Indonesia Darurat Korona: Solidaritas Masyarakat Perkotaan Itu Omong Kosong

Bencana Wabah itu Datang Lagi

Wabah, perang, dan kelaparan selalu menjadi musuh terbesar umat manusia sepanjang sejarah. Hal itu diungkapkan oleh seorang intelektual berkebangsaan Israel, Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Homo Deus. Sekarang situasi sedang genting, dan benar umat manusia sedang menghadapi salah satu musuh terbesar kita, yaitu wabah. Meski tidak sebrutal dahulu dalam menimbulkan korban jiwa, tetap saja efek dari wabah hari ini benar-benar mengguncang berbagai aspek kehidupan manusia modern.

Kita memang sudah sedikit berdamai dengan ketiga hal itu, dengan perang kita sudah mencoba meminimalisir, begitupun dengan kelaparan, dan tentunya dengan wabah—tetapi tetap saja, musuh umat manusia ini selalu memperbaharui diri untuk mengancam kehidupan umat manusia.

Di dalam buku yang sama Home Deus, Harari menggambarkan bagaimana perjuangan manusia melawan wabah. Salah satu wabah paling mematikan pernah terjadi pada tahun 1330, yang dinamai Maut Hitam atau Black Death, yang terjadi di suatu tempat di Asia, Eropa, dan Afrika Utara, hingga pesisir Samudera Antlantik. Wabah ini diperkirakaan membunuh 75-200 juta orang. Pada saat itu tidak ada yang bisa dilakukan selain berdoa meminta bantuan atau bahkan membunuh orang lain karena dianggap membawa sial. Tidak pernah terpikir tentunya di zaman itu, bahwa yang membunuh jutaan manusia adalah sebuah makhluk kecil mematikan yang menyerang umat manusia.

Untungnya hal itu tidak terjadi di era sekarang. Jumlah kematian masih bisa dikontrol dengan bantuan statistik, obat-obatan, dan berbagai macam bentuk mekanisme pencegahan, dari mulai social distancing hingga lockdown untuk mengurangi penyebaran wabah. Meski kita telah berhasil mengurangi efek dari wabah, tetap saja kita dibuat kewalahan dengan terjadi pandemi ini.

Dalam tulisan ini saya akan melihat dampak seperti apa sebenarnya di ranah sosiologi bagi masyarakat. Menurut saya hal ini penting melihat pemerintah ataupun masyarakat kebanyakan hanya melihat dari sudut pandang ekonomi saja tanpa memperhatikan unsur lain yang tak kalah penting, yaitu kajian sosiologi. Kajian tulisan ini adalah masyarakat perkotaan, karena memang wabah memiliki dampak yang sangat significant pada masyarakat kota yang memiliki jumlah dan interaksi masyarakat yang sangat tinggi.

Solidaritas Masyarakat Perkotaan

Menurut Durkheim, seorang Sosiolog Klasik berkebangsaan Francis, solidaritas dapat diartikan sebagai keadaan hubungan antar individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.[1] Durkheim inilah yang pertama kali memperkenalkan konsep solidaritas pada masyarakat, ia juga membagi masyarakat menjadi dua berdasarkan pembagian kerja, yaitu Solidaritas Organik dan Solidaritas Mekanik.

Kehidupan manusia modern yang semakin beragam dipercaya menimbulkan perubahan sosial pada masyarakat. Perubahan itu terjadi pada ranah material, yaitu bertambahnya jumlah penduduk dan interaksi antar individu yang meningkat, hal itu pula menyebabkan perubahan pada ranah non material, seperti moralitas.

August Comte, yang juga pemikir Francis dan juga mendapat julukan sebagai Bapak Sosiologi, berasumsi bahwa masyarakat modern terdiri dari banyak individu yang memiliki perbedaan moral, sehingga kepercayaan-kepercayaan moral yang dianut bersama menjadi pudar.[2] Bahkan Comte mengajukan sosiologi sebagai moralitas baru yang bisa menjadi kepercayaan dominan baru masyarakat.[3]

Kemudian justru Durkheim tidak sependapat dengan yang diungkapkan oleh Comte. Menurutnya pembagian kerja yang terjadi pada masyarakat modern yang kompleks telah menjadi moralitas baru untuk masyakat. Seperti sebelumnya disinggung bahwa Durkheim membagi masyarakat menjadi dua, hal itu ia jelaskan dalam bukunya yang berjudul The  Division of Labour. Ia membagi masyarakat berdasarkan pembagian kerja yang menimbulkan solidaritas di masyarakat.

Pertama, Solidaritas Mekanik, dicirikan dengan masyarakat yang masih homogen, dimana sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani, dan hidup lebih independent, karena tidak terlalu memerlukan peran orang lain. Dan yang kedua, yaitu Solidaritas Organik, dicirikan dengan pekerjaan yang heterogen, dimana masyarakat hidup sangat bergantung dengan orang lain.

Solidaritas Mekanik memiliki solidaritas yang tinggi karena mereka memiliki kepercayaan yang dianut bersama secara mendalam. Jumlah mereka tidak terlalu banyak dengan pekerjaan yang sedikit, ha itu membuat tidak banyaknya moral yang tumpang tindih. Hukuman yang dilakukan pada pelanggar hukumpun biasanaya represif, hal itu dikarenakan untuk menjaga keutuhan kepercayaan yang dianut bersama.

Kemudian seperti sanggahan Durkheim kepada Comte, bahwa masyarakat modern tetap memiliki solidaritas yang tinggi. Hal itu ia jelaskan dalam konsep Solidaritas Organik, bahwa masyarakat modern tetap memiliki solidaritas yang tinggi karena spesialisasi pekerjaan. Semua orang dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan diantara orang-orang oleh fakta bahwa semuanya memiliki tanggung jawab yang berbeda. Setiap orang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhanya, contohnya saya membutuhkan tukang sepatu untuk membeli sepatu, penjual beras untuk makan, dokter untuk berobat dan yang lainnya.

Solidaritas di Masyarakat Perkotaan Mengahadapi Virus Covid-19

Saya tinggal di lingkungan perkotaan, tepatnya di Kota Jakarta. Saya bisa mengatakan bahwa kota ini memiliki solidaritas yang di dasarkan pada pembagian kerja yang kompleks, yaitu Solidaritas Organik. Masyarakat saling membutuhkan berdasarkan peran dan tanggung jawab masing-masing. Nyatanya memang benar, saya melihat keadaan di kota ini bahwa masyarakatnya sangat bergantung pada orang lain.

Bila di perkampungan dengan Solidaritas Mekanik, individu biasanya memenuhi kebutuhan pokok untuk makan dari hasil pertaniannya sendiri, pergi ke berbagai tempat dengan kendaraan pribadi atau berjalan, membangun rumah dari hasil pohon sendiri, maka hal itu tidak akan Anda temui di masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan menjadi sangat bergantung pada orang lain, tetapi kata Durkheim justru ketergantungan itu yang membentuk solidaritas masyarakat. Sedangkan untuk masyarakat daerah nilai dan normalah yang menjadi pembentuk solidaritas.

Solidaritas masyarakat di uji akhir-akhir ini, dimana virus corona atau covid-19 menjadi wabah yang menyerang manusia abad 21. Di masyarakat perkotaan sulit sekali memobilisasi semua orang untuk tunduk pada intruksi upaya-upaya penyelamatan, hal itu bukan tanpa alasan. Masyarakat kota sama sekali tidak memiliki nilai dan norma yang dominan yang dipegang bersama—tidak memiliki kepemilikan dan kebersamaan yang kuat dengan masyarakat lain. Satu-satunya bentuk solidaritas mereka adalah pada pekerjaan yang terspesialisasi.

Solidaritas dalam pekerjaan memiliki berbagai macam kelemahan. Solidaritas hanya di dasarkan pada kebutuhan rasional saja, sedangkan dari segi kepedulian bersama itu tidak ada. Bos hanya butuh tenaga pekerja—pekerja hanya butuh jasa ojek online—ojek online hanya butuh kopi dari penjual kopi—begitu seterusnya. Terdengar sangat tidak manusiawi, tetapi itulah kehidupan masyarakat perkotaan.

Durkheim juga membahas konsep keadilan dalam pembagian kerja yang kompleks di masyarakat. Durkheim setuju dengan pendapat Comte, yaitu masyarakat tidak akan tergerak bersama-sama untuk melawan sesuatu yang diaanggap musuh (dalam hal ini virus corona) jika pembagian kerja yang terjadi tidaklah baik di dalam suatu masyarakat.

Pembagian kerja tidak baik ini misalnya adalah bahwa terjadi ketimpangan pembagian pekerjaan di dalam masayarakat. Terjadinya ketimpangan ini justru tidak akan menimbulkan Solidaritas Organik seperti yang diinginkan oleh Durkheim. Justru sebaliknya masyarakat akan hidup dalam ketidakpastian dan kebingungan.

Nyatanya masyarakat kota sekarang, khususnya di Jakarta telah menjadi masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian dan kebingungan. Pembagian kerja yang sangat timpang antara si Kaya dan si Miskin sama sekali tidak menimbulkan Solidaritas Organik yang diinginkan oleh Durkheim. Masyarakat dalam menghadapi virus bisa dengan mudah mengisolasi diri di suatu tempat dengan persediaan makanan yang cukup dan tempat tinggal yang layak, sementara masyarakat miskin tidak akan bisa melakukan hal itu.

Dari segi aturan nilai yang membentuk semangat bersama untuk bertindak juga tidak akan terwujud. Masyarakat tidak akan patuh dengan anjuran pemerintah sekuat apapun pemerintah melakukannya tanpa sikap represif dan jaminan hidup. Sama sekali tidak akan mempan himbauan-himbauan yang dilakukan karena hal itu sama saja mematikan perekonomian untuk si Miskin dan tidak ada adanya kewajiban secara moral untuk mentaati himbauan tersebut, karena sama sekali tidak terbentuk solidaritas itu.

Masyarakat menengah ke atas akan dengan mudah menghardik orang yang masih bekerja misalnya jualan siomay, baso, atau menjadi ojek online—tetapi tidak akan mengetahui bagaimana peran mereka dalam masyarakat.

Akhirnya kesepekatan Solidaritas Organik tidak akan terwujud di kota ini, karena pembagian kerja yang timpang di masyarakat yang tidak berkeadilan sosial. Hal ini memperlihatkan lubang yang lebih dalam dari perekonomian kita. Kota lain di dunia bisa dengan mudah menerapakan social distancing dan pembatasan ruang gerak, karena memang pembagian kerja mereka sudah mapan dengan konsep berkeadilan, tidak dengan Jakarta. Virus ini hanya menggerogoti sedikit saja perlindugan kita dan langsung terlihat kelemahan kita selama ini, terlebih di ranah ketimpangan sosial ekonomi.

[2] George Ritzer, “Teori Sosiologi dari Klasik sampai Perkembangan Terakhir Post-Modern”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 144.
[3] Ibid. 144.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan