Kuliah di FIS UNJ Berasa SMA Lagi


Tulisan ini kayak pendapat pribadi aja si. Ceritanya juga lebih ke cerita pribadi sama orang-orang terdekat. Cuma kadang kayaknya penting juga buat di sharing sama yang lain, apalagi kalau menurut saya ini masalah sistem perkuliahan di fakultas. Syukur-syukur bisa berdampak baik kalau ada benernya.

Jadi gini, beberapa minggu yang lalu kebetulan nongkrong sama anak kampus sebelah. Iya, doi anak Universitas Indonesia (UI), yang memang udah dikenal seantero negara sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia. Berbincang tentang segala hal, dari mulai urusan cewek (you know lah) sampai ke yang lebih serius (terus cewek gak serius gitu), maksudnya ke yang lebih berbau akademik. Kita coba ngomongin sistem perkuliahan, nah disini nih saya sendiri merasa iri dengan sistem perkuliahan yang ditawarkan oleh kampus sebelah.

Jadi yang saya tau dari dia sebagai temen ngobrol waktu itu, perkuliahan disana itu lebih fleksibel. Jadi gak dibagi kelas gitu di awal masuk perkuliahan, mereka biasanya ngambil mata kuliah sesuai daftar mata kuliah yang diwajibkan dengan sistem rebutan sesuai jurusan. Bukannya hal itu emang wajar ya di kampus? Tapi seperti judul tulisan ini, kuliah di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menurut saya seperti mengulang sistem SMA dahulu. Sedikit saya cerita tentang tentang sistem perkuliahan di FIS.

Pertama kali masuk, seperti biasa kita di Ospek, dari hal yang menurut saya kurang penting sampai ke hal yang menurut saya penting. Ini menurut saya ya, bukan menurut orang lain, jadi bebas saya mau pendapat kayak gimana juga, hehe. Seterusnya, karena saya program studi Sosiologi saya dibagi kelas menjadi dua kelas dengan pembagian kelas A dan B. Namanya juga Maba, saya menganggap hal ini biasa saja.

Ternyata, pembagian kelas itu berlaku sampai saya lulus dan setau saya gak ada di kampus lain. Dengan mata kuliah yang dipaketkan dan diterima oleh seluruh mahasiswa kelas, jadi alhasil 3 tahun kita ketemu dia lagi dia lagi. Sama sekali gak ada mata kuliah yang diluar temen kelas sesuai pembagian awal. Inilah kenapa dibilang kayak SMA.

Selain itu di kampus sebelah ternyata ada program yang disebut dengan lintas fakultas (linfak). Jadi mahasiswa bisa ngambil mata kuliah diluar mata kuliah wajib prodi yang bersangukutan. Bisa buat nambah wawasan kalau mau belajar bahasa asing atau hal lain diluar mata kuliah wajib. Di FIS boro-boro ada kayak gitu, janganpun temen beda fakultas, temen beda prodi aja kalau kita kurang gaul kayaknya gak bakalan kenal.

Belum lagi baru-baru ini, Nadiem Makariem, sebagai menteri baru dengan kebijakan baru Kampus Merdeka hanya mewajibkan mahasiswa mengambil 5 semester belajar mata kuliah wajib. Sisanya bisa ngambil mata kuliah apa aja sesuai penunjang kebutuhan diri atau mau magang, pengabdian, juga bisa.

Sebenernya kalau di pikir-pikir jauh banget kayaknya FIS dari Kampus Merdeka. Sistem perkuliahan aja masih terkesan kayak SMA. Saya si gak tau kenapa kayak gitu, tapi yang pasti sejujurnya kalau boleh milih, better kita ini diberi kebebasan menentukan dosen, teman kelas, atau yang lainnya. Kan lumayan kita bisa nambah relasi atau juga sekedar deketin gebetan di kelas lain, misalnya. Nambah relasi ke prodi lain, fakultas lain, atau mungkin kampus lain. Jadi kuliah gak ketemu lu lagi, lu lagi. 

Memang tulisan ini terkesan minim data dan hanya keresahan pribadi saja, tapi semoga saja ada baiknya juga kedepan. Harapan saya si, fakultas tercinta ini bisa mengembangkan sistem perkuliahan yang lebih merdeka. Apalagi Pak Menteri sudah memberikan wejangan untuk perihal kebebasan perkuliahan, salah satunya kebijakan 5 semester wajib, sisanya bisa ambil mata kuliah penunjang. Kan lumayan nambah kenalan, iya nambah kenalan. 

Akhirnya saya rasa kritikan atau masukan perlu untuk sebuah instansi bernama pendidikan. Toh saya juga bukan humas UNJ yang harus membaik-baikan nama baik kampus. Kalau saya sebagai mahasiswa meminta perubahan saya kira itu juga hak saya. Jadi ayo aja kita sama-sama berbenah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan