baik. Jabatan sebesar apapun tujuannya adalah membuat sistem menjadi baik (artinya untuk berbuat baik), dimanapun kita, di tempat tongkrongan, di maszid, di rumah, di perpustakaan jika kia berbuat baik maka kualitas kita tetap baik. Semua orang punya jalan ninja masing-masing yang tujuannya harus diarahkan untuk berbuat baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan