Ide dan Aksi Kecil untuk Sebuah Ledakan Besar

Sebuah Ide Tidak Pernah Instan

Sir Isaac Newton (1643 – 1727), seorang fisikawan abad modern yang sangat terkenal menemukan sebuah teori gravitasi ketika ia sedang termenung di bawah pohon apel. Asisten Newton mengungkapkan, “Kala itu, pada 1666, Newton sedang duduk di bawah pohon apel saat memikirkan gravitasi, lalu sebuah apel jatuh di kepalanya”.[1] Cerita tersebut masih populer hingga sekarang—banyak orang berpikir bahwa jika Newton tidak pernah tertimpa sebuah apel, maka teori gravitasi tidak akan pernah lahir dari dirinya.

Sementara itu, cerita lain datang dari Archimedes (287-212 SM), seorang fisikawan klasik yang merupakan pendahulu Newton. Ia menemukan sebuah teori fisika ketika berendam di kamar mandi—teori tersebut adalah hukum Archimedes yang berbunyi:

Jika sebuah benda dicelupkan ke dalam zat cair, maka benda tersebut akan memperoleh gaya yang disebut gaya apung (gaya ke atas) sebesar berat zat cair yang dipindahkannya.[2]

Sederhananya ketika badan Archimedes masuk ke dalam bak mandi, dorongan air ke badan Archimedes sama besar dengan air yang naik ketika badan Archimedes masuk. Hukum ini terlihat sederhana, tetapi berimplikasi sangat besar, salah satunya pada pembuktian jumlah emas yang ada dalam sebuah mahkota raja.

Pada waktu itu seorang raja yang membuat emas ke pengrajin merasa curiga bahwa mahkota yang dibuat oleh pengrajin tersebut tidak murni—ada campuran perak di dalamnya. Padahal raja telah memberikan 100% emas ke si pengrajin—raja curiga pengrajin tersebut berbohong dan mengganti emas di dalam mahkota dengan perak dan dengan berat yang sama. Oleh karena itu, raja menugaskan Archimedes untuk memecahkan teka-teki tersebut, tetapi dengan ketentuan tanpa merusak mahkota. Begitulah hingga Archimedes terus memikirkan hal tersebut dan akhirnya ia menemukan ide ketika ia berada di bak mandi.

Archimedes tahu bahwa massa jenis emas (kerapatan) lebih besar dari yang bukan emas (perak, tembaga, dll), maka dari itu untuk satu kilogram emas dibutuhkan lebih besar mahkota jika mahkota tersebut dicampur dengan benda bukan emas. Untuk membuktikan hal tersebut, meski timbangannya sama (emas dan bukan emas), tetapi ketika dicelupkan ke air, mahkota yang bukan emas akan memiliki daya dorong yang lebih kuat, sehingga menimbulkan gaya air ke atas yang lebih tinggi dari emas murni. Dengan hal tersebutlah Archimedes bisa memecahkan masalah tersebut. Konon katanya ketika Archimedes mendapatkan ide tersebut di kamar mandi, ia terlampau sumeringah dan berlari keluar rumah tanpa menggunakan pakaian sembari berteriak "Eureka! (Saya menemukannya!)".[3]

Dari dua kisah tersebut, sebuah ide datang seolah-olah dari sebuah situasi semacam anugerah atau penulis lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ledakan besar yang berbunyi Eureka!. Disebut ledakan karena ide tersebut seakan-akan meletup dari pikiran si pembuat ide sehingga ia menemukan sesuatu yang ia cari. Tapi pertanyaannya, apakah benar sebuah ide datang  seperti itu?

Nyatanya proses sebuah ide menjadi ledakan besar tidak pernah sesederhana sebuah apel jatuh dan menimpa seseorang atau dari sebuah proses orang menjatuhkan diri ke dalam bak mandi. Itu adalah sebuah ledakan besar dari ribuan ide dan aksi kecil di masa lalu.

Banyak orang di dunia ini yang pernah tertimpa oleh sebuah apel, begitupun mandi di atas bak, tetapi tidak semua orang bisa berpikir seperti Newton dan Archimedes. Mereka berdua tidak pernah mendapatkan angerah seperti yang orang lain pikirkan, mereka adalah orang yang berkomitmen pada satu ide besar yang mereka tuju di masa lalu—meski ide tersebut samar-samar sebelumnya, dengan sebuah aksi-aksi kecil yang sangat panjang mereka berdua berhasil menciptakan momentum ledakan ide seperti itu.

Newton sejak usia 12 tahun dikenal sebagai anak yang pandai, hingga ia bisa sekolah di salah satu sekolah ternama di Inggris, The King School, Grantham. Dari kecil ia sudah tertarik dengan matematika dan ilmu alam (fisika). Di usia 18, ia berkuliah di Trinity College Universitas Cambridge dan terus menekuni bidang yang sama (fisika). Momen ketika ia terkena buah apel yang jatuh adalah di usia 23 tahun di kampung halamannya ketika ia memutuskan untuk pulang karena di kota sedang terjadi wabah yang menyebabkan kampusnya diliburkan.[4] Pasca ia menemukan teori tersebut, ia terus mendalami bidang yang ia geluti, yaitu dunia fisika.

Sementara itu, Archimedes  adalah anak seorang astronom dan ia banyak menghabiskan masa mudanya di Mesir, di Kota Alexandria, tepatnya di sebuah perpustakaan terkenal waktu itu, yaitu Perpustakaan Alexandria. Dua orang ini tidak pernah mendapatkan anugerah, mereka berdua hanyalah orang yang berkomitmen melakukan ide dan aksi kecil dan terus berharap suatu saat nanti ide dan aksi tersebut menjadi sesuatu yang sangat besar.

Lingkungan Kondusif Membentuk Ide Progresif

Setelah kita memahami bahwa ide besar bukanlah sebuah anugerah yang datang spontan, melainkan sebuah proses jangka panjang dari ide dan aksi kecil, berikutnya kita bertanya apakah ide besar itu diperoleh seorang diri atau merupakan gabungan dari ide-ide yang dibuat bersama.

Untuk menjawab hal ini, penulis tertarik untuk membahas sebuah buku berjudul Where Good Ideas Come From yang ditulis oleh Steven Johnson. Dalam sebuah acara TED Talks,[5] ia mengungkapkan “Peluang lebih memilih pikiran-pikiran yang terhubung”. Johnson menekankan pentingnya sebuah diskusi antar pikiran untuk menghasilkan keterhubungan ide. Menurutnya sebuah inovasi besar justru jarang sekali ditemukan di sebuah rapat kerja formal atau perenungan mendalam seorang diri—sebelum sampai kesitu, menurutnya sebuah ide besar justru lahir dari sebuah aktivitas obrolan-obrolan biasa seperti di warung kopi. Dan melalui kegiatan tersebut justru peluang untuk menghasilkan ide yang besar lebih besar karena pikiran-pikiran orang menjadi lebih mudah terhubung.

Johnson menganalogikan bahwa sebuah café merupakan analogi yang tepat bagaimana inovasi itu muncul dalam sebuah pikiran manusia. Di dalam sebuah café yang memiliki banyak pengunjung—setiap pengunjung memiliki pemikiran yang berbeda, kemudian beberapa diantara mereka saling bertukar pikiran dalam sebuah obrolan, maka ide dari masing-masing orang berkumpul (Johnson menyebutnya pikiran yang bersetubuh) dan munculah sebuah ide baru yang kita sebut sebagai inovasi.

Salah satu contoh yang cukup bagus untuk hal ini adalah bagaimana proses jurnalistik modern dicetuskan di abad ke-17. Jurnalisme modern ternyata berkembang di sebuah café di Inggris, dimana awalnya orang-orang melakukan percakapan yang dibawa oleh para pengelana—ternyata orang-orang suka sekali mendapatkan informasi baru.[6] Berikutnya setelah setelah teknologi percetakan muncul, sekitar tahun 1609, percakapan yang berisi berita perkapalan, gosip, dan argumen politik tersebut dicetak di atas kertas yang kita sebut sebagai surat kabar.[7] Ide tersebut lahir dari sebuah perkumpulan yang melakukan perbincangan informal—meski mungkin ada orang yang merenungkan hal tersebut, tetap saja perenungan tersebut lahir dari ide-ide yang berkumpul dan saling berinteraksi.

Begitupun Newton dan Archimedes, dua orang ini tentu tidak pernah mencetuskan ide sendirian. Seperti ungkapan Newton yang terkenal “If I have seen further it is by standing on the shoulders of Giants.” Artinya Newton pun beranggapan bahwa semua ide yang ia hasilkan adalah hasil dari para pendahulunya, hingga ia menyatakan bahwa ia berdiri di atas pundak para pendahulunya yang ia anggap sangat besar. Archimedes pun demikian, ia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan Alexandria yang waktu itu merupakan pusat berkumpulnya ilmuwan-ilmuwan hebat, sangat tidak mungkin jika ia tidak pernah berdiskusi dan bertukar pikiran dengan temannya sesama ilmuwan.

Dalam hal ini kita bisa menyimpulkan bahwa sebuah ide hebat selalu didorong oleh lingkungan yang hebat. Maka dari itu untuk menjadi seorang ahli di suatu bidang kita harus dikelilingi oleh orang-orang yan memiliki minat yang sama dengan kita.  

Komitmen Jangka Panjang dan Lingkungan yang Tepat sebagai Proses Membentuk Habitus

Ada dua poin yang telah kita pahami, bahwa pencapaian dalam hidup selalu tidak instan, artinya diperoleh dari ide dan aksi kecil setiap hari. Selanjutnya, kita juga memahami bahwa ide dan aksi bisa semakin besar jika kita mengelilingi diri kita dengan orang yang memiliki minat yang sama. Ketika dua cara ini kita lakukan, maka proses imajinasi dan kreativitas akan terdorong dengan sendirinya dan sebuah aksi juga akan muncul dengan sendirinya.

Dalam ilmu sosiologi dikenal sebuah teori bernama habitus, teori tersebut dicetuskan oleh seorang Sosiolog Francis bernama Pierre Bourdieu. Kurang lebih isi teorinya seperti ini, “Tindakan individu adalah hasil dialektika antara persepsi terhadap diri dan lingkungan sosial”.[8] Dalam teori ni sebuah individu melakukan aksi tidak pernah seutuhnya didorong oleh kehendak pribadi, tetapi tidak juga sepenuhnya di dorong oleh konteks sosial.

Misalnya seperti ini, anak-anak dari sebuah desa terpencil di daerah pelosok Indonesia akan memiliki tantangan lebih besar untuk bisa mengakses pendidikan tinggi. Hal itu disebabkan konteks sosial mereka tinggal tidak mendukung hal tersebut. Sebut saja sarana dan prasarana sekolah yang kurang memadai; kuantitas dan kualitas guru yang tidak sebaik di kota; dan masih banyak lagi. Sementara itu, anak-anak di kota di sekolahkan di tempat yang mahal dengan fasilitas mewah; di bawa ke perpustakaan setiap minggu; dan diberikan les privat. Konteks ini tentu akan membentuk sebuah habitus berbeda diantara dua anak tersebut.

Tetapi proses tindakan tidak juga sepenuhnya bekerja seperti itu. Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa adanya interaksi antara persepsi diri dan konteks sosial. Artinya jika seorang anak di daerah terpencil memiliki mimpi tinggi dan mengeksekusi ide dan aksi kecil setiap hari, maka tentu konteks sosial tersebut bisa dilawan dan mengubah habitus diri sesuai apa yang diharapkan.  

Maka dari itu bisa disimpulkan bahwa untuk dapat memperoleh imajinasi dan kreativitas sehingga membentuk aksi nyata, seseorang harus memiliki dua hal. Pertama, ia memiliki mimpi yang dieksekusi dalam sebuah aksi-aksi kecil—ingat bahwa sebuah pencapaian tidak pernah datang dengan instans. Bahkan di sebuah buku berjudul “Outliers” karya Malcolm Gladwell, dibutuhkan setidaknya 10.000 jam untuk seseorang menjadi ahli di suatu bidang.

Kedua, untuk menjadi seorang ahli pula, seseorang harus membuat konteks sosialnya mendukung perilakunya berbuat demikian. Kita harus mencari orang-orang yang memiliki minat yang sama yang bisa mendorong aksi kita secara maksimal untuk bisa menggapai mimpi. Hal ini sangat penting, seringkali tanpa adanya patokan teman seperjuangan atau bahkan pesaing kita merasa telah melakukan progres, padahal nyatanya kita hanya jalan di tempat.

Dua konsep ini yang mendorong habitus kita sehingga suatu saat yang orang lain sebut keberuntungan akan datang kepada kita—padahal semua itu adalah ide dan aksi kecil yang kita lakukan setiap hari.


[1] Editor Amri Mahbub, “Ini Pohon Apel Isaac Newton yang Terkenal”, diakses dari https://tekno.tempo.co/read/1035339/ini-pohon-apel-isaac-newton-yang-terkenal,  pada tanggal 12 Oktober 2021.

[2] Kumparan, “Hukum Archimedes: Pengertian, Rumus, dan Contoh Penerapannya”, diakses dari https://kumparan.com/berita-hari-ini/hukum-archimedes-pengertian-rumus-dan-contoh-penerapannya-1ujViJ8c39P/full, pada 12 Oktober 2021.

[3] Rifa Nadia Nurfuadah, “Eureka dan Inspirasi Archimedes untuk Ilmuwan Dunia”, diakses dari, pada https://news.okezone.com/read/2014/07/12/373/1011963/eurekadaninspirasiarchimedesuntukilmuwandunia?__cf_chl_captcha_tk__=pmd_2WdmVrvl8HKahpeK39wfsBhoWxToVu96o0ehvch4PiE-1634629597-0-gqNtZGzNAzujcnBszQ5l, tanggal 12 Oktober 2021.

[4] Thingk Physics, “Biografi Sir Isaac Newton (1643 - 1727), diakses dari https://www.thinksphysics.com/2019/08/biografi-sir-isaac-newton-1643-1727.html, pada tanggal 12 Oktober 2021.

[5] TED Talks merupakan organisasi non profit yang bertujuan untuk menyebarkan ide menarik dan singkat. Biasanya organisasi ini menggunakan platform media sosial seperti Youtube untuk bisa diakses oleh banyak orang.

[6] Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme, (Jakarta: Yayasan Pantau) 2006, H

hal. 17.

[7] Ibid. hal 17.

[8] Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah, (Jakarta: Rajawali Pers), 2012. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan