Siapa yang Menciptakan Kemajuan dan Untuk Apa Kemajuan Itu?
Selalu menarik dan inspiratif jika pergi ke sana, selain karena suasananya yang serba hijau — di sekeliling desa bukit-bukit berdiri, pohon-pohon tinggi menjulang, dan bunga warna-warni bermekaran — juga tempat ini selalu menyimpan cerita menarik dari orang-orang yang tinggal di sana.
Salah satu cerita menarik adalah keterputusan koneksi manusia desa dengan dunia luar. Maksud terputus disini bagaimana? Ada beberapa orang (khususnya orang tua) yang tidak menggunakan media sosial bahkan handphone untuk kehidupan sosial mereka. Mungkin sebagian orang tidak bisa menyebutnya terputus — tapi saya lebih nyaman menyebutnya demikian.
Kenapa ini jadi menarik? Terkhusus untuk saya generasi milenial yang sangat akrab dengan dunia teknologi, hal ini tidak bisa dibayangkan. Dimana setiap hari saya setidaknya mengecek sosial media sekali hanya untuk mengetahui apa berita terbaru dan apa yang dilakukan teman-teman saya.
Bahkan rata-rata generasi milenial menghabiskan lebih dari dua jam sehari, ini ungkapan yang tak perlu argumen kuat, saya kira setiap dari kita yang merasa milenial dan tinggal di perkotaan merasakan hal yang sama.
Menjadi menarik karena kehidupan manusia desa seperti yang disebutkan di atas tidak bisa kita lakukan. Tidak bisa kita bayangkan bertahun-tahun hidup tanpa internet dan telepon — saya sendiri berpikir demikian.
Saya sendiri pergi mengunjungi kakek saya yang mungkin sudah berumur 65 tahun ke atas. Tapi fisiknya masih bagus — ototnya masih kuat, bahkan masih sering merokok, meski memang kadang terbatuk-batuk.
Ternyata karena memang sulitnya koneksi internet di desa, segalanya menjadi masuk akal. Hal yang bisa saya lakukan adalah hidup berdampingan dengan mereka dan bagaimana merasakan apa yang mereka rasakan — apakah benar hidup tanpa internet seburuk itu? Dan bagaimana rasanya jika kita hidup seperti mereka?
Pagi sekali, sekitar jam 3 pagi kakek saya sudah bangun dan pergi menuju mushola yang terletak hanya sekitar 10 meter dari rumah. Mushola ini sengaja dibangun oleh kakek dan para tetangga yang jumlahnya tidak lebih dari 5 keluarga yang tinggal di sana.
Mushola ini berukuran kurang lebih 3x3 meter persegi dengan lampu berwarna orange yang bisa dibilang sangat redup. Tapi justru suasana seperti itu sangatlah membuat khusyu. Kakek biasanya menunaikan shalat tahajud dan berzikir hingga adzan berkumandang melalui speaker dari masjid besar lain yang terletak beberapa kilometer dari mushola ini.
Ketika subuh, beberapa jamaah datang, paling tidak satu orang, meski jika banyak kadang dua sampai tiga orang memenuhi mushola. Shalat Subuh dilaksanakan berjamaah — waktu itu saya jadi makmum dengan satu orang tetangga dan kakek saya sebagai imam.
Setelah subuh, ayam jago baru berkumandang sekitar pukul 5 pagi. Kakek saya berdiam di atas hau (tungku untuk memasak dalam Bahasa Sunda) sambil membakar singkong dan menikmatinya bersama nenek. Keduanya saling melemparkan candaan yang menurut saya tidak lucu — tapi mereka sangat menikmati momen itu dan perlahan saya pun menikmatinya.
Pekerjaan adalah hal yang tidak pasti di desa — satu-satunya yang pasti adalah bertani padi — tapi itupun tidak sepanjang tahun. Hanya dua kali tanam dan dua kali panen, tergantung curah hujan. Biasanya jika bulan Oktober padi ditanam, maka kurang lebih bulan Februari sudah panen. Dan pekerjaan hanya cukup sibuk ketika proses menanam dan memanen.
Praktis ketika saya berkunjung, padi sedang masa pertumbuhan terakhir, tetapi belum panen. Agenda kakek hari ini adalah bekerja di perkebunan milik orang lain — di tempat yang diberi nama Jepang.
Entah dari kapan tempat ini diberi nama Jepang, yang pasti sewaktu saya masih kecil tempat ini sudah diberi nama Jepang. Nama ini mengacu pada bukit luas yang ditanami buah durian, pemilik kebun ini tidak ada seorangpun di desa yang tahu, yang pasti mereka kadang memperkerjakan masyarakat desa untuk menanam tanaman dengan upah sesuai harga pasar di desa.
Sebelum berangkat, kakek selalu menyempatkan sholat dhuha, kemudian berangkat. Tidak banyak yang dipekerjakan di kebun ini, biasanya hanya orang yang sudah berumur dan tinggal di desa — pemuda desa banyak yang merantau atau tidak terlalu tertarik dengan pertanian.
Pekerjaan dilakukan hingga pukul 16.00 dengan gaji sekitar 45.000 setiap hari. Ketika bekerja kakek tidak banyak bicara, kecuali ketika jam istirahat, yaitu pukul 12.00, dan merupakan jam sholat zuhur. Waktu itu saya asyik melihat kakek shalat di atas batu kering dekat sungai tempat kami mengambil wudhu. Sisanya dihabiskan untuk kegiatan bercanda-canda di gubuk yang terbuat dari bambu beratap jerami selagi menikmati hidangan ikan asin dan sambal terasi.
Meski beberapa orang, termasuk anak muda sering mengambil durian dari kebun, kakek pantang melakukan hal itu. Kakek tidak berbicara apa alasannya, yang pasti dia tidak pernah melakukannya. Beberapa orang menganggap mengambil durian dari kebun itu bukan suatu kesalahan, karena kebun itu memang sudah lama tidak diurus pemiliknya, tapi kakek tetap enggan melakukannya.
Sesampainya di rumah, kami membersihkan diri di sungai sebelum akhirnya pulang. Di perjalanan, karena melewati kebun milik kakek, ia mengambil beberapa buah seperti nanas dan kupa (buah kecil asam seperti lobi-lobi) untuk dibawa pulang. Di perjalanan kami bertemu nenek yang baru pulang mengambil rumput dari kebun untuk hewan ternak domba.
Saya tidak sabar untuk memakan buah hasil kebun tersebut, saya membayangkan pasti akan enak sekali jika ditambah dengan sambal dan dibuat rujak. Beberapa orang datang dengan sumringah ketika kita membawa buah tersebut — ada yang membawa cabai dari halaman belakangnya, ada juga yang menambahkan buah jambu air dan singkong untuk di rujak juga.
Maghrib tiba, kali ini jamaah yang hadir lebih banyak dari subuh, ada sekitar 5 orang. Setelah shalat semua berbincang tentang pekerjaan hari ini, tentang ular yang berhasil di tangkap, tentang tikus yang tidak ada habisnya, tentang tanaman yang kena hama, atau tentang Pak Lurah yang tiba-tiba banyak duitnya. Semuanya jadi semacam berita hari ini yang dibagikan ke setiap orang di ruang diskusi — tentu sembari menghisap bako (rokok linting dari tembakau).
Setelah Isa berkumandang, semuanya bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan shalat. Semuanya pun pulang ke rumah masing-masing, suasana langsung senyap karena setiap orang di rumah memutuskan untuk segera tidur.
***
Nyaris tidak ada informasi corona, info tentang pergantian pemimpin AS, Jokowi yang berhutang lagi, atau bupati yang korupsi. Satu-satunya yang penting adalah kehidupan sekeliling — bagaimana menjaga hubungan baik dengan tetangga dan bagaimana untuk tetap bisa cukup hidup seterusnya.
Sementara di belahan dunia lain, yang kita sebut kota, kita tahu segalanya. Kita tahu bahwa Presiden AS telah berganti, kita tahu corona semakin menggila, kita tahu Jokowi mengalami ancaman ekonomi, bupati korupsi, teman kita kawin lagi, kemudian upload instastory — kita tahu, bahkan serba tahu.
Kehidupan kota jauh jadi lebih kompetitif — kita selalu membandingkan diri dengan orang lain, terutama masalah keberhasilan. Teman kita menikah, kenapa kita belum? Teman kita bekerja kenapa kita tidak? Tolak ukur kita jadi banyak sekali.
Apakah di desa tidak demikian? Jawabannya sama saja — di desa juga orang selalu membandingkan, selalu merasa insecure. Perasaan seperti itu tidak berdasarkan tempat (memang ada pengaruh, tapi tergantung orangnya juga), setiap tempat selalu memili tantangan masing-masing.
Tetapi satu pertanyaan saya? Untuk apa kemajuan ini? Setelah dipikir-pikir tidak ada bedanya hidup di desa dan di kota. Di desa selalu berpikir bahwa kehidupan kota adalah yang ideal — hidup dengan kemudahan mencari uang dan banyaknya fasilitas hiburan. Padahal kehidupan perkotaan adalah kehidupan kompetitif yang menyerang mental sewaktu-waktu — ketenangan jauh bisa kita nikmati di kehidupan pedesaan.
Kemudian orang kota berpikir, bahwa desa adalah kehidupan yang ideal. Hidup tenang tanpa rasa kompetitif yang tinggi — tetapi padahal rasa insecure karena kemajuan orang lain juga sama dirasakan oleh orang desa — buktinya mereka pernah berpikir bahwa kehidupan kota jauh lebih menyenangkan.
Untuk apa semua kemajuan ini? Kita kembali kepada kalimat tanya di awal tulisan, sekaligus jadi kesimpulan pamungkas dari saya untuk mengakhiri sebuah tulisan. Kemajuan dan bukan kemajuan adalah untuk kebahagiaan manusia?
Dimana letaknya bahagia? Itu di setiap diri masing-masing, ada orang yang memang ditakdirkan tinggal di desa (dan kita bisa memetik pengalaman berharga darinya) ada yang memang tinggal di kota (dan kita juga bisa memetika pengalaman berharga darinya).
Kemajuan dan tidak maju seringkali didefinisikan oleh ahli atau pemangku kebijakan. Padahal konsep itu jauh lebih dalam, maju belum tentu bergelimang harta dan tidak maju sebaliknya — tapi apakah manusia bahagia atau tidak adalah ada di dalamnya.
Dan apa itu bahagia? Sampai saat ini saya juga tidak tahu — yang pasti bisa mengalami hidup — seperti menuliskan cerita ini menurut saya adalah bahagia.
Yang keliru dari umat manusia adalah bahwa kebahagiaan selalu berbanding lurus dengan materi dan perspektif orang lain — padahal itu jauh ada dalam diri setiap orang. Belakangan kita selalu sedih melihat pencapaian orang lain yang mendapat pekerjaan, berhasil membangun bisnis, menikah, lulus, dan yang lainnya, dan berpikir bahwa disanalah kebahagiaan.
Kebahagiaan menjadi berjarak dan tolak ukurnya adalah materi dan persepsi orang terhadap diri. Padahal siapa juga yang menetapkan tolak ukur tersebut, semuanya adalah manusia.
Seperti siapa yang menciptakan negara maju dan berkembang atau menciptakan manusia ideal atau tidak — semuanya manusia. Kita sering terjebak akan hal ini, melihat ideal dari sudut pandang masyarakat dan mendefinisikan diri salah jika tidak mencapai definisi tersebut.
Komentar
Posting Komentar