Melihat Bobroknya Sekolah dari Buku “Sekolah itu Candu”

Paling sedikit duabelas tahun dihabiskan untuk bersekolah. Masa yang lama dan menjemukan jika sekadar mengisinya dengan duduk, mencatat, mendengarkan guru berceramah di depan kelas, dan sesekali bermain. Sekolah memang bisa mencetak seseorang menjadi pejabat, tetapi juga penjahat. Masihkah pantas sekolah mengakui diri sebagai pameran tunggal yang mencerdaskan dan memanusiakan seseorang? Pertanyaan sederhana ini dikedepankan kepada mereka terutama yang masih sangat percaya pada keampuhan satu lembaga bernama SEKOLAH! 
(dikutip dari buku Sekolah itu Candu).

Sekolah menjadi lembaga yang teramat penting di abad ini. Kalau kamu gagal di sekolah, berarti kamu dianggap akan gagal di masyarakat. Terlebih lagi, kalau kamu gak sekolah, sudah dipastikan kamu tidak akan sukses. Atau bahkan ketika kamu sekolah, tetapi tidak masuk sekolah yang favorit yang dianggap bagus, kamu juga dianggap kurang kompeten. Contohnya, masih banyak orang yang membandingkan kamu kuliah dimana? Seakan kalau kuliah disini atau disitu dapat menggambarkan diri kamu dan masa depan kamu.

Padahal, kalau dipikir-pikir, kamu dapat apa si di sekolah. Membaiknya data kuantitatif[1] dari pendidikan di Indonesia nyatanya belum juga memperbaiki kondisi negeri ini secara signifikan. Tetapi kenapa sekolah masih terus di dewakan.

Seperti pernyataan awal paragraf ini “Kamu dapat apa si di sekolah?”. Sekolah Dasar 6 tahun, Sekolah Menengah Pertama 3 tahun, Sekolah Menengah Atas 3 tahun, ditambah kuliah kalau kamu mampu. Lulus jadi pengangguran, tidak tahu apa saja yang dilakukan selama pendidikan, jadi buat apa sekolah.

Memang gak gitu juga si sebenernya. Banyak kok manfaat dari sekolah. Misal berkurangnya angka buta huruf, jadi masyarakat kita bisa membaca, walau tetap saja keinginan untuk membaca kurang. Atau mungkin yang tidak terlihat, misalnya bertambahnya usia anak untuk menikah, karena lebih banyak sekolah, walau meski kadang banyak juga yang curi-curi waktu untuk bercinta saat sekolah, karena kebelet untuk melakukan produksi.

Kurang lebih itulah yang dibahas di buku “Sekolah itu Candu”. Buku ini menceritakan seorang lelaki bernama Sukardal yang menemukan sebuah naskah yang teramat rahasia di Museum Bank Naskah Nasional, pada tahun 2222. Ya, latar waktu yang digunakan adalah di masa depan.

Sukardal kemudian membaca naskah-naskah tersebut yang terdiri dari cerita-cerita pendek yang dirangkum dalam satu bahasan pokok yaitu ‘sekolah’, oleh karena itu pula, naskah itu diberi nama sekolah.

Buku ini pada umumnya membahas bagaimana bobroknya sekolah yang ada di Indonesia, maka tidak heran buku ini diberi judul “Sekolah itu Candu”. Di mulai dari menjamurnya sekolah di masyarakat; kemudian penggunaan seragam sekolah, mekanisme sekolah yang seperti perusahaan; sekolah yang seakan menyeragamkan orang padahal setiap daerah punya kekhasnya masing-masing, sampai manfaat sekolah yang hanya bikin ruwet dan sama sekali kurang berpengaruh pada tujuan dari pendidikan, yaitu perbaikan watak, penambahan pengetahuan, dan pelatihan keterampilan.[2]

Yang menarik sebenarnya adalah buku ini dikemas dengan cerita-cerita seperti cerpen. Dimana disetiap cerita selalu ada kritik-kritik terhadap institusi bernama sekolah. Sebut saja judul-judul cerpen tersebut seperti “Sekolah Di sana-sini”, “Seragam Sekolah”, “Sekolah itu Candu!”, dan “Sekolah Sudah Mati”. Kesemua cerpen itu memiliki sindiran-sindiran pada institusi sekolah.

Contoh sindiran muncul di cerita yang diberi nama “Sekolah itu Candu”, dalam tulisan ini, penulis mengisahkan bagaimana jika seseorang dianggap gagal di sekolah maka ia akan sangat kecewa. Sekolah sendiri dianggap sebagai suatu institusi yang tak pernah salah, karena jarang sekali anak yang gagal di sekolah kemudian sekolahnya yang disalahkan. Yang disalahkan biasanya si anak. Dan ketika si anak disalahkan, maka hilanglah kemampuan dan kepercayaan dirinya.

Saya kira buku ini menjadi menarik untuk dibaca oleh kaum pendidik atau masyarakat umum. Bagaiamanapun juga evaluasi berupa kritik penting untuk memperbaiki sistem yang ada di sebuah lembaga bernama sekolah. 

Selain memberikan kritik, buku ini juga mencoba memberikan konsep ideal tentang lembaga pendidikan seperti sekolah. Dalam buku ini, penulis mengkhendaki bahwa sekolah harus lebih fleksibel dalam memberikan pengajaran, guru lebih terbuka terhadap pendapat murid, dan menghargai setiap keunikan murid dengan kepandaiannya masing-masing. Serta menekankan bahwa sekolah bukan satu-satunya tempat untuk mendapat pendidikan, lebih dari itu, semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru, dan semua buku adalah ilmu.




[1] Jumlah anak yang putus sekolah berkurang, hal ini artinya secara jumlah banyak anak yang menempuh pendidikan sekolah di Indonesia.
[2] Dicetuskan oleh Benjamin S. Bloom yang juga di ulas sedikit oleh buku ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan