Senja Kopi dan Puisi sebagai Konsumsi di Era Sekarang

Setelah Perang Dunia Kedua selesai, umat manusia mengalami babak baru membangun peradaban. Jika sebelumnya manusia mencoba membuat alat perang yang efektif untuk memusnahkan lawan, maka berikutnya manusia berlomba membuat tekhnologi untuk produksi.[1] Hal itu memiliki dampak banyak sekali pada kehidupan manusia, salah satunya bertambahnya jumlah penduduk. Padahal Thomas Malthus pernah memprediksi, bahwa jumlah penduduk akan melebihi jumlah produksi makanan, hingga suatu waktu manusia akan kekurangan sesuatu untuk di konsumsi. Ternyata ramalan itu salah, manusia justru mendapat kelimpahan konsumsi, meski tidak merata, tetap saja produksi manusia jauh meningkat. Hal ini disebabkan karena inovasi yang dilakukan oleh manusia dalam bidang tekhnologi.

Tetapi kelebihan produksi juga tidak memiliki resiko yang negatif. Salah satu resiko dari kelebihan produksi adalah bagaimana cara  menggunakan produksi tersebut. Tidak bisa kita pungkiri bahwa barang produksi sangatlah melimpah. Saya beri contoh, untuk memakan satu produk minuman Kopi, Anda dihadapkan berbagai pilihan jenis Kopi, dari yang manis hingga pahit, dari yang berampas hingga tidak, dari yang kemasan kapal hingga kemasan hewan luwak. Padahal semuanya sama-sama Kopi, yang berasal dari tumbuhan yang ditanam di suhu dan ketinggian tertentu, yang ditujukan sebagai kebutuhan manusia untuk merasakan kenikmatan.

Dari kasus tersebut, sebenarnya ada benang merah yang bisa kita ambil, bahwa semakin banyak produksi menyebabkan konsumen semakin selektif. Satu-satunya cara agar produk produsen terjual adalah memberikan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang unik, yang tidak dimiliki oleh produk lain. Hal yang berbeda itulah yang menjadi daya tarik, meski kadang produk itu memiliki nilai guna yang sama, tetapi ada nilai lain yang menjadikan Kopi itu menjadi spesial. Hai itupun berlaku di produk lain selain Kopi. Di gaya berpakaian, gaya hidup, pilihan mobil, atau selera musik. Masing-masing menawarkan sesuatu yang unik, yang sering kita tidak sadari.

Fenomena tersebut yang disorot oleh seorang filsuf bernama Jean Baudrillard, yang mencoba memberikan pandangan sekaligus kritikannya pada hal tersebut. Baudrillard mengatakan bahwa konsumsi masyarakat bukan hanya di dasarkan pada nilai guna, melainkan pada nilai makna, tanda, atau simbol yang terkandung dalam benda tersebut.[2] Hal itu menjadi masuk akal, karena produsen harus menjual produk mereka dan berbagai cara mereka lakukan, salah satunya mencipatakan hal yang unik yang membedakan produknya dengan orang lain, misalnya melalui simbol atau tanda.

Pada fenomena kebudayaan yang kami teliti, yaitu Sekopus, kami mencoba mengulik bagaimana fenomena ini muncul dari sudut pandang teori Baudrillard. Sekopus sendiri bukan hanya produksi benda melainkan gaya hidup, oleh karena itu yang kita ulik bukan hanya benda, melainkan gaya hidup yang muncul dari produksi ini. Karena gaya hidup juga dimaknai sebagai bentuk konsumerisme—gaya hidup secara tidak langsung mempengaruhi apa yang orang konsumsi, barang apa yang mereka pakai dan sebagainya.[3]

Pertama, kami akan membahas tentang Senja dan Puisi, kemudian berikutnya akan kami bahas tentang Kopi. Pembagian ini didasarkan pada pengertian kedua hal ini yang berbeda, pertama untuk Senja dan Kopi kami lebih suka menyebutnya dengan gaya hidup yang mempengaruhi konsumsi, kedua untuk Kopi kami membahas sebagai bentuk komoditas yang dikonsumi. Meski berbeda, keduanya tetap dalam satu pembahasan yaitu sebagai bentuk fenomena konsumerisme.

Pembahasan pertama, Senja dan Puisi adalah mutlak gaya hidup, dimana seperti pengertian gaya hidup itu sendiri, yaitu suatu perilaku yang terpola dilakukan berulang-ulang. Orang yang memiliki gaya hidup Senja dan Puisi bisa dimaknai sebagai orang yang menikmati Senja serta Puisi, bisa dilihat misalnya dengan intensitas orang tersebut membuat Puisi atau menikmati Senja. Hal itu menjadi mudah diamati di era sekarang, setelah media sosial menjadi gaya hidup penunjang gaya hidup lain. Orang yang mencintai Senja dan Puisi kerap kali mem-posting hal tersebut di akun media sosial mereka. Untuk itu sebenarnya tidak sulit menemukan orang yang memiliki gaya hidup seperti ini.

Seperti beberapa narasumber yang kami wawancarai, pada umumnya mereka sering membagikan postingan mengenai Senja, Kopi dan Puisi di akun sosial media mereka. Sebut saja akun Instagram @rahzaalfack, @silvianaekaa, dan @malikmaulana679, yang sering memposting Gambar Senja, tulisan Puisi, dan nongkrong di tempat Kopi. Oleh karena itu pula, kami mencoba mewawancarai merekan. Bahkan Adi, yang memiliki akun @rahzaalfack, merupakan penjual Kopi yang mencantukan setiap Puisi di Kopi yang ia jual. Meski hanya Kopi sachet biasa, tetapi hal itu menjadi daya tarik untuk pembeli. Lain hal misalnya dengan Silvi, wanita ini sering sekali upload gambar Senja di sosial medianya, selain itu tentunya dengan Puisi, Silvi juga merupakan seorang penggemar Kopi, menurut pengakuannya dia termasuk orang yang berkeliling mencari  Kopi ke berbagai toko. Sementara itu Maul, biasa mendapat inspirasi dari Senja dan Kopi untuk mebuat Puisi.

Lalu apa hubungannya dengan teori Baudrillard, dalam hal ini. Begini, gaya hidup seringkali memiliki tanda yang dimaknai prestis, nilai sosial,status, dan kekuasaan.[4] Pada kasus ini, seorang yang menjadikan Senja dan Puisi sebagai gaya hidup akan mengkonsumsi komoditas yang memiliki makna sesuai gaya hidup yang ia miliki. Akhirnya, sesuatu yang dikonsumsi tersebut menjadi sesuatu yang menunjukan status dia, dalam konteks ini sebagai orang yang mencintai Senja dan Puisi. Satu komoditas yang menunjukan status seseorang sebagai pecinta Senja dan Puisi adalah Kopi, maka dari itu Kopi dalam hal ini sudah berubah makna dari awalnya sebagai konsumsi benda menjadi konsumsi makna untuk menunjukan status sosial pecinta Senja dan Puisi.

Prestise muncul ketika mengkonsumsi Kopi, hal itu seperti yang diungkapkan oleh Maul, salah satu narasumber kita.

“Brand, brand sama yang kedua prestis, sama kayak yang gue lihat ya, kalau orang-orang yang ada di tempat Kopi itu biasanya, wah gila, ini orang, ini orang kayak pecinta Kopi banget ini, berarti orang ini pecinta seni, orang, nah, jadi, masyarakat sekarang atau remaja sekarang itu gampang banget mempertautkan segala sesuatu itu, orang yang suka Kopi, berarti dia suka seni, seni itu diidentikkan sama Puisi, padahal seni itu bukan Puisi aja, nah, tapi di zaman sekarang itu gampang banget orang kayak mempertautkan segala sesuatu”.(Transkip wawancara dengan Narasumber).

Maka tidak heran, di warung Kopi sering kita menemukan toko-toko yang menggunakan tema-tema Puisi. Sebut saja Kopi Kenangan, Kopi Janji Jiwa, Kopi Lain Hati, dan atau Kopi yang menyertakan Puisi dalam Kopi dalam Puisi tersebut. Hal itu diperuntukan untuk menunjukan gaya hidup seseorany yang mencintai Senja dan Puisi.

Pembahasan kedua, yaitu tentang Kopi. Tidak ada definsi yang pas untuk mendeskripsikan benda ini, yang pasti benda ini adalah salah satu kebutuhan manusia untuk minum, sebagian besar untuk bisa memenuhi kebutuhan ketenangan, dan dinikmati di waktu santai. Salah satu yang membedakan Kopi satu dengan yang lainnya adalah harga, hal itu bisa dipengaruhi oleh misalnya jenis Kopi yang digunakan, lamanya proses pembuatan, atau yang lainnya. Tapi di era sekarang, ada faktor lain yang membuat Kopi berbeda, yaitu  pemberian makna pada Kopi itu sendiri.

Inilah inti dari pembahasan kedua, yaitu tentang pemaknaan Kopi sehingga memiliki perbedaan dengan Kopi yang lain. Kami tidak memungkiri bahwa faktor yang menyebabkan Kopi spesial itu ada banyak hal, seperti yang disebutkan sebelumnya, tetapi saya yakin bahwa faktor pemaknaan atau yang lebih sering disebut sebagai faktor branding menjadi penting juga. Dalam hal ini mari kita lihat fenomena ini dengan pandangan teori Baudrillard, ia menyatakan bahwa masyarakat kita telah dikelabui oleh sebuah realitas yang semu, relaitas yang diciptakan oleh media, yang anehnya kita konsumsi hal itu tanpa menganggap hal itu hanyalah omong kosong. Kita menikmati indahnya Puisi dari secangkir Kopi Kenangan, yang misalkan di dalamnya terkadung Puisi yang sangat mengena di hati.

Padahal, Kopi tidak bisa bersedih, Kopi juga tidak Bahagia, itu hanya benda yang kita nikmati. Tetapi, nyatanya hal itu berhasil membuat orang untuk mengkonsumsi Kopi yang memiliki brand yang bagus atau yang memiliki Puisi di dalamnya. Maka jelas, seperti yang dikatakan Baudliralld bahwa konsumsi kita bukan hanya berdasarkan nilai guna, ada nilai lain yaitu nilai makna.

Penjelasan dari Narasumber Adi juga menguatkan bahwa konsumsi Kopi menggunakan makna memang untuk meningkatkan penjualan. Adi sendiri merupakan salah satu penjual Kopi yang menggunakan puisi untuk menjual produknya.

Pertama, untuk hal yang kayak gitu, mungkin itu, strategi marketing nya penjual ya, yang memang ditujukan untuk menarik perhatian atau menarik minat pembeli, jadi mungkin wajar-wajar aja ketika banyak pembeli yang, apa namanya ya tadi? memanfaatkan pemaknaan daripada puisi-puisi nya, atau mungkin, ya, sekedar buat Instastory dan   sebagainya, ya, itu kan hak mereka, untuk membeli, cuman, ya, karena memang itu adalah  tujuan daripada si penjualnya itu kan, biar laku kopinya gimana nih, akhirnya dapet target pembelinya sekian, dan pembelinya, ya udah, ngikutin apa yang sesuai dengan skema daripada targetnya mereka. (Transkip wawancara dengan Narasumber).



[1] Raja Cahaya Islam, “Simulacra Sebagai Kritik atas Modernisme”, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1, 2017, hlm. 91-92.
[2] George Ritzer, “Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 1086.
[3] Mutia Hastiti, “Masyarakat Konsumerisme Menurut Pemikiran Baudrillard”, Depok, (Paper diupload di perpustakaan Universitas Indonesia), hlm. 4
[4] Chris Barker, “Cultural Studies”, (Bantul: Kreasi Wacana, 2011), hlm. 166

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan