Catatan Perjalanan di Kampus Hijau: Mahasiswa, Pesta, Buku, dan Cinta

Apa yang lebih menyenangkan daripada menjadi anak muda, bebas, dan bergairah? Saya kira jawabannya adalah menjadi seorang mahasiswa muda. Orang yang berpendidikan tinggi, belum bekerja, dan bebas hura-hura tanpa beban pikiran. Apakah semudah dan semenyenangkan itu menjadi mahasiswa?

Mahasiswa selalu identik dengan tiga hal, Pesta, Buku dan Cinta. Pesta, dalam artian sewaktu muda berkumpul bersama teman-teman merupakan hal yang sangat menyenangkan. Di tempat kopi, di bawah pohon rindang, di kos-kosan, dimanapun yang penting kumpul. Ada yang berdiskusi, ada yang bercanda, ada yang bahkan mabuk-mabukan—semuanya merupakan gaya anak muda yang banyak dilakukan sekarang.

Buku, karena konteksnya mahasiswa, maka saya kira tidak ada yang bisa menapikan bahwa buku merupakan elemen penting dalam kehidupan mahasiswa. Buku menjadi tuntutan maupun hobi, ada yang membacanya karena paksaan dosen ada juga yang menikmatinya sebagai hiburan yang sangat menyenangkan. Buku adalah jendela dunia dan karena itu jendela dunia, kenapa kita tidak membukanya terus agar kita bisa melihat dunia.

Dan terakhir, tentunya Cinta. Anak muda mana yang tak mengenal cinta, terutama kepada lawan jenis. Kita tidak bisa menjadi munafik untuk hal ini, tetapi masa muda memang menyenangkan untuk membahas yang satu ini. Ada berbagai cara anak muda menampilkannya, ada yang agresif atau pasif—tetap saja semuanya tetap cinta. Seperti kata Tere Liye, “Dikatakan atau tidak, itu tetap cinta”.

Kehidupan Saya di Kampus Hijau
Tiga tahun saya berkuliah di kampus hijau ini. Banyak tentunya yang telah saya rasakan—pahit manis kehidupan kampus sudah saya jalani. Perihal tiga konsep Pesta, Buku dan Cinta saya tentu memiliki cerita-cerita yang berbeda dengan orang lain. Karena memang setiap orang memang berbeda bukan?

Pesta, saya termasuk orang yang pemalu sebelumnya. Di awal semester satu bukan perkara yang mudah untuk menemukan teman yang satu frekuensi. Saya masih sibuk mengamati dan mengamati, seperti tulisan Catatan di Kampus Hijau yang pertama. Meski akhirnya kita akan tetap mendapatkan orang-orang disekeliling kita, bagaimanapun caranya.

Awalnya saya sering mengikuti mentoring (salah satu program kaderisasi Islam di Kampus), sangat menyenangkan, apalagi dijelaskan juga berbagai kegiatan tentang ajaran-ajaran Islam. Hal ini sesuai dengan kegiatan saya sebelum kuliah yang dahulunya pernah menjadi seorang ketua Rohis dan Seksi satu Ketuhanan yang Maha Esa. Namun kegiatan ini hanya berlangsung sampai semester 2 saja, karena kesibukan mentor yang sudah banyak, sehingga sulit membagi waktu untuk melakukan mentoring waktu itu.

Semester-semester berikutnya, saya mulai mencari jati diri dengan mencoba bergaul dengan beberapa orang. Yang pada akhirnya bertemu semancam geng-geng kelas yang terbentuk secara alami. Terus saja berjalan sampai sekarang, meski tidak terlalu intim, tetap saja bermakna dan dibutuhkan untuk sekadar info perihal akademik.

Sebenarnya jika berbicara pesta, banyak sekali kegiatan-kegiatan kampus yang mengarah ke arah sana. Terutama jika kita berteman dengan anak-anak yang biasa diberi label sebagai anak tongkrongan. Saya juga sesekali sering ikut nongkrong, sekadar merokok sembari berdiskusi—saya kira hal itu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mahasiswa. Sesekali meminum minuman keras menjadi wajar di sebagian kalangan anak muda.

Saya tidak ingin menggeneralisir, tetapi memang begitu adanya. Setiap orang punya jalannya masing-masing untuk menghabiskan masa mudanya. Jalan kita saya kira bukan untuk mengomentari hal itu, yang terpenting tujuan utama dari pendidikan yang mesti di perjuangkan. Ketika anak muda yang di sekolahkan tidak punya kepedulian terhadap negeri ini, barulah kita bisa menghardik orang itu. Argumen ini akan saya tuliskan di judul terakhir tulisan ini.

Berikutnya Buku, mahasiswa menjadi sangat identik dengan buku. Saya sendiri sangat mencintai buku, padahal sebelumnya (ketika SMA) saya termasuk orang yang jarang membaca buku. Mungkin setahun hanya bisa menghabiskan dua buku diluar buku pelajaran—sangat kecil. Mungkin itu pula yang menyebabkan bangsa ini jauh dari kata maju dari segi pemikiran—karena masyarakatnya masih malas baca buku.

Ketika kuliah, saya tergabung dalam organisasi literasi bernama PUSDIMA. Saya banyak mendapat inspirasi buku bacaan dari senior-senior dan terus terang hal itu membuat kecintaan saya pada buku itu tumbuh. Mungkin jika dihitung sekarang, sebulan saya bisa membaca satu buku bahkan lebih, menurut saya merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa, terutama bagi saya.

Dalam buku kita bisa belajar sesuatu yang baru, memotivasi kita untuk bepergian, menambah kosakata kita dalam menulis dan banyak lagi. Banyak sebenarnya manfaat buku itu. Sejak di temukannya mesin cetak di Jerman memang buku menjadi media penyimpan informasi yang efektif untuk menciptakan peradaban manusia yang maju hingga gekarang ini.

Namun sayang, kemajuan ini belum bisa dirasakan oleh setiap orang di negeri ini. Masih banyak orang yang kecintaannya pada buku masih kecil, hal itu mungkin banyak juga dikarenakan orang belum banyak bisa mengakses pendidikan, dibanding kita yang sudah mahasiswa.

Dan terakhir—Cinta. Konsep ini selalu menjadi hal yang banyak sekali dipikirkan tetapi sedikit yang bisa dituliskan. Mungkin karena cinta lebih menyenangkan untuk dirasakan daripada dibuat tulisan.

Nyatanya saya pribadi merasakan gejolak itu besar ketika di kuliah. Meskipun di masa-masa putih abu-abu atau putih biru kita pernah merasakannya, tetap saja masa kuliah selalu lebih serius. Kita belajar memahami orang lain begitupun sebaliknya. Banyak sekali pelajaran yang bisa manusia ambil dari kegiatan ini, bagaimanapun juga ini merupakan hal dasar manusia—dan hanya orang munafik yang menampikannya.

Saya selalu suka ungkapan Alber Camus, “Yang terbekati adalah yang memiliki hati yang bisa membekok, karena itu ia tak pernah patah hati”. Meski terdengar mustahil (semua orang pasti patah hati) dan memang tetap saja patah itu tidak bisa dihindari, tetapi sebisa mungkin kita bisa mengobati dengan waktu atau hal baru. Sedikit yang bisa saya ceritakan dalam hal ini, terlalu indah dan banyak sehingga sulit diungkapkan.

Apakah Mahasiswa Hanya untuk Pesta, Buku dan Cinta?
Saya sangat suka ungkapan dosen saya di mata kuliah Sosiologi Kepemudaan, ia berkata “Pemuda itu adalah individu yang memiliki beban masa depan sekaligus bayang-bayang masa lalu”. Betul sekali saya kira ungkapan itu—kita sebagai mahasiswa berada ditengah-tengah antara peride masa lalu dan masa depan—yang artinya setiap kemungkinan perubahan bisa terjadi.

Mahasiswa, sejak dahulu selalu punya beban masa lalu untuk menjadi agen perubahan. Sejak digulingkannya Soekarno, kita mengenal sosok Soe Hok Gie yang dengan lantang menyuarakan perubahan. Kemudian jauh melangkan ke fase Reformasi 1998, dimana mahasiswa menjadi aktor penting perubahan sosial, penurunan Soeharto dengan tuntutan reformasi menjadi konteks masa lalu yang tidak bisa ditampikan.

Lalu bagaimana peran mahasiswa di era sekarang setelah kurang lebih 20 tahun reformasi. Apakah pemuda sekarang sudah kehilangan tanggung jawab untuk menjadi aktor perubahan? Atau kita sudah mengaggap keadaan sekarang baik-baik saja, sehingga tidak diperlukan lagi perubahan? Lalu kenapa harus mahasiswa sebagai pemuda yang harus bergerak? Pertanyaan-pertanyaan itu akan sangat menarik karena tuntutan pemuda yang mendapat mandat beban masa depan.

Meski jumlah mahasiswa di Indonesia mencapai angka tertinggi sejak tahun 1997, yaitu sekitar 7 juta,yang terbagi dalam 4,5 juta di Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dan 2,5 Juta di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).[1] Meski begitu hal itu masihlah kecil jika dibanding dengan populasi pemuda usia 19-23 tahun yang mencapai 80-107 juta.[2] Seperti yang kita ketahui bahwa jumlah penduduk di yang diakses dari website Biro Sensus Amerika Serikat mencapai 264 juta pada tahun 2017. Hal itu menjadi perbandingan yang sangat timpang antara mahasiswa dengan pemuda di Indonesia, apalagi dengan jumlah penduduk di Indonesia.

Tugas mahasiswa dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pendidikan, penelitian dan pengabdian. Itulah tugas pokok yang diberikan oleh negara pada mahasiswa. Pertama memberikan pendidikan kepada masyarakat dan kepada Angkatan sekolah yang angkanya untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 25,49 juta jiwa atau sebesar 56,26% dari total perserta didik yang mencapai 45,3 juta jiwa, Sekolah Menengah Pertama (SMP) mencapai 10,13 juta jiwa (22,35%), dan ekolah Menengah Atas (SMA) mencapai 4,78 juta jiwa (10,56%) kemudian untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 4,9 juta jiwa (10,83%).[3]

Kemudian juga melakukan penelitian untuk berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia. Dari mulai kemiskinan yang mencapai angka 24,79 juta pada September 2019.[4] Belum masalah-masalah lain dibidang kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Serta terakhir bentuk pengabdian yang bisa mahasiswa lakukan di berbagai bidang.

Memang bukan sepenuhnya tanggung jawab mahasiswa—saya juga tidak memberikan statement seperti itu. Tetapi bukankah kita juga punya andil untuk bisa memperbaiki hal itu. Kita adalah kumpulan pemuda yang diberikan keberuntungan hak yang istimewa untuk menjadi orang yang berpendidikan. Tidak semua orang pemuda yang berjumlah sangat banyak itu bisa menjadi bagian dari 7 juta orang yang bisa mengenyam pendidikan.

Mahasiswa mempunyai beban secara moral dan finansial untuk berpihak kepada rakyat miskin dan mencoba memperbaiki negeri ini. Secara finansial kehidupan mahasiswa itu tidak sepenuhnya dibiayai oleh mahasiswa yang punya uang (secara pribadi) ada banyak mahasiswa yang mendapat beasiswa dari pemerintah dan perlu dicatat bahwa hampir setiap kampus swasta maupun negeri mendapat subsidi dari pemerintah. Gedung yang kita pakai yang sering disebut menara gading itu milik rakyat, semuanya milik rakyat.

Memang kita dalam Undang-Undang mendapat jaminan untuk mendapat pendidikan, tetapi jika pendidikan itu hanyalah memunculkan sekelompok bajingan egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri—untuk apa pendidikan itu. Orang-orang itu hanyalah orang culas yang tak tahu terima kasih, yang tak tahu malu memakan daging dari hasil jerih payah orang lain. Sebaiknya kita tidak masuk ke dalam golongan pemuda semcam itu.

Kita dididik untuk memiliki kepedulian untuk membangun negeri ini. Seperti orang tua yang menyayangi anaknya begitupun sebaliknya, seharusnya kita juga harus menyayangi rakyat sebagai mana mereka menyayangi kita.

Menjadi mahasiswa bukan pilihan yang menarik, disatu sisi menyenangkan disisi lain memiliki tanggung jawab sosial yang berat. Saya pribadi tidak pernah mempersolakan bagaimana warna pemikiran dan sikap mahasiswa itu, entah itu religius, anarkis, atau bahkan apatis—dengan bendera partai, individu, golongan atau apapun—yang saya pedulikan dan inginkan adalah bahwa kita semua selaku mahasiswa memiliki semangat yang sama untuk membangun bangsa. Berkarya dengan jalan masing-masing demi negara dan rakyat Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan