Kisah Gie, Seorang Mahasiswa yang Menginspirasi hingga Kini

Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. (Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989)

Membaca buku Soe Hok Gie Catatan Seorang Demonstran adalah membaca kisah hidup seorang aktivis, intelektual, dan pejuang pengisi kemerdekaan yang gigih dengan penuh idealisme. Kita akan dihadapkan dengan kisah seorang pemuda yang begitu maju dari segi pemikiran; serta keberanian dalam menyampaikan pendapat; dan juga kecintaan pada Bangsa Indonesia yang luar biasa. Tetapi, selain itu semua, Gie adalah orang biasa seperti kita, pemuda yang suka nongkrong dengan teman-temannya, jatuh cinta, dan suka jalan-jalan. Sebagian hidupnya saat mahasiswa, ia abdikan untuk naik gunung, bukan tanpa alasan, menurutnya hal tersebut adalah salah satu upayanya mencintai Indonesia.

Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. (Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989)

Gie merupakan sosok yang identik dengan kehidupan mahasiswa, karena buku catatan hariannya yang dibukukan dan kemudian diterbitkan oleh LP3ES banyak sekali mengisahkan kehidupan mahasiswa di zaman Orde Lama dan Orde Baru, ketika Gie masih hidup. Maka dari itu membaca Gie adalah alat kaderisasi paling efektif untuk semua mahasiswa Indonesia. Meski landskap sosial, budaya, dan politik jauh berbeda antara zaman kita dan Gie, nyatanya pemikiran Gie jauh kedepan, menembus sekat-sekat budaya dan ideologi karena yang ia sampaikan adalah kemanusiaan. Maka dari itu hingga sekarang pemikirannya tak lepas dan bisa sangat dijadikan rujukan untuk setiap mahasiswa di Indonesia. Perjuangan, keberanian, dan kecintaannya pada Indonesia akan terus diwariskan melalui buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran.

Buku ini sangat powerful, buku yang berisi kumpulan catatan harian Gie dari umur 15 tahun hingga catatan terakhirnya ketika Gie meninggal di usia 27 tahun di Gunung Semeru ini merupakan buku yang jujur. Dikatakan jujur karena buku ini benar-benar berisi orisinil pemikiran dan perasaan Gie ketika ia hidup. Dalam buku ini kita akan melihat bagaimana pemikiran Seorang Demonstran, dari pemikirannya ketika remaja; kemudian menjadi aktivis di universitas; segala hal tentang naik gunung; waktu ia berangkat ke Amerika; dan bahkan saat kematian yang sepertinya sudah diramalkan oleh Gie sendiri yang tertulis di catatan harian akhir yang dibuatnya. Dalam catatan terakhirnya yang Gie tulis 8 Desember 1969, Gie mengatakan:

Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya, setelah saya mendengar kematian Kian Fong dan Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. (Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989)

Ini adalah catatan terakhirnya, karena ketika di Semeru Gie harus meninggalkan kita semua, ia menghirup gas beracun Gunung Semeru dan meninggal di tempat pada tanggal 16 Desember 1969. Ia pergi sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 di esok harinya—namun sayang, Gie akhirnya pergi meninggalkan kita, namun catatannya tetap abadi dalam tulisan yang penuh dengan gairah daripada kepedihan.

Kesan penulis ketika membaca catatan Gie membuat penulis bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan pemuda ini jika ia hidup di era sekarang, di abad 21. Gie pernah sesumbar akan adanya generasi baru setelah era tahun 45, yaitu generasi dirinya yang lahir dari tahun setelah 45, meskipun dirinya lahir di tahun 42, ketika ia menulis catatan tersebut yang juga terbit di Koran Kompas pada tahun 17 Agustus 1969, usia Gie dalam rentang 20-30 tahun, yang tentunya masih bisa dianggap muda. Gie mengatakan:

Tanpa kita sadari bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda-pemuda, pemudi-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1945—generasi kemerdekaan Indonesia. (Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989)

Dalam tulisan yang lain Gie juga menulis:

Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantasi generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduk koruptor-koruptor tua, seperti . . . kitalah yang akan memakmurkan Indonesia. (Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989)

Namun sayang, bahkan hingga sekarang, 60 tahun kepergiannya, Indonesia yang ia mimpikan belum sampai jadi kenyataan. Masih banyak kedzaliman di negeri ini masalah korupsi, pejabat yang otoriter, dan pelemahan demokrasi jadi masalah publik yang tidak kunjung usai.

Generasi sekarang adalah generasi pasca reformasi, generasi yang harusnya bisa menikmati demokrasi dengan antusias dan meyakinkan. Karena sejak tumbangnya Orde Baru, Indonesia menemui babak baru demokrasi yang seharusnya lebih baik, ditandai dengan Pemilihan Umum di tahun 2004 secara demokratis, dihapusnya Dwi Fungsi ABRI, dan adanya kebebasan berpendapat. Namun ternyata tidak demikian, sekarang reformasi benar-benar dikorupsi.

Salah satu bidang yang dikorupsi adalah kebebasan berpendapat di kampus. Padahal di dalam kampus harusnya kebebasan itu menjadi yang utama, karena hanya dalam kebebasan akademik, pengetahuan itu bisa berkembang. Seperti yang disampaikan oleh Robertus Robet, seorang Sosiolog asal Indonesia, ia mengatakan bahwa jantung universitas adalah kebebasan dan bisnis utama universitas adalah pencarian kebenaran yang ditunjang dengan kejujuran. (Sukiman, 2021)

Dan Gie juga mengatakan dalam catatan hariannya, bagaimana mahasiswa yang juga merupakan elemen penting dalam universitas seharusnya bersikap.

Bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas dari segala arus masyarakat yang kacau. Tapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya. Yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya, apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelejensia yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan. (Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989)

Namun nyatanya, di era sekarang pembukaman pada kebebasan akademik terus menerus dipertontonkan di depan publik. Belum lama ini kasus BEM UI yang dipanggil oleh rektorat karena mengunggah postingan Instagram yang mengkritik pemerintahan Jokowi dengan sebutan King of Lip Service. Postingan tersebut dianggap tidak sopan karena presiden dianggap simbol negara, padahal jelas dalam aturan perundang-undangan simbol negara adalah bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan

Berikutnya, tidak jauh berbeda, kasus yang menimpa BEM Unnes, yang memposting kritikan yang sama pada Presiden, Wakil Presiden, dan Ketua DPR. Tidak tanggung-tanggung rektorat meminta langsung unggahan tersebut diturunkan karena ditakutkan bisa menimbulkan gejolak masyarakat, terutama dari pihak partai PDIP. Beberapa jam kemudian akun BEM tersebut hilang (Farasonalia, 2021).

Masih banyak kasus-kasus lainnya yang juga memperlihatkan pola yang sama, dimana pemimpin kampus cenderung  melindungi kekuasaan. Dari Gie sebenarnya kita bisa banyak belajar tentang ini. Pernah waktu itu di Era Soeharto yang baru dilantik, Soeharto mengajak elemen mahasiswa untuk bergabung dengan pemerintahan di dalam DPR, namun Gie menolak, ia tetap menjadi akademisi yang bebas dari kepentingan dan yang suka naik gunung. Pada waktu itu, Gie juga merupakan dosen Muda di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Ujian pertama dari KAMI datang pada saat penawaran menjadi anggota DPR-GR. Golongan moral forces menolaknya, karena melihat racun berbungkus madu di atas kursi empuk DPR-GR. Sebaliknya golongan politisi setuju karena suara mereka diperlukan untuk voting anti Soekarno (yang makin lemah) dan menyusun UU Pemilihan Umum,” (Gie, Menyambut Dua Tahun KAMI: Moga-Moga KAMI Tidak Mendjadi Neo PPMI, 1967)

Sekarang, pemimpin kampus malah berbondong-bondong ikut penguasa, dampaknya ya seperti ini, pemimpin sibuk mengurusi mimbar kebebasan akademik—bukan mendukungnya mereka malah meredam hal tersebut. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan, misalnya untuk menjadi rektor di Universitas, rektor di kampus negeri harus memiliki suara 35% dari pemerintah yang diwakilkan oleh kemdikbud. (Badrun, 2021). Dalam tulisan yang sama, Ubed juga menambahkan.

Itulah salah satu problem bawaan dari 35 persen suara Mendikbud itu. Hal yang lebih parah adalah maraknya lobi-lobi tingkat tinggi jelang pemilihan rektor. Dari lobi ke petinggi di Kemendikbud, ke partai politik hingga ke Istana. Pemilihan rektor menjadi sangat politis. Dalam perspektif politik itu juga bisa menjadi pintu kendali kekuasaan pada universitas negeri padahal universitas sejak kelahirannya memiliki kebebasan akademik yang tidak membenarkan kendali dominan dari kekuasaan. (Badrun, 2021)

Belum lagi, di kasus UI terungkap bahwa Rektor yang memanggil BEM UI tersebut menjadi pejabat juga di BUMN, tidak tanggung-tanggung posisinya adalah sebagai wakil komisaris. Meski UI adalah PTN-BH, yang mana pemilihan rektornya dibebaskan kepada kampus—jadi 35% pemilih dari pemerintah tidak berlaku di UI—meski begitu tetap saja, celah penguasa masih bisa masuk, nyatanya Anggota Majelis Wali Amanat (MWA) di UI yang bertugas untuk memilih rektor adalah orang pemerintahan semua, tak terkecuali Bapak Erick Thohir, yang merupakan Menteri BUMN dan ditulis sebagai perwakilan dari masyarakat di dalam MWA.

Jika Gie masih hidup, ia pasti takjub dengan semua hal ini, pelemahan terhadap kampus yang amat sistematik di berbagai bidang. Kemudian pola pelemahan kritik mahasiswa yang bahkan dilakukan oleh kampusnya sendiri menambah ironi.

Dalam kasusnya, Gie juga pernah mengkritik pemerintah, yang meski ia tulis di dalam buku catatan yang terbit beberapa tahun setelah ia meninggal. Gie mengatakan:

Mereka generasi tua: Soekarno, Ali Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Die, semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak di Lapangan Banteng. Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu. (Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989)

Gie tidak pernah membenci Soekarno, dalam catatan hariannya yang lain, Gie bahkan mengatakan bahwa Soekarno adalah orang yang menyenangkan sebagai teman ngobrol, tetapi bukan sebagai pemimpin. Ungkapannya hanya satir belaka, ia tidak pernah ingin menembak Soekarno, ia hanya cinta rakyat yang karena pemimpin yang salah hidupnya sengsara. Kebencian itu tertuang dalam catatan harian Gie yang lain, yang berbunyi seperti ini:

Siang tadi ketika aku momong kera, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah satu gejala yang mulai nampak di ibukota. Dan kuberikan Rp 2,50 dari uangku. Uangku hanya Rp 2,50 waktu itu (Rp 15,- uang cadanganku).

Ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua…. (Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989)

Tampaknya para pejabat di negeri ini harus banyak membaca buku sejarah, salah satunya buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Lihatlah betapa sebenarnya orang yang mengkritik para pemimpin adalah orang yang sangat mencintai negerinya.

Daftar Pustaka

Badrun, U. (2021, Mei 31). Retrieved from Tempo.co: https://kolom.tempo.co/read/1467366/aroma-tak-sedap-pemilihan-rektor-dan-dekan-universitas-negeri

Farasonalia, R. (2021, Juli 7). kompas.com. Retrieved from https://regional.kompas.com/read/2021/07/07/195958978/akun-instagram-bem-unnes-hilang-setelah-kritik-wakil-presiden-dan-ketua-dpr?page=all

Gie, S. H. (1967, Oktober 26). Menyambut Dua Tahun KAMI: Moga-Moga KAMI Tidak Mendjadi Neo PPMI.

Gie, S. H. (1989). Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.

Sukiman. (2021). Bobroknya Kampus Kita. Analogi.co, 7.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan