Gagasan Machiavelli untuk Demokrasi yang Lebih Baik


Demokrasi dianggap menjadi sistem paling adil dalam politik hingga saat ini. Salah satu yang membuktikan hal itu adalah hampir semua negara di dunia menggunakan sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Dalam demokrasi yang ideal seluruh warga negara dalam suatu pemerintahan memiliki kedudukan yang sama dalam setiap aspek kehidupan, entah itu di dalam politik, pendidikan, pekerjaan, hukum dan yang lainnya. Itulah mengapa sistem ini dianggap baik, karena mengkhendaki kesetaraan dalam segala bidang

Adapun pemimpin tertinggi dari demokrasi adalah rakyat, seperti pengertian dari demokrasi itu sendiri, yaitu pemerintahan dari rakyat, yang sekarang ini lebih banyak diwujudkan dalam bentuk perwakilan. Hal ini tentu berbeda dengan demokrasi langsung yang terjadi di Yunani zaman dahulu, karena dari segi jumlah penduduk pun tentunya berbeda.

Sistem demokrasi memang berkembang di Yunani sejak abad ke IV SM, tetapi justru berkembang pesat ketika Revolusi Prancis pada 1789 (Supardan, 2015). Para bangsawan swasta waktu itu mencoba menggulingkan sistem monarki karena dianggap tidak adil dalam sistem ekonomi, para raja semena-mena dalam mengambil hak-hak orang lain, terutama para tuan tanah, maka mereka memerlukan sistem yang lebih adil, dan dipilihlah demokrasi.

Uniknya setelah berabad-abad berlalu, mereka kaum bangsawan swasta yang mendorong demokrasi pada awalnya justru tidak mengkhendaki demokrasi total yang ideal di era sekarang. Hal itu tercermin dari kecenderungan munculnya oligarki politik, dimana segelintir orang yang memiliki alat produksi mengontrol negara untuk kepentingan mereka sendiri. Hal ini tentunya menjadi ironi, dimana awalnya mereka memperjuangkan kesetaraan dalam ekonomi dan politik, sekarang justru merekalah yang menghambat kesetaraan tersebut.

Hal itu sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Robert A. Dahl, bahwa permasalahan utama dalam demokrasi modern adalah soal pembagian hak politik yang merata dalam dimensi demokrasi dan kapitalisme (Liddle, 2012). Kapitalisme yang menimbulkan perbedaan kepemilikan alat produksi menyebabkan kekuatan politik yang tidak berimbang antara yang kaya dan yang miskin. Mereka yang kaya tentunya mendapat akses pendidikan, kesehatan, dan lainnya lebih baik dari orang miskin dan itu memupuk modal yang lebih besar untuk bertarung di arena politik. Dan seperti yang Dahl ucapkan, bahwa semua negara demokrasi modern mengalami masalah tersebut.

Liddle dalam makalahnya dari buku Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia mengatakan setidaknya ada lima hal yang menjadi kesimpulannya mengenai pemikiran Dahl dalam demokrasi. Pertama, sepanjang sejarah modern, demokrasi hanya tumbuh di negara kapitalis. Kedua, akrabnya dua sistem itu sangat beralasan, karena keduanya menjunjung tinggi kebebasan individu. Dan ketiga, demokrasi dan kapitalisme berseteru dan keduanya berkompromi untuk mengubah sifatnya masing-masing; hal itu bisa dilacak ketika negara kapitalis tidak sepenuhnya bebas intervensi, karena jika ada sistem yang terlalu menguntungkan segelintir orang, maka civil society berusaha untuk mengubah hal tersebut. Keempat, ironi dimana demokrasi bermutu tinggi di halangi oleh kapitalisme yang menghambat penyebaran sumber daya politik. Dan kelima, hal itulah yang menjadi ironi besar negara-negara demokrasi modern di dunia.

Kesimpulan itulah yang menjadi pijakan awal saya dalam menulis esai ini. Kita harus menyadari bahwa ironi itu nyata adanya dalam kehidupan politik sekarang ini, demokrasi dan kapitalisme memang sangat cocok di lain sisi tetapi juga saling menghambat di sisi yang lain. Hambatan demokrasi pada kapitalisme total barangkali bisa dilihat dari intervensi civil society agar menciptakan hukum yang pro terhadap yang lemah, seperti program asuransi, program pengangguran, program bantuan sosial dan lain-lain. Kemudian hambatan kapitalisme kepada demokrasi adalah sebaran sumber daya politik yang terbatas karena perbedaan kepemilikan alat produksi, yang bahkan dalam kondisi tertentu menciptakan sebuah sistem oligarki politik dengan menghalalkan berbagai cara untuk mengintervensi kebijakan pemerintah.

Di Indonesia sendiri proses demokratisasi memang terjadi pasca Orde Baru, tetapi tetap saja kemunculan kelompok oligarki tetap terjadi. Seperti laporan investigasi majalah Tempo yang mengatakan kembalinya pemain-pemain lama dalam dunia bisnis dalam ekonomi Yudhoyono, juga aktor-aktor politik lama yang membangun instalasi dan kekuatan politik baru seperti dengan membentuk partai politik maupun bergabung dengan partai politik baru (Wirasenjaya, 2015). Demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru memang melahirkan iklim demokrasi yang lebih baik, namun disisin lain kapitalisme yang menyebabkan perbedaan kepemilikan alat produksi membatasi demokrasi total yang ideal, karena segelintir orang menggunakan kepemilikan modal produksinya untuk menciptakan kepentingan oligarki.

Itulah yang akan coba penulis telusuri dalam esai ini, bagaimana demokrasi sekarang ini di Indonesia melalui kasus-kasus yang terjadi sekarang ini. Apakah demokrasi kita sedang baik-baik saja atau sebaliknya ada yang salah dengan hal itu. Kemudian, terakhir, konsep Machiavelli tampaknya akan menjadi sebuah kesimpulan yang menarik bagaimana kita bisa menghadapi masalah yang di katakan Dahl di awal tulisan ini.

Demokrasi di Indonesia di Masa Pandemi

Situasi pandemi di yang melanda dunia seringkali menjadi alasan negara untuk bersikap otoriter, karena alasan kedaruratan. Suara publik tidak terlalu di dengarkan, sama seperti sebelumnya sebenarnya—sebelum pandemi demokrasi sekarang ini memang tidak baik-baik saja, lebih-lebih sekarang, dimana salah satu aspirasi yang bisa dilakukan adalah dengan cara turun ke jalan, tetapi juga tidak bisa dilakukan karena situasi pandemi yang tidak memungkinkan akan hal itu.

Kasus Novel Baswedan adalah bukti bahwa demokrasi kita tidak baik-baik saja. Terdapat kecurigaan yang nyata dari publik bahwa kasus Novel merupakan kasus yang cenderung tidak adil penegakannya. Dari awal penyidikan sudah menjadi sorotan publik, karena di curigai serangan terhadapnya merupakan bentuk buntut kejahatan dari praktik korupsi. Novel yang merupakan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di serang oleh air keras yang baru-baru ini diketahui di serang oleh anggota polisi dengan motif dendam menurut hasil penyidikan.

Berita terbaru, pelaku hanya dituntut dengan vonis ringan dari jaksa penuntut umum. Hal itu bukan hanya menyulut emosi publik, tetapi benar-benar mencederai hukum yang ada di negeri ini. Sebagian besar masyarakat marah, tetapi sekali lagi—yang bisa dilakukan adalah dengan Gerakan media tidak langsung, yaitu dengan media sosial, karena demonstrasi tidak memungkinkan disituasi pandemi.

Banyak elemen masyarakat menyuarakan hal ini, termasuk kalangan artis yang tentunya memiliki pengaruh yang lebih besar dari masyarakat pada umumnya, karena lebih banyak bisa menggerakan dan membentuk opini publik. Tetapi justru heboh kembali, karena fenomena buzzer yang muncul dan ada kecenderungan meneror si pembuat onar dalam hal ini artis yang mencoba untuk bersuara. Fenomena ini seakan-akan seperti bom waktu, karena sedari dulu fenomena buzzer memang marak dan di curigai dilakukan oleh penguasa. Jadi sebenarnya, kasus ini bukan yang pertama, dan inilah yang menjadi alasan kenapa buzzer ini dianggap serius. Buzzer seakan menjadi anjing penjaga pemerintah di ranah digital, jika ada yang kritis maka anjing-anjing itulah yang menggonggong.

Berikutnya, dikebutnya undang-undang kontroversial seperti Omnibus Law dan RKUHP di tengah pandemi dianggap sebagai kebijakan aji mumpung, agar tidak adanya resistensi dalam pengesahaanya. Seperti yang dikatakan oleh Naomi Klein, bahwa elit cenderung memanfaatkan situasi collective shock seperti peperangan, krisis ekonomi, serangan teror, atau bencana, untuk melanggengkan peraturan yang bernuansa kepentingan pribadi (Pinter Politik, 2020). Yang terjadi adalah seolah-olah DPR itu bukan representasi dari rakyat, padahal harusnya dalam demokrasi perwakilan, DPR adalah ujung tombak rakyat dalam menyuarakan keinginannya.

Kehadiran DPR harusnya bisa mengimbangi kekuatan yang menunjukkan daulat rakyat untuk mengimbangi pemerintah (Mihradi, 2020). Tetapi yang terjadi sekarang justru yang ada adalah kecenderungan untuk membersamai pemerintah dalam mewujudkan berbagai kebijakannya yang banyak di kritik di masyarakat. DPR mendukung adanya (1) Revisi UU KPK atau di kalangan pegiat demokrasi dikenal sebagai UU pelemahan KPK; (2) UU KUHP, yang membuka peluang intervensi kepentingan negara dalam ranah privat; dan (3) RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, yang dianggap melemahkan KPK dan menguntungkan pihak elit tertentu (Noor, 2020). Masih hangat dalam ingatan, demo mahasiswa pada September tahun lalu, yang merupakan demo terbesar setelah reformasi 1998 yang diberi nama dengan Gerakan Reformasi di Korupsi. Hal itu akan sia-sia, mengingat tuntutannya waktu itu jika sampai lolos dalam pembahasan sekarang yang memanfaatkan situasi pandemi, karena aspirasi turun ke jalan akan sulit dilakukan.

Bukan hanya itu, di jalankannya Perppu No. 1 Tahun 2020 tanpa halangan berarti dari DPR meski mendapat banyak kecaman dari pengamat politik dan berbagai LSM semakin memperlihatkan kecenderungan kuasa negara yang over dalam demokrasi di Indonesia dan kepercayaan publik semakin menurun. Burhanuddin Muhtadi, selaku Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia juga mengatakan bahwa kepuasan publik terhadap demokrasi di Indonesia, terutama saat pandemi ini mengalami penurunan. Yang awalnya, ketika bulan Februari 2020, kepuasan mencapai 75,6%, sekarang turun menjadi 49% (Novianto, 2020).

Berbagai fenomena sosial politik sekarang mengindikasikan bahwa terjadi intervensi elit dalam kebijakan-kebijakan yang menyangkut orang banyak. Kasus Novel mengindikasikan bahwa terjadi ketidakadilan hukum kepada anggota KPK yang terindikasi di serang oleh orang yang berkuasa. Dari mulai kekerasan hingga penegakan hukumnya mengarah ke arah sana. Kemudian kasus buzzer yang bukan hanya terjadi sekali, tetapi berulang-ulang, merupakan indikasi berikutnya bahwa penguasa ingin meredam suara-suara publik dimanapun, salah satunya di media sosial. Begitupun DPR yang seakan-akan tidak pernah menyuarakan suara rakyat, dengan mendukung RUU kontroversial di tengah pandemi, tetapi kecil sekali suaranya jika menyangkut urusan masalah-masalah pandemi seperti pembagian bansos yang lamban dan tidak tepat sasaran.

Situasi seperti ini sebenarnya seperti yang dikatakan oleh Firman Noor yang mengutip Colin Crouch sebagai fenomena post-demokrasi. Dengan indikasi sebagai berikut, pertama keterlibatan rakyat dalam politik terbatas, karena pimpinan pusat partai sangat menentukan dalam pengkaderan partai. Kedua, partai bukan sebagai sarana kepentingan rakyat, karena partai di kelola dengan cara-cara yang tidak demokratis. Ketiga, kecenderungan menggunakan post-truth atau pencitraan dalam berpolitik, yaitu bagaimana caranya membentuk opini publik, terutama dengan menggunakan media sosial di era sekarang. Keempat, kepedulian politik masyarakat menjadi rendah. Kelima, penegakan hukum yang tebang pilih, seperti dalam kasus Novel. Keenam, memudarnya partisipasi rakyat, karena takut, misalnya akibat buzzer-buzzer atau saya lebih senang menyebutnya anjing penjaga. Ketujuh, menggunakan cara-cara kriminalisasi untuk menciptakan kesetabilan politik, penangkapan aktivis seperti Ravio Patra menjadi indikasi yang kuat dalam hal ini (Noor, 2020).

Bagaimana Dahl dan Crouch menjelaskan fenomena sosial demokrasi ini sebenarnya yang terlintas dari pikiran saya adalah pesimisme politik. Bagaimana justru kekuatan kapitalisme mengalahkan demokrasi yang ideal di negara kita, indikasinya sangat kuat melalui kasus-kasus yang saya analisis tersebut. Tetapi Liddle dalam buku Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia memberikan solusi yang sejalan dengan apa yang saya pelajari dari buku Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan yang ditulis oleh salah satunya dosen saya, yaitu Robertus Robet. Liddle memberikan teori Tindakan yang terinspirasi oleh Machiavelli dan Robet memberikan pemahaman mengenai sumbangan Machiavelli pada republikanisme yang sangat dekat dengan demokrasi. Keduanya menitik beratkan pada konsep virtù dan fortuna yang disampaikan oleh Machiavelli.

Keseimbangan Virtù dan Fortuna dalam Jiwa Pemimpin

Liddle dan Robet mempercayai bahwa Machiavelli tidaklah jahat seperti anggapan banyak orang, karena karyanya Il Principe cenderung memberikan moral politik yang terlihat tidak bermoral. Tetapi lebih jauh dari itu, Liddle dan Robet mencoba mengeksplorasi pemikiran Machiavelli dan melihat bahwa justru Machiavelli telah memberikan sumbangan moral politik yang lebih relevan sehingga pemikirannya justru banyak digunakan dalam menganalisis fenomena politik saat ini.

Liddle menekankan teori tindakan dengan asumsi bahwa aktor memiliki tindakan yang bebas dan tidak selalu dikukung oleh struktur yang mempengaruhinya. Dalam hal ini pemimpin menjadi kunci dalam memperbaiki kondisi politik saat ini, penekanan pada pemimpin ini karena pemimpin dianggap sebagai aktor yang bebas dalam melakukan tindakannya.

Menurut Liddle konsep Machiavelli tentang Virtù diartikan sebagai keterampilan atau kejantanan berasal dari kata vir, yang artinya laki-laki, dalam bahasa Latin (Liddle, 2012). Artinya keterampilan ini bisa diciptakan dan di mobilisasi untuk menjadi sumber daya politik, contohnya adalah; kepintaran, ketegasan, rendah hati, dan sikap-sikap lain yang mencerminkan pemimpin yang baik. Kemudian kedua Fortuna berarti kans atau keberuntungan, yang Machiavelli ibaratkan sebagai perempuan, yaitu agar bisa menuruti keinginan kita, maka harus dipukul secara terus-menerus (Liddle, 2012). Fortuna dianggap sebagai sesuatu yang berada diluar kehendak karena disebut keberuntungan, tetapi keberuntungan itu mesti di jemput dengan keberanian, seperti seolah-olah memukul wanita agar ia menurut, meski tentunya analogi memukul wanita sudah tidak bisa dianggap sebagai hal baik.

Tidak hanya itu, Robet menjelaskan bahwa Machiavelli adalah seorang Republikan yang menkhendaki the rule of law (negara berdasarkan hukum) dan the rule of man (negara berdasarkan kepemimpinan), keduanya harus dipadukan untuk membentuk sebuah negara republik yang kuat (Robert & Tobi, 2017). Hal itu diakarenakan, pertama menurut Machiavelli politik atau kepemimpinan adalah mereka yang melampau virtù dan fortuna, seseorang yang berani mengambil keputusan sehingga memimpin secara tunggal (Robert & Tobi, 2017). Dalam hal ini yang ditekankan sesuai dengan teori tindakan yaitu konsep aktor yang bebas dan independen sehingga kemampuan pemimpin mutlak di perlukan untuk membangun negara berdasarkan virtù dan fortuna.

Alasan berikutnya mengapa the rule of man juga penting dalam negara republik adalah karena negara kita sedang dilanda penyakit korupsi. Machiavelli mengkhendaki adanya the rule of man dalam negara yang korup, itu bisa berbentuk intervensi yang dilakukan pemimpin untuk bisa membantu penegakan hukum. Korupsi adalah suatu yang sangat merusak semangat Republik dan politik. Menurut Machiavelli, seorang pahlawan atau patriot adalah mereka yang mengorbankan dirinya untuk orang lain dan korupsi sama sekali berbalik dengan hal itu, yaitu sifat egois yang menguntungkan diri sendiri.

Lalu apa hubungannya virtù dan fortune dalam menjawab tantangan demokrasi saat ini? Mari kita rangkai keduanya untuk menjawab permasalahan ini. Yang menarik dari pemikiran Machiavelli adalah peran aktor yang menjadi dominan, dalam hal ini kepemimpinan aktor politik. Republik yang baik harus memiliki kepemimpinan yang tertuang dalam sikap virtù dan fortune yang membentuk the rule of man dan tentunya tidak menghilangkan the rule of law.

Situasi saat ini kita sama-sama megetahui bahwa korupsi adalah permasalah besar bangsa ini. Korupsi seperti yang dikatakan Machiavelli adalah sebuah perusak semangat republik dan oleh karena itu mesti ada kepemimpinan yang menghancurkan hal itu. Dan itu yang sama sekali tidak terlihat di negara Republik Indonesia, indikasinya adalah pelemahan KPK menggunaan UU dan penegakan kasus korupsi pada Novel Baswedan yang buruk. Padahal dalam hal ini, kepemimpinan di aktor politik (presiden) sangat diperlukan, perlu sikap virtù seperti ketegasan dan kepedulian akan keadilan dalam hal ini dan sikap fortune yang berani terjun langsung untuk melakukan intervensi. Hal ini sesuai dengan sikap the rule of man yang diharapkan Machavelli apalagi dalam penegakan korupsi. Benar, presiden harus memiliki the rule of law artinya tidak menjadi pengadil dalam kasus ini, karena memang bukan kewenangannya, tetapi presiden harus tegas kepada adanya indikasi pelanggaran disini, apalagi indikasi itu sangat jelas, tetapi responnya sangatlah minim.

Kualitas pemimpin menjadi penting dalam pandangan Machiavelli, begitupun dalam bidang-bidang yang lain. Presiden sebagai pemimpin harus memiliki kebebasan aktor untuk memimpin demi kepentingan rakyat, bukan diatur oleh segelintir elit dalam pusaran pemerintahan. Kebijakannya tidak ambigu, seperti di saat pandemi seperti ini, indikasi yang terlihat justru presiden banyak membuat undang-undang yang terkesan pro terhadap oligarki di banding kepentingan publik, ada indikasi aktor yang diatur dalam hal ini.

Lebih jauh lagi sebenarnya untuk menciptakan pemimpin yang susungguhnya, yaitu pemimpin yang memiliki independensi dan kepedulian pada publik memang harus dibentuk dari sistem politik yang baik pula. Salah satunya dari partai politik, apabila sistem partainya tidak demokrasi, dimana dalam pengkaderannya cenderung menggunakan sistem-sistem tidak demokrasi yang sebenarnya indikasinya jelas terlihat di Indonesia, dimana pemimpin partai lebih menggunakan politik dinasti maka perpolitikan kitapun akan demikian. Banyak penumpang gelap yang ada dalam pemerintahan yang pengaruhnya sangat besar pada pemimpin kita.

Daftar Pustaka

Liddle, R. W. (2012). MEMPERBAIKI MUTU DEMOKRASI DI INDONESIA. Jakarta: Pusat Studi Agama & Demokrasi (PUSAD).

Mihradi, R. M. (2020). Kompas.com. Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2020/06/08/14382521/tubuh-demokrasi-di-lorong-pandemi?page=all

Noor, P. D. (2020). LIPI Pusat Penelitian Politik. Retrieved from http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1394-demokrasi-indonesia-dan-arah-perkembangannya-di-masa-pandemi-covid-19

Novianto, R. D. (2020). nasionalsindonews.com. Retrieved from https://nasional.sindonews.com/read/61675/12/dampak-pandemi-covid-19-kepuasan-terhadap-demokrasi-menurun-1591524367

Pinter Politik. (2020). pinterpolitik.com. Retrieved from https://www.pinterpolitik.com/corona-momentum-tepat-selundupkan-regulasi/

Robert, R., & Tobi, H. B. (2017). Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan. Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Supardan, D. (2015). SEJARAH DAN PROSPEK DEMOKRASI. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 126.

Wirasenjaya, A. M. (2015). Negara, Pasar, dan Problem Pendalaman Demokrasi Pasca Orde Baru. The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 186.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan