Intelektual di Era Digital
Apalagi 2045 merupakan tahunnya generasi Z dan Milenial, generasi dengan usia produktif yang akan mengambil estafet kepemimpinan negara. Generasi Z dan Milenial yang berada di rentang usia 1997–2012 (untuk generasi Z) dan 1981–1996 (untuk generasi Milenial) sekarang ini berturut-turut berjumlah 75,49 juta dan 69,38 juta penduduk menurut Sensus Penduduk 2020.[1] Yang jika keduanya di totalkan akan menjadi 144,81 juta dan merupakan 53,5% dari 270,20 juta penduduk Indonesia di tahun yang sama, itu artinya jumlah generasi ini telah melebihi 50% jumlah penduduk yang ada di Indonesia sekarang ini.
Di tahun 2045, generasi Z yang sekarang berusia minimal 9 tahun akan berumur 33 tahun dan yang tertua akan berumur 48 tahun. Sedangkan untuk generasi milenial, usia termuda akan berumur sekitar 49 tahun dan tertua akan berumur 64 tahun. Kedua generasi tersebut akan memenuhi kuota usia produktif, yaitu yang hidup di antara 15–65 tahun. Itu artinya, selain menjadi pemimpin bangsa, di tahun 2045 juga mereka akan memenuhi ruang-ruang pekerjaan di negeri ini.
Bahkan sebelum tahun 2045, tepatnya di tahun 2030, seperti yang banyak di prediksi oleh ahli pembangunan, Indonesia akan mengalami bonus demografi, dimana usia produkti jauh lebih tinggi dari usia non-produktif. Dalam rentang 2030–2040 diprediksi usia produkti akan mencapai 64% dari jumlah penduduk yang diproyeksikan sebanyak 297 juta jiwa.[2] Artinya perjalanan menuju 2045 adalah perjalanan usia produktif membangun bangsa yaitu di rentang waktu 2030–2040, sementara itu di tahun 2045 dua generasi ini akan menjadi pemimpin dan menikmati hasil produktif pembangunan selama rentang-rentang perjuangan di tahun 2030–2040.
Hal ini akan menjadi peluang besar ekonomi, sebagai momentum untuk bangsa ini menjadi negara maju, karena generasi ini diharapkan akan melakukan kegiatan produktif yang berdampak positif pada perekonomian negara. Tetapi hal ini juga merupakan tantangan besar, karena apabila harapan tersebut kandas, dan generasi ini nyatanya hanya membebani negara dengan bertambahnya jumlah pengangguran yang tentu akan berdampak pada kemiskinan, slogan Indonesia Emas adalah cita-cita yang menjadi isapan jempol belaka.
Negara seperti Brazil dan Afrika Selatan adalah contoh negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi. Di Brazil bonus demografi tidak termanfaatkan dengan baik karena kurangnya alokasi dana untuk perbaikan kualitas pendidikan, infrastruktur, dan penyediaan lapangan pekerjaan.[3] Sementara di Afrika Selatan, lebih dari 50% usia produktif menganggur karena tidak memiliki kemampuan untuk diserap dalam dunia kerja.[4] Hal tersebut kembali disebabkan oleh kurangnya kualitas pendidikan yang bisa memberikan kemampuan usia produktif untuk bersaing di dunia kerja.
Presiden Jokowi telah mewanti-wanti hal tersebut, salah satu fokus presiden adalah dengan membenahi infrastruktur, baru kemudian membenahi sumber daya manusia. “Pertama, sebagai pondasi, kita akan bangun infrastruktur. Ini sangat penting sekali,” ujar Jokowi, berikutnya ia menambahkan “Oleh sebab itu saya mengingatkan, siapapun nanti pemimpinnya, yang namanya pembangunan sumber daya manusia menjadi kunci dalam rangka mengantarkan kita pada Indonesia emas di 2045”.[5]
Tetapi seperti yang kita ketahui, bahwa janji Jokowi untuk membangun sumber daya manusia di era periode kepemimpinannya yang kedua terkendala pandemi. Bangsa ini sedang resesi, begitupun dengan bangsa-bangsa lain, jangankan membangun sumber daya manusia yang baik, bahkan sekolah-sekolah dan universitas yang dianggap sebagai tempat terbaik untuk membangun sumber daya manusia saja tutup. Lalu bagaimana hal ini bisa kita hadapi?
Melihat Sisi Baik dari Pandemi
Jika melihat pandemi dari satu sudut pandang saja, tentu hal ini adalah bencana global. Sebuah bencana yang lebih banyak efek negatifnya daripada positif — dari jumlah korban jiwa hingga kesulitan ekonomi adalah bukti nyata musibah pandemi bukanlah sesuatu yang diharapkan. Tetapi pernahkah kita berpikir bahwa pandemi ini adalah momen untuk beradaptasi dengan dunia baru, dunia yang akan kita hadapi beberapa tahun mendatang, yaitu dunia digital.
Setidaknya sekarang yang paling mungkin terjadi di masa depan adalah perpaduan yang sangat epik antara pendidikan dan teknologi. Dahulu, katakanlah di tahun sebelum 1960-an, ketika internet belum ditemukan, atau bahkan sebelum tahun 1998, ketika Google belum sepopuler sekarang informasi hanya bisa di dapat di perpustakaan. Sehingga kita butuh seseorang yang membaca di perpustakaan kemudian membagikan ilmunya kepada banyak orang yang tidak memiliki waktu dan akses pergi ke perpustakaan, orang tersebutlah yang kita namai sebagai guru.[6]
Di era sekarang, di abad 21, informasi dikirim ke setiap rumah melalui ponsel dengan berbagi pilihan platform seperti youtube, Instagram, facebook, dan lain-lain. Semuanya gratis, kita tidak membutuhkan orang yang mengakses perpustakaan dan menunggunya setiap pagi di hari tertentu untuk mendengarkannya berceramah. Yang kita lakukan hanyalah mencari materi apa yang ingin kita pelajari dan boom, kita bisa mengakses pembahasan dari guru dari belahan dunia lain dengan hitungan detik. Dari professor Harvard yang berkicau melalui proyek podcast filsafatnya atau Guru China yang membagikan materi dasar Cara Melakukan Perbincangan dalam Bahasa Inggris.
Dan pandemi ini merupakan sebuah fenomena yang mempercepat itu semua. Fenomena zoom meeting, webinar online, platform belajar online menjadi sesuatu yang mudah ditemukan — kita akan sampai ke sana tentunya — tapi disadari atau tidak pandemi mempercepat proses itu. Dari yang mungkin fenomena online class terjadi 2030, pandemi mempercepatnya 5–10 tahun lebih cepat dan para guru, orang tua, dan murid dipaksa untuk menghadapinya.[7]
Intelektual di Era Digital
Perubahan ini juga turut mengubah cara kerja intelektual, meski perannya tetap sama, yaitu yang menurut Edward Said, adalah mereka yang berani menyuarakan kebenaran untuk kepentingan orang banyak, terutama orang tertindas.[8] Intelektual menurut Said bukan orang yang berada di menara gading, tetapi mereka yang mau turun ke masyarakat dan mewakili suara mereka untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat.
Di Indonesia, peran intelektual identik dengan mereka yang berkecimpung di dunia universitas, seperti dosen dan mahasiswa. Dosen dianggap sebagai akademisi yang tidak boleh berpihak kepada kekuasaan karena menginginkan jabatan, sebaliknya dosen harus berani berkata benar meski hal itu bisa mengancam kedudukan profesinya sebagai dosen. Sedangkan mahasiswa, posisinya jelas, yaitu mereka orang terdidik yang beruntung bisa mendapatkan akses pendidikan dan harus bisa menjadi intelektual organik seperti yang disampaikan Anthonie Gramsci, yaitu sebagai orang yang bisa memberikan penyadaran kepada banyak orang akan pentingnya perjuangan melawan ketidakadilan. Lalu bagaimana semua ini berhubungan? Bagaimana mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045 melalui peran dari para intelektual ini di era digital..
Disinilah peran intelektual bisa dimulai, yaitu dengan cara menyebarkan konten-konten edukatif yang informatif sekaligus menggugah semangat banyak orang. Apakah ini efektif? Penulis berpendapat ini akan sangat efektif, apalagi di era digital seperti sekarang. Dahulu intelektual yang produktif adalah intelektual pembuat buku yang produktif, di era sekarang sangat mungkin bahwa intelektual yang produktif disandingkan dengan orang yang membuat film dokumenter yang memuat cerita edukatif dan inspiratif. Jika kita pikirkan ini hanyalah perubahan media atau alat — dan dunia sedang menuju ke arah sana, ke industri gambar yang bergerak, meski memang tidak ada salahnya juga memproduksi buku — tetapi bukankah banyak juga buku yang di buat film di era saat ini?
Para intelektual yang tidak bisa menggunakan teknologi tidak akan bisa relevan di masa depan, apalagi dalam upaya penyebaran kesadaran kepada masyarakat. Di Amerika ada sebuah channel youtube bernama Crash Course yang membagikan video pembelajaran dan kursus secara gratis. Kontennya pun tidak dibuat seadanya, melainkan menggunakan kemampuan videografi yang mumpuni dengan materi yang sangat bermanfaat. Materi-materi seperti How to Be Entrepreneur, Media Literacy, Film Maker dan yang lainnya dibuat dengan apik dan disampaikan oleh profesional-profesional muda yang memiliki keahlian di bidangnya.
Di Indonesia juga ada platform pendidikan digital yang berkualitas, namun sayangnya berbayar. Bahkan platform tersebut bekerja sama dengan pemerintah untuk bisa mendulang banyak uang bagi platformnya.[9] Sementara di youtube Indonesia konten-konten yang berbau seksualitas dan kontroversi bebas dan digandrungi masyarakat dan diakses secara gratis pula.
Maka dari itu, peran intelektual untuk mempersiapkan masyarakat di era 2045 adalah membuat konten-konten tandingan yang jauh lebih bermutu. Para dosen dan mahasiswa sebagai intelektual harus memiliki kemampuan membuat konten edukatif yang dikemas dengan sekreatif mungkin.
Bayangkan, jika para dosen bisa membuat video pembelajaran di youtube dengan kualitas terbaik, maka akses ke masyarakat akan menjadi mudah dan itu gratis. Dan bayangkan pula, jika mahasiswa sarjana pendidikan membuat video pembelajaran gratis dengan animasi yang unik untuk anak-anak jenjang SD-SMA, maka semakin banyak ruang belajar bagi generasi tersebut.
Peluang digital di Indonesia sangatlah tinggi, infrastruktur yang pemerintah janjikan tentunya salah satunya infrastruktur internet. Jika sekarang di tahun 2020 pengguna internet di Indonesia adalah sebesar 196,7 juta jiwa,[10] lebih dari setengah penduduk di Indonesia, maka bukan tidak mungkin dalam jangka waktu 5–10 tahun jumlahnya bisa menyeluruh ke pelosok Indonesia. Jadi akses pendidikan digital sebenarnya adalah yang paling masuk akal dan cepat untuk bisa disebarkan.
Dalam jenjang panjang menuju 2045 peran intelektual adalah menyediakan pendidikan gratis untuk semua melalui platform digital. Intelektual harus mengambil peran dengan memproduksi konten-konten edukatif yang bisa diterima secara cuma-cuma. Konten kursus praktis seperti fotografi, content writer, atau bahkan konten gagasan seperti cara berpikir kritis, sejarah intelektual bisa memberikan pemahaman dan membuat sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
Maka dari itu, saya membayangkan bahwa intelektual di beberapa tahun kedepan adalah mereka yang bisa memanfaatkan teknologi digital untuk membagikan pengetahuan dan penyadaran bagi masyarakat. Ini bukan hal yang tidak mungkin, dan pandemi ini adalah katalisator untuk mempercepat hal itu. Bahkan permasalahan global dalam pemerataan pendidikan bisa sedikit teratasi apabila akses internet sudah merata. Sembari membayangkan akses internet merata, kenapa para intelektual tidak menyiapkan konten-konten berkualitas untuk menyambutnya?
DAFTAR PUSTAKA
Chandra Gian Asmara, 100 Tahun Merdeka, 2045 Penduduk Indonesia Tembus 300 Juta, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200124170909-4-132578/100-tahun-merdeka-2045-penduduk-ri-tembus-300-juta-jiwa, pada tanggal 11 Maret 2021.
Dimas Jarot Bayu, Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Capai 196,7 Juta, diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/11/jumlahpenggunainternetdiindonesiacapai1967juta#:~:text=Jumlah%20Pengguna%20Internet%20Berdasarkan20Provinsi&text=Hasil%20survei%20Asosiasi%20Penyelenggara%20Jasa,9%25%20dibandingkan%20pada%202018%20lalu., pada tanggal 13 Maret 2021.
Edward Said, 1998, Peran Intelektua, Jakarta: Pustaka Obor.
Fabian Januarius Kuwado, Ini Strategi Jokowi Menuju Indonesia Emas 2045, diakses darihttps://nasional.kompas.com/read/2017/03/27/15123691/ini.strategi.jokowi.menuju.indonesia.emas.2045., pada tanggal 12 Maret 2021.Muhammad Idris, Generasi Z dan Fahmi W Bahtiar, dkk. Pandemi Percepat Disrupsi Digital, diakses dari https://ekbis.sindonews.com/read/95000/34/pandemi-percepat-disrupsi-digital-1594249628?showpage=all, pada tanggal 13 Maret 2021.
Milenial Dominasi Jumlah Penduduk Indonesia, diakses dari https://money.kompas.com/read/2021/01/22/145001126/generasi-z-dan-milenial-dominasi-jumlah-penduduk-indonesia?page=all, pada 10 Maret 2021.
wartaekonomi.co.id, Manfaatkan Bonus Demografi, RI Perlu Contek Jepang, diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read272160/manfaatkan-bonus-demografi-ri-perlu-contek-jepang?page=2, pada tanggal 12 Maret 2021.
Yuval Noah Harari, 2018, 21 Adab untuk Abad 21, Manado: CV. Global Indo Kreatif, hlm. 281.
[1] Muhammad Idris, Generasi Z dan Milenial Dominasi Jumlah Penduduk Indonesia, diakses dari https://money.kompas.com/read/2021/01/22/145001126/generasi-z-dan-milenial-dominasi-jumlah-penduduk-indonesia?page=all, pada 10 Maret 2021.
[2] Chandra Gian Asmara, 100 Tahun Merdeka, 2045 Penduduk Indonesia Tembus 300 Juta, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200124170909-4-132578/100-tahun-merdeka-2045-penduduk-ri-tembus-300-juta-jiwa, pada tanggal 11 Maret 2021.
[3] wartaekonomi.co.id, Manfaatkan Bonus Demografi, RI Perlu Contek Jepang, diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read272160/manfaatkan-bonus-demografi-ri-perlu-contek-jepang?page=2, pada tanggal 12 Maret 2021.
[4] Ibid. wartaeconomi.co.id
[5] Fabian Januarius Kuwado, Ini Strategi Jokowi Menuju Indonesia Emas 2045, diakses darihttps://nasional.kompas.com/read/2017/03/27/15123691/ini.strategi.jokowi.menuju.indonesia.emas.2045., pada tanggal 12 Maret 2021.
[6] Yuval Noah Harari, 2018, 21 Adab untuk Abad 21, Manado: CV. Global Indo Kreatif, hlm. 281.
[7] Fahmi W Bahtiar, dkk. Pandemi Percepat Disrupsi Digital, diakses dari https://ekbis.sindonews.com/read/95000/34/pandemipercepatdisrupsidigital1594249628?showpage=all, pada tanggal 13 Maret 2021.
[8] Edward Said, 1998, Peran Intelektua, Jakarta: Pustaka Obor.
[9] Kasus pemanfaatkan program Kartu Pra Kerja untuk mengakses video di flatform digital berbayar milik staf khsusus milenial bisa dibilang hal yang melanggar etika.
[10] Dimas Jarot Bayu, Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Capai 196,7 Juta,diaksesdarihttps://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/11/jumlahpenggunainternetdiindonesiacapai1967juta#:~:text=Jumlah%20Pengguna%20Internet%20Berdasarkan%20Provinsi&text=Hasil%20survei%20Asosiasi%20Penyelenggara%20Jasa,9%25%20dibandingkan%20pada%202018%20lalu., pada tanggal 13 Maret 2021.
Komentar
Posting Komentar