Kisah Gie, Seorang Mahasiswa yang Menginspirasi hingga Kini
Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar
mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi
pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia
yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya
sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Membaca buku Soe
Hok Gie Catatan Seorang Demonstran adalah membaca kisah hidup seorang aktivis,
intelektual, dan pejuang pengisi kemerdekaan yang gigih dengan penuh idealisme.
Kita akan dihadapkan dengan kisah seorang pemuda yang begitu maju dari segi pemikiran;
serta keberanian dalam menyampaikan pendapat; dan juga kecintaan pada Bangsa
Indonesia yang luar biasa. Tetapi, selain itu semua, Gie adalah orang biasa
seperti kita, pemuda yang suka nongkrong dengan teman-temannya, jatuh cinta,
dan suka jalan-jalan. Sebagian hidupnya saat mahasiswa, ia abdikan untuk naik
gunung, bukan tanpa alasan, menurutnya hal tersebut adalah salah satu upayanya
mencintai Indonesia.
Patriotisme
tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya
dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.
Gie merupakan sosok yang identik dengan kehidupan
mahasiswa, karena buku catatan hariannya yang dibukukan dan kemudian
diterbitkan oleh LP3ES banyak sekali mengisahkan kehidupan mahasiswa di zaman
Orde Lama dan Orde Baru, ketika Gie masih hidup. Maka dari itu membaca Gie
adalah alat kaderisasi paling efektif untuk semua mahasiswa Indonesia. Meski
landskap sosial, budaya, dan politik jauh berbeda antara zaman kita dan Gie,
nyatanya pemikiran Gie jauh kedepan, menembus sekat-sekat budaya dan ideologi
karena yang ia sampaikan adalah kemanusiaan. Maka dari itu hingga sekarang
pemikirannya tak lepas dan bisa sangat dijadikan rujukan untuk setiap mahasiswa
di Indonesia. Perjuangan, keberanian, dan kecintaannya pada Indonesia akan
terus diwariskan melalui buku Soe Hok
Gie, Catatan Seorang Demonstran.
Buku ini sangat powerful,
buku yang berisi kumpulan catatan harian Gie dari umur 15 tahun hingga catatan
terakhirnya ketika Gie meninggal di usia 27 tahun di Gunung Semeru ini
merupakan buku yang jujur. Dikatakan jujur karena buku ini benar-benar berisi
orisinil pemikiran dan perasaan Gie ketika ia hidup. Dalam buku ini kita akan
melihat bagaimana pemikiran Seorang Demonstran, dari pemikirannya ketika
remaja; kemudian menjadi aktivis di universitas; segala hal tentang naik
gunung; waktu ia berangkat ke Amerika; dan bahkan saat kematian yang sepertinya
sudah diramalkan oleh Gie sendiri yang tertulis di catatan harian akhir yang dibuatnya.
Dalam catatan terakhirnya yang Gie tulis 8 Desember 1969, Gie mengatakan:
Saya tak
tahu apa yang terjadi dengan diri saya, setelah saya mendengar kematian Kian
Fong dan Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu
ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.
Ini adalah catatan terakhirnya, karena ketika di
Semeru Gie harus meninggalkan kita semua, ia menghirup gas beracun Gunung
Semeru dan meninggal di tempat pada tanggal 16 Desember 1969. Ia pergi sehari sebelum
ulang tahunnya yang ke-27 di esok harinya—namun sayang, Gie akhirnya pergi
meninggalkan kita, namun catatannya tetap abadi dalam tulisan yang penuh dengan
gairah daripada kepedihan.
Kesan penulis ketika membaca catatan Gie membuat
penulis bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan pemuda ini jika ia hidup di era
sekarang, di abad 21. Gie pernah sesumbar akan adanya generasi baru setelah era
tahun 45, yaitu generasi dirinya yang lahir dari tahun setelah 45, meskipun
dirinya lahir di tahun 42, ketika ia menulis catatan tersebut yang juga terbit
di Koran Kompas pada tahun 17 Agustus 1969, usia Gie dalam rentang 20-30 tahun,
yang tentunya masih bisa dianggap muda. Gie mengatakan:
Tanpa kita
sadari bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda-pemuda,
pemudi-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1945—generasi kemerdekaan
Indonesia.
Dalam tulisan yang lain Gie juga menulis:
Kita,
generasi kita ditugaskan untuk memberantasi generasi tua yang mengacau.
Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduk koruptor-koruptor
tua, seperti . . . kitalah yang akan memakmurkan Indonesia.
Namun sayang, bahkan hingga sekarang, 60 tahun
kepergiannya, Indonesia yang ia mimpikan belum sampai jadi kenyataan. Masih
banyak kedzaliman di negeri ini masalah korupsi, pejabat yang otoriter, dan
pelemahan demokrasi jadi masalah publik yang tidak kunjung usai.
Generasi sekarang adalah generasi pasca reformasi,
generasi yang harusnya bisa menikmati demokrasi dengan antusias dan meyakinkan.
Karena sejak tumbangnya Orde Baru, Indonesia menemui babak baru demokrasi yang seharusnya
lebih baik, ditandai dengan Pemilihan Umum di tahun 2004 secara demokratis,
dihapusnya Dwi Fungsi ABRI, dan adanya kebebasan berpendapat. Namun ternyata
tidak demikian, sekarang reformasi benar-benar dikorupsi.
Salah satu bidang yang dikorupsi adalah kebebasan
berpendapat di kampus. Padahal di dalam kampus harusnya kebebasan itu menjadi
yang utama, karena hanya dalam kebebasan akademik, pengetahuan itu bisa
berkembang. Seperti yang disampaikan oleh Robertus Robet, seorang Sosiolog asal
Indonesia, ia mengatakan bahwa jantung universitas adalah kebebasan dan bisnis
utama universitas adalah pencarian kebenaran yang ditunjang dengan kejujuran.
Dan Gie juga mengatakan dalam catatan hariannya,
bagaimana mahasiswa yang juga merupakan elemen penting dalam universitas seharusnya
bersikap.
Bidang
seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas
dari segala arus masyarakat yang kacau. Tapi mereka tidak bisa terlepas dari
fungsi sosialnya. Yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya, apabila
keadaan telah mendesak. Kaum intelejensia yang terus berdiam di dalam keadaan
yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan.
Namun nyatanya, di era sekarang pembukaman pada
kebebasan akademik terus menerus dipertontonkan di depan publik. Belum lama ini
kasus BEM UI yang dipanggil oleh rektorat karena mengunggah postingan Instagram
yang mengkritik pemerintahan Jokowi dengan sebutan King of Lip Service.
Postingan tersebut dianggap tidak sopan karena presiden dianggap simbol negara,
padahal jelas dalam aturan perundang-undangan simbol negara adalah bendera,
bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan
Berikutnya, tidak jauh berbeda, kasus yang menimpa BEM
Unnes, yang memposting kritikan yang sama pada Presiden, Wakil Presiden, dan
Ketua DPR. Tidak tanggung-tanggung rektorat meminta langsung unggahan tersebut
diturunkan karena ditakutkan bisa menimbulkan gejolak masyarakat, terutama dari
pihak partai PDIP. Beberapa jam kemudian akun BEM tersebut hilang
Masih banyak kasus-kasus lainnya yang juga
memperlihatkan pola yang sama, dimana pemimpin kampus cenderung melindungi kekuasaan. Dari Gie sebenarnya
kita bisa banyak belajar tentang ini. Pernah waktu itu di Era Soeharto yang
baru dilantik, Soeharto mengajak elemen mahasiswa untuk bergabung dengan
pemerintahan di dalam DPR, namun Gie menolak, ia tetap menjadi akademisi yang
bebas dari kepentingan dan yang suka naik gunung. Pada waktu itu, Gie juga
merupakan dosen Muda di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Ujian
pertama dari KAMI datang pada saat penawaran menjadi anggota DPR-GR. Golongan moral
forces menolaknya, karena melihat racun berbungkus madu di atas kursi empuk
DPR-GR. Sebaliknya golongan politisi setuju karena suara mereka diperlukan
untuk voting anti Soekarno (yang makin lemah) dan menyusun UU Pemilihan Umum,”
Sekarang, pemimpin kampus malah berbondong-bondong
ikut penguasa, dampaknya ya seperti ini, pemimpin sibuk mengurusi mimbar
kebebasan akademik—bukan mendukungnya mereka malah meredam hal tersebut. Hal
tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan, misalnya untuk menjadi rektor di
Universitas, rektor di kampus negeri harus memiliki suara 35% dari pemerintah
yang diwakilkan oleh kemdikbud.
Itulah
salah satu problem bawaan dari 35 persen suara Mendikbud itu. Hal yang lebih
parah adalah maraknya lobi-lobi tingkat tinggi jelang pemilihan rektor. Dari
lobi ke petinggi di Kemendikbud, ke partai politik hingga ke Istana. Pemilihan
rektor menjadi sangat politis. Dalam perspektif politik itu juga bisa menjadi
pintu kendali kekuasaan pada universitas negeri padahal universitas sejak
kelahirannya memiliki kebebasan akademik yang tidak membenarkan kendali dominan
dari kekuasaan.
Belum lagi, di kasus UI terungkap bahwa Rektor yang
memanggil BEM UI tersebut menjadi pejabat juga di BUMN, tidak tanggung-tanggung
posisinya adalah sebagai wakil komisaris. Meski UI adalah PTN-BH, yang mana
pemilihan rektornya dibebaskan kepada kampus—jadi 35% pemilih dari pemerintah
tidak berlaku di UI—meski begitu tetap saja, celah penguasa masih bisa masuk,
nyatanya Anggota Majelis Wali Amanat (MWA) di UI yang bertugas untuk memilih
rektor adalah orang pemerintahan semua, tak terkecuali Bapak Erick Thohir, yang
merupakan Menteri BUMN dan ditulis sebagai perwakilan dari masyarakat di dalam
MWA.
Jika Gie masih hidup, ia pasti takjub dengan semua hal
ini, pelemahan terhadap kampus yang amat sistematik di berbagai bidang. Kemudian
pola pelemahan kritik mahasiswa yang bahkan dilakukan oleh kampusnya sendiri
menambah ironi.
Dalam kasusnya, Gie juga pernah mengkritik pemerintah,
yang meski ia tulis di dalam buku catatan yang terbit beberapa tahun setelah ia
meninggal. Gie mengatakan:
Mereka
generasi tua: Soekarno, Ali Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Die, semuanya
pemimpin-pemimpin yang harus ditembak di Lapangan Banteng. Cuma pada kebenaran
masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan.
Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu.
Gie tidak pernah membenci Soekarno, dalam catatan
hariannya yang lain, Gie bahkan mengatakan bahwa Soekarno adalah orang yang
menyenangkan sebagai teman ngobrol, tetapi bukan sebagai pemimpin. Ungkapannya
hanya satir belaka, ia tidak pernah ingin menembak Soekarno, ia hanya cinta
rakyat yang karena pemimpin yang salah hidupnya sengsara. Kebencian itu
tertuang dalam catatan harian Gie yang lain, yang berbunyi seperti ini:
Siang tadi
ketika aku momong kera, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah
memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah satu gejala yang mulai
nampak di ibukota. Dan kuberikan Rp 2,50 dari uangku. Uangku hanya Rp 2,50
waktu itu (Rp 15,- uang cadanganku).
Ya, dua
kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa-tawa,
makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan
kulit itu, alangkah bangga hatiku. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk
memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas
mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua….
Tampaknya para pejabat di negeri ini harus banyak
membaca buku sejarah, salah satunya buku Soe
Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Lihatlah betapa sebenarnya orang yang
mengkritik para pemimpin adalah orang yang sangat mencintai negerinya.
Daftar Pustaka
Badrun, U. (2021, Mei 31). Retrieved from Tempo.co:
https://kolom.tempo.co/read/1467366/aroma-tak-sedap-pemilihan-rektor-dan-dekan-universitas-negeri
Farasonalia, R. (2021,
Juli 7). kompas.com. Retrieved from
https://regional.kompas.com/read/2021/07/07/195958978/akun-instagram-bem-unnes-hilang-setelah-kritik-wakil-presiden-dan-ketua-dpr?page=all
Gie, S. H. (1967,
Oktober 26). Menyambut Dua Tahun KAMI: Moga-Moga KAMI Tidak Mendjadi Neo
PPMI.
Gie, S. H. (1989). Catatan
Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Sukiman. (2021). Bobroknya Kampus Kita. Analogi.co, 7.
Komentar
Posting Komentar