Hantu Pohon Cengkeh

Pagi itu Adit bangun pagi sekali, sekitar pukul 05.00 pagi. Bukan karena kartun kesayangannya sudah tayang dari jam 04.00, tapi ada urusan yang harus ia kerjakan sebelum sampai ke sekolah.

Pukul 06.30 ia sudah siap dan berpamitan pada Ibu untuk berangkat sekolah. Adit masih kelas tiga SD, badannya kecil, wajahnya burik berlumur pupur putih tidak rata—sama sekali tidak bisa menutupi wajah coklat kering yang selalu terpapar sinar matahari setiap hari.

Adit berlari menuju sekolah sendirian, sementara ibunya melihat dari teras rumah yang terbuat dari kayu. Anak itu benar-benar kecil pikir ibunya, topinya bahkan selalu nyaris terlepas dari kepalanya, sembari berlari Adit selalu memegang kepalanya agar topi tersebut tidak jatuh.

Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 3 km, jarak yang cukup jauh bila ditempuh dengan jalan kaki. Apalagi medan yang dilalui cukup terjal, ada dua bukit dan satu sungai yang harus di lewati. Jika hujan turun maka sekolah libur, karena air sungai sedang naik, dan tidak ada seorangpun yang bisa melewati derasnya sungai, apalagi Adit si kecil.

Adit melakukan hal tersebut setiap hari bersama teman-temannya. Tapi hari ini Adit sendiri, ia harus lebih dulu dari teman-temannya, ada yang harus ia lakukan—yaitu mulung[1] cengkeh.[2]

Di kampung Adit cengkeh bernilai jual tinggi, satu kg cengkeh kering dihargai Rp. 100.000, dan panen cengkeh biasanya hanya terjadi satu musim di sepanjang bulan Mei sampai Juli. Ketika panen, biasanya anak-anak seumuran Adit setiap hari mendatangi pohon cengkeh untuk mulung.

Cengkeh biasanya banyak jatuh di malam hari, apalagi jika angin kencang. Dan pagi-pagi buta adalah waktu yang tepat untuk mulung benda tersebut, tentu karena jika menjelang siang, akan banyak anak-anak yang juga berebut mulung cengkeh.

Ketika Adit sampai di pohon cengkeh, belum ada siapa-siapa, hanya ia seorang. Ia tersenyum, ini adalah hari keberuntungannya pikir Adit. Matanya mulai melihat ke bawah, ke kiri dan ke kanan, mencari cengkeh di bawah tumpukan daun-daun cengkeh yang ikut berguguran, tanganya mulai turun mengambil cengkeh demi cengkeh yang dimasukan ke gelas plastik bekas sirup yang sudah ia siapkan sebelum berangkat ke sekolah.

Matahari belum terbit sepenuhnya, tetapi itu sudah cukup membantu Adit melihat cengkeh di sela-sela ranting kering yang berguguran. Cahaya orange matahari menembus pohon-pohon besar dari samping, menghangatkan embun dan wajah Adit yang penuh dengan pupur. Baru beberapa menit Adit mulung cengkeh, seseorang datang dari kejauhan sembari memanggil namanya.

“Adit!” Adit menengok, dan ia menyadari bahwa itu adalah Ucup, teman sekolahnya.

"Pagi banget Dit, wah besok-besok aku harus lebih pagi dari kamu nih", ucap Ucup.

"Eh kamu Cup, mau ngapain kamu?"

"Biasalah, mulung cengkeh juga", sambil nyengir, kemudian tanpa basa-basi ia merogoh saku kanannya untuk mengambil gelas plastik sirup, kemudian menunduk, mencari dan mengumpulkan cengkeh seperti Adit.

Adanya pesaing membuat dua anak itu semakin cepat. Meski waktu masih sangat pagi, sekitar pukul 06.00, matahari belum muncul seutuhnya, Keduanya dengan gesit mencari dan mengambil setiap cengkeh yang mereka lihat.

"Kamu dengar itu Dit?" ucap Ucup.

"Kayak ada yang manggil kita ya?" jawab Adit.

"Siapa ya?"

Suaranya semakin dekat dan semakin jelas. Ucup dan Adit mulai berdiri dan berhadapan satu sama lain. Wajah Ucup pucat sekali, matanya melotot hampir keluar, mulutnya terbuka, dan badannya bergetar.

"Cup kamu kenapa, Cup?" ungkap Adit dengan suara yang nyaring. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang hinggap di pundak Adit dan Ucup bertiak.

"Pocooong!"

Keduanya lari terbirit-birit, Adit lebih dulu, sementara Ucup berada di belakangnya. Badan Adit yang lebih kecil dari ucup membuatnya larinya lebih kencang, apalagi Ucup sebelumnya mematung karena kaget. Setelah cukup jauh, keduanya berjalan dengan terengah-engah.

“Itu apaan Cup?” tanya Adit.

“Pocong Dit, pocong!”

“Mana ada pocong pegang pundak Cup.”

“Tapi itu serba putih Dit, kayaknya pocong.”

Adit tidak mau membatah lagi, menurutnya Ucup benar. Barangkali hantu di TV memang beda dengan yang ada di dunia nyata. Ia melihat bahu kiri yang dipegang oleh hantu tersebut, terceplak tangan berwarna merah dan hal itu menjadi perbincangan di sekolah selama seharian penuh.

Ucup bercerita bahwa pocong itu bisa berlari mengejar mereka berdua, dan larinya sangatlah kencang. Kemudian Tuti bertanya.

“Terus kalau kencang kenapa kamu bisa lolos?”

“Itu karena kami lebih kencang,” jawab Ucup.

“Mana ada pocong bisa pegang pundak.”

“Kamu itu terlalu banyak nonton TV Tut, pocong asli itu punya tangan juga.”

“Alah itu akal-akalan kamu aja, kamu bohong kan Cup?”

“Serius, bahkan aku sempat tos sama pocong itu, bener kan Dit,” sembari melihat ke Adit.

Adit cuma mengangguk, ia masih memikirkan hal tersebut.

Tuti membalas, “Katanya kamu lari, sekarang kamu bilang kamu tos dengan pocong itu.”

Ucup yang mulai terpojok mencoba mengalihkan pembicaraan, "Eh itu ada guru!"

Semua murid yang mendengarkan cerita tersebut berhamburan, karena ternyata betul Bu Neli masuk dengan membawa buku matematika, itu artinya pelajaran hari ini akan cukup berat.

***

Meski tidak terlalu percaya dengan cerita Ucup, Tuti dan yang lainnya tetap penasaran. Apalagi sikap Adit yang berubah, biasanya ia sangat ceria di kelas dan terkenal bawel, hari ini dari jam pagi, istirahat hingga pulang wajahnya murung—seperti ketempelan.

***

Seperti biasa, pulang sekolah adalah waktu yang tepat untuk membahas kasus tadi.  Ada 5 orang yang selalu pulang berbarengan, Adit, Ucup, Tuti, Agus, dan Neni. Di sepanjang jalan semuanya masih penasaran dengan cerita Ucup, tapi Tuti bersikeras bahwa Adit yang harus bercerita, ia tidak percaya dengan Ucup. Adit pun mulai bercerita, agar lebih hikmat, semuanya berhenti di sungai, duduk-duduk di batu sembari mendengarkan Adit.

"Jadi kayak gitu ceritanya temen-temen," ungkap Adit.

"Ia Dit aku juga sama." Semua mata berbalik pada Agus yang sedang duduk di atas batu.

"Maksudnya Gus?" Tuti penasaran.

"Tadi aku juga mulung cengkeh, lebih pagi dari kamu dan Ucup , dan makhluk itu ada".

"Makhluk apa Gus, kalau cerita yang jelas", Tuti semakin penasaran.

Tiba-tiba ada yang memanggil mereka, entah darimana suara itu. Ucup yang sedang tiduran di atas batu spontan berdiri dan berteriak, “Pocooong!”, semua anak berlari terbirit-birit.

Beberapa waktu kemudian, seseorang sampai di sungai, itu adalah Bu Neli, dialah yang memanggil anak-anak tersebut dari atas bukit sebelum sungai, "Dasar anak-anak, bukannya pulang, malah main di sungai,” ucap Bu Neli.

***

Sementara itu, setelah cukup jauh berlari semuanya duduk di tepi jalan.

“Pokoknya, kita harus ke sana besok”, ucap Tuti.

“Ia aku setuju,” tanggap Adit.

“Aku juga,” ucap Agus. Tuti melihat ke Ucup.

“Kok kamu liat aku?”

“Kamu juga harus ikut!”

“Eee, tapi.”

`           “Katanya kamu tadi tos sama pocongnya, besok pokoknya kita main prok prok sama pocong itu.”

Ucup bingung dan berkata, “Eee, aku terserah Neni.”

“Neni pasti ikut,” potong Tuti, “Dia bareng aku, iya kan Nen?”

Neni hanya mengangguk.

***

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah berkumpul di rumah Adit, ada yang membawa obor bambu; ada juga yang membawa senter panjang berwarna perak; ada juga yang membawa al-qur’an, katanya untuk berjaga-jaga.

Orang tuanya tidak bertanya mengapa mereka berangkat pagi sekali. Mereka cuma bilang  akan dibagi susu di sekolah, jadi mereka harus berangkat lebih cepat agar kebagian. Di sekolah, seminggu sekali memang dibagikan susu dari pemerintah—katanya untuk meningkatkan gizi anak-anak, jika hari itu tiba, anak-anak selalu datang lebih pagi untuk menunggu petugas pembagi susu. Tetapi hari ini jelas bukan untuk itu, mereka ingin melihat hantu pohon cengkeh.

Anak-anak yang terdiri dari 5 orang itu sampai di tempat cengkeh dengan gemetar, sedari jauh mereka sudah melihat bahwa pohon itu bergerak-gerak tidak karuan, seperti ada orang yang sedang menaiki pohon tersebut.

“Itu sepertinya monyet,” ungkap Tuti.

“Mana ada monyet naik pohon cengkeh,” jawab Ucup.

“Kamu duluan Cup!” pinta Tuti.

“Enak Aja. Kamu aja!”

“Kamu kan bawa al-qur’an.”

“Adit juga kok.”

“Yaudah, kalian berdua.”

Akhirnya mereka berdua di depan, berdua di belakang mereka adalah Tuti dan Neni sementara Agus berada di paling belakang membawa senter panjang perak miliknya. Ketika sampai disana, tepat pukul 05.30, matahari sama sekali belum muncul.

Mereka berhenti kurang lebih 10 meter dari pohon cengkeh. Grasak-grusuk di pohon itu pun diam, tetapi kemudian bergerak-gerak dengan sangat kencang, seperti monyet yang sedang mengamuk.

Lima anak tersebut gemetar sembari mundur beberapa langkah. Tapi mereka masih penasaran, apakah mungkin pocong bisa naik pohon. Obor di tangan Adit sama sekali tidak membantu untuk melihat apa yang ada di pohon, cahaya dari obor bergerak kemana-mana, tidak fokus, dan tidak jauh, hanya bisa menerangi beberapa meter dari tubuh yang memegang obor.

Agus yang membawa senter akhirnya sedikit maju dari barisan dan mengarahkan senternya ke atas pohon cengkeh. Terlalu jauh, akhirnya mereka mendekat. Dari dekat cahaya senter tersebut menyorot sebuah muka yang samar-samar, lima anak-anak tersebut melotot melihat penampakan tersebut. Kemudian, wajah samar-samar tersebut tersenyum nyengir, sehingga terlihat dengan jelas gigi putih tidak rata.

“Monyeeet!” teriak ucup. Mereka berlima pun berhamburan pergi meninggalkan pohon cengkeh menuju sekolah.

***

Disekolah tidak ada perbincangan berarti, mereka semua kebingungan, apa dan siapa wajah samar-samar subuh itu. Tidak mungkin itu monyet, tidak pernah ada monyet di desa ini, apalagi monyet yang menaiki pohon cengkeh. Ketika pulang dari sekolah, mereka bersama berniat untuk kembali mendatangi pohon cengkeh tersebut.

***

Ketika sampai di pohon cengkeh, mereka berlima melihat dari kejauhan ada tiga orang yang menaiki pohon cengkeh. Mereka pun berlari mendekat, karena tahu di pohon itu bukanlah monyet. Sementara itu, di bawah pohon ada Pak Haji yang sedang melihat ke atas pohon sembari beberapa kali memulung cengkeh yang jatuh dari tangan orang-orang yang memanen cengkeh.

“Pak Haji sudah panen?” tanya Adit.

“Belum Dit, ini saya borongin.”[3]

“Loh, kenapa di borongin Pak Haji, padahal kan banyak duitnya kalau di jemur dulu.”

“Ia Dit, tapi akhir-akhir ini sepertinya cengkeh ini ada yang ngambil, tiap hari saya lihat semakin sedikit, terus banyak cengkeh yang jatuh seperti ada yang panen, padahal saya belum pernah suruh orang buat panen.”

Adit mengangguk diam, anak-anak yang lain juga demikian—semuanya melihat ke atas pohon cengkeh, tiga orang ada di atas—salah satu dari mereka melihat ke bawah dan tersenyum dengan nyengir.

Semua anak-anak tahu senyum itu, spontan mereka berteriak “Monyeeet” dan langsung lari terbirit-birit.

Pak Haji yang melihat pemandangan tersebut hanya bisa berkata “Dasar anak-anak nakal!”



[1] mungut

[3] Menjual buah dari pohon langsung tanpa perhitungan pasti kepada tengkulak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan