Nilai-Nilai Pendidikan dalam Pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk Masa Depan Pendidikan di Indonesia

Jika ditanya apa pekerjaan tersulit dan sangat signifikan untuk kehidupan manusia? Salah satu jawabannya tentu adalah guru atau seorang tenaga pendidik. Mereka adalah salah satu agen sosialisasi yang memiliki kewajiban mewariskan pengetahuan masa lalu yang berisi nilai dan norma serta menjamin kebaikan masa depan yang berisi pengetahuan yang relevan. Dua tugas yang esensial dalam kehidupan manusia, karena tanpa masa lalu (nilai dan norma) manusia akan kehilangan identitas dan kesatuannya bersama yang lain dan tanpa masa depan manusia akan menghadapi tragedi kehidupan dimana kita tidak bisa hidup dengan baik dan nyaman.

Nilai dan norma selalu terdapat dalam sebuah kebudayaan. Konsep itu bisa berisi aturan yang berisi motivasi semangat dan juga larangan-larangan. Konsep nasionalisme adalah salah satu contoh nilai yang selalu diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam nilai nasionalisme kita diajarkan apa yang harus dilakukan, kenapa kita melakukan hal itu, dan juga berisi apa yang tidak bisa kita lakukan dalam kegiatan bernegara.

Kebutuhan kita untuk mendalami nilai masa lalu terkadang dibutuhkan untuk memberikan semangat kepada kita untuk membangun bangsa. Kadang memang dibutuhkan misalnya dalam pelajaran Sejarah dan Kewarganegaraan sebuah kisah-kisah kejayaan masa lalu yang bisa dibangkitkan semangatnya untuk diimplementasikan dengan keadaan sekarang.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara “....Memang kita harus kembali beberapa puluh tahun, kita amat mengingini untuk menemukan 'titik tolak' agar kita dapat berorientasi kembali: kita telah salah jalan” (Nugraha, 2020), fungsi masa lalu adalah memberikan pelajaran yang berharga, agar kita bisa merefleksikan diri, apakah kita sudah di jalur yang benar atau bukan.

Kemudian, berikutnya, kita juga harus berbicara tentang masa depan. Salah satu tugas guru adalah memberikan pengajaran yang relevan dengan masa depan. Apa tujuan kita belajar? Salah satunya agar bisa beradaptasi dengan berbagai tantangan yang ada di depan kita. Sejarah membuktikan, bahwa manusia adalah makhluk paling adaptif di muka bumi ini (Harari, 2018). Kemampuan seperti menciptakan vaksin ketika wabah, memberikan edukasi tentang bahaya kerusakan iklim, atau kemampuan lainnya hanya bisa dilakukan oleh manusia (Harari, 2018).

Tetapi sadarkah kita, bahwa masa depan yang baru tengah menghantui manusia sekarang ini? Sebuah dunia yang belum pernah dipikirkan sebelumnya, sebuah dunia dimana fenomena sosial baru akan bermunculan, sebuah dunia baru yang memerlukan adaptasi baru untuk menghadapinya.

Dunia dengan teknologi digital dan robotik yang terus berinovasi. Siapa yang menyangka bahwa tanpa ke perpustakaan kita bisa mengakses buku dari rumah melalui smartphone? Siapa yang menyangka seorang anak bisa mengetahui rumus phytagoras hanya dengan menonton Youtube? Siapa yang menyangka untuk pergi ke suatu tempat kita hanya memerlukan Google Map? Sesuatu yang ajaib jika kita bicara hanya dalam kurun waktu kurang dari 50, sejak 1960 internet baru berkembanng di dunia dan kita bisa melakukan hal ini (Kamaliah, 2020).

Butuh adaptasi, terutama dalam hal pendidikan untuk bisa menjamin masa depan manusia di masa depan. Harari mengatakan bahwa di masa depan, mungkin saja beberapa pekerjaan seperti guru, sopir, atau bahkan akuntan dan yang lainnya akan hilang (Harari, 21 Adab untuk Abad 21, 2018) Lalu jika seperti itu, untuk apa kita mengajari orang mengemudi atau menghitung kas keuangan perusahaan jika teknologi bisa mengerjakan itu semua di masa depan. Inilah yang disebut dengan irelevansi (ketidakrelevan) bagaimana cara kita menghadapi hal ini?

Kita harus kembali ke pertanyaan awal, untuk apa pendidikan itu diberikan? Kita bisa menjawab secara filosofis, bahwa pendidikan adalah untuk memerdekakan seseorang. Harus kita akui, bahwa jawaban ini terlalu abstrak. Maksud saya, apa yang dimaksud dengan manusia merdeka? Apakah manusia itu adalah sekelompok orang yang tidak bisa bekerja atau tidak memiliki peran di masyarakat karena memang keahlian nya tidak dibutuhkan? Atau seperti apa, nyaris kita tidak pernah mendiskusikan indikator manusia merdeka itu sendiri.

Ki Hadjar Dewantara sendiri pernah mengatakan, bahwa budi pekerti adalah hal yang penting. “Dengan adanya budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.” (Nugraha, 2020). Lalu apa hubungan antara budi pekerti dan masa depan?

Kita mengetahui bahwa ilmuwan di bidang sains sangat haus akan inovasi, hal baru dalam teknologi adalah ambisi besar mereka. Sementara mereka terus berlari memacu kereta mereka, apakah seorang guru akan terus jalan di tempat untuk mengajari anak-anak tentang sesuatu yang tidak akan pernah muridnya alami di masa depan? Kita harus berubah, dimulai dari sekarang.

Masa depan adalah dunia dimana informasi adalah hal yang sangat murah dan mudah di akses. Kita mundur 500 tahun ke belakang, untuk seseorang yang ingin mengakses ilmu pengetahuan, mereka harus pergi ke perpustakaan, berusaha mencari informasi dari tumpukan buku—perlu waktu yang lama hanya untuk tahu dan memastikan sesuatu. Untuk itu, pada masa yang demikian, perlu seseorang yang bertugas membaca semua itu, lalu menceritakan kembali hal itu pada orang lain, itulah yang kita sebut sebagai guru. Lalu di era sekarang, apakah hal itu masih relevan? Dengan berat hati, saya bilang tidak, kita butuh lebih dari itu. Youtube, Google, dan berbagai media belajar lain  adalah guru yang lebih banyak tahu dari manusia, kita harus akui itu.

Kita butuh guru yang bisa menjadi teladan, guru yang memiliki moral dan semangat untuk membangun budi pekerti dan mendorong siswa untuk belajar. Guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi, mereka adalah katalisator untuk mendorong anak mencari informasi sekaligus pembimbing moral dari si anak. Itulah guru yang akan menjamin masa depan anak-anak kita di masa depan.

Sekali lagi, Ki Hadjar juga pernah mengatakan, “Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang manfaat untuk keperluan lahir batin dalam hidup bersama.” (Nugraha, 2020), beliau sudah mengingatkan kita sedari dahulu, bahwa yang terpenting dari pengajaran adalah menumbuhkan keinginan adaptif anak untuk terus belajar. Terutama di era pandemi seperti ini, seorang guru harus bisa menciptakan semangat anak untuk terus belajar, mengingat sumber tersedia dimana-dimana, kuncinya adalah bagaiamana si anak bisa memilih apa yang harus dipelajari. Kita harus mendorong anak untuk mau membuka konten edukatif di Youtube daripada bermain game Free Fire misalnya.

Bagaimana caranya? Jawabannya juga ada dari ucapan Ki Hadjar Dewantara. “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”, setiap orang mesti memahami bahwa mereka adalah guru, dimanapun, kapanpun. Hal ini sangat relevan dengan situasi pandemi seperti ini—tanggung jawab guru di sekolah selain administrasi adalah mendorong setiap orang untuk menjadi guru. Sekarang guru memiliki tugas juga untuk menggerakan setiap orang tua untuk menjadi guru anaknya di rumah. Apakah ini hal yang mudah? Tidak, ini merupakan pekerjaan yang sangat sulit, tetapi bukan tidak mungkin bisa dilakukan.

Teknisnya, selain berdialog dengan murid, seorang guru harus juga berdialog dengan orang tua, misalnya rapat menggunakan Zoom meeting untuk membahas perkembangan anak. Ingat mendidik bukan hanya tugas guru, melainkan orang tua sebagai salah satu agen sosialisasi yang penting. Jika ada kendala teknis, seperti keterbatasan orang tua dalam menggunakan teknologi, orang tua tersebut bisa dipanggil ke sekolah untuk diberikan sosialisasi.

Hal apa yang bisa di edukasi kepada orang tua? Tentu banyak sekali, dimulai dari bahaya penggunaan internet terlalu lama, konten-konten berbahaya, dan berbagai potensi kegiatan belajar menggunakan media internet. Tidak semua orang tua peduli dan tahu akan hal ini—guru harus menjadi inisiator untuk mendorong orang tua melakukan hal ini. Itulah kenapa guru memiliki tugas yang sangat berat, selain mereka harus mengajar, mereka juga harus mencoba menggerakan berbagai aktor pendidikan untuk bekerja sama. Tetapi dengan begitu kita bisa memajukan bangsa ini, apalagi di tengah pandemi. Kita jadi paham pentingnya kolaborasi dan guru adalah garda terdepan untuk inisiator kolaborasi tersebut.

Maka sebenarnya yang menjadi pembeda guru dahulu dan sekarang adalah kemampuannya dalam menggerakan orang lain. Guru yang hanya memberikan informasi sudah ketinggalan zaman, guru yang baik adalah guru yang bisa mendorong berbagai aktor pendidikan, entah itu orang tua atau murid untuk mandiri dalam belajar dengan pendekatan komunikasi yang baik.

Memang hal itu tidak mudah, tetapi siapa yang mengatakan bahwa menjadi uru adalah hal yang mudah? Maka mengutip kembali Ki Hadjar Dewantara, beliau mengatakan bahwa “Guru adalah seorang pejuang tulus tanpa tanda jasa mencerdaskan bangsa”. Sedari dulu hingga sekarang peran guru sangatlah vital untuk kehidupan bermasyarakat, semoga di hari guru tahun ini guru-guru yang ada di Indonesia bisa lebih adaptif dan juga segala hal bentuk hak yang mereka harus terima segera ditunaikan oleh masyarakat dan negara. Sekali lagi, selamat hari guru, kalian hebat, kalian bisa, kalian luar biasa.

Daftar Pustaka

Harari, Y. N. (2018). 21 Adab untuk Abad 21. Manado: CV. Global Indo Kreatif.

Harari, Y. N. (2018). Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: Kepustakaan Penerbit Gramedia.

Kamaliah, A. (2020, November 11). inet.detik.com. Retrieved November 17, 2020, from https://inet.detik.com/cyberlife/d-5250135/siapa-penemu-internet

Nugraha, J. (2020, Mei 3). merdeka.com. Retrieved November 17, 2020, from https://www.merdeka.com/jateng/20-kata-kata-bijak-ki-hadjar-dewantara-yang-penuh-makna-dan-inspiratif-kln.html?page=2#:~:text=Memang%20kita%20harus%20kembali%20beberapa,sebagai%20anggauta%20persatuan%20(rakyat).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan