Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi
Di tahun 2019, lebih dari 3 juta orang menandatangani petisi Justice for Audrey. Kasus tersebut dilatarbelakangi oleh cuitan twitter yang mendadak viral. Tidak tanggung-tanggung, presiden, artis, hingga akademisi turut mengomentari dan ikut bersimpati dengan kasus yang menimpa Audrey. Namun nyatanya tiga juta orang dan tokoh publik tersebut semuanya terkena hoax—atau kita bisa menyebutnya sebagai salah satu fenomena post-truth.
Setelah beberapa hari viral, temuan polisi sama sekali tidak menemukan perkara yang disangkakan kepada pelaku, diantaranya paling parah yaitu menjedotkan kepala Audrey ke aspal hingga memasukan jari kepada kemaluan Audrey. Padahal netizen dan tokoh publik sudah menghakimi pelaku, ternyata fakta lapangan tidak demikian.
Fenomena post-truth dicirikan dengan sikap masyarakat yang tidak lagi mementingkan kebenaran dari suatu isu, melainkan emosi—jadi semakin emosional sebuah isu, seakan-akan isu tersebut terlihat benar. Karena mengundang simpati, justru isu tersebut malah menumpulkan logika.
Secara etimologis post artinya pasca/sesudah sementara truth artinya kebenaran.[1] Kemudian Haryatmoko, dosen Universitas Sanata Dharma dan Universitas Indonesia yang konsen membahas isu ini mengartikan post-truth sebagai fenomena dimana orang terpengaruh oleh sebuah berita yang sensasional dan emosional.[2] Berikutnya post-truth tidak diartikan sebagai kebohongan secara mutlak—seringkali yang terjadi adalah ketika sebuah pesan mengaburkan perbedaan antara kebenaran dan kebohongan.[3] Sementara itu hoax adalah anak kandung dari post-truth, dimana berita bohong ini menyelinap masuk ke dalam kebenaran karena sifatnya yang sensasional dan emosional.
Ini tentu sangat berbahaya, terlepas orang berpikir bahwa masyarakat kita masih memiliki simpati, tetapi simpati yang dilakukan bersifat nihil atau bahkan destruktif. Disebut nihil karena ternyata simpati tersebut tidak menimbulkan dampak berarti bagi korban dan pelaku dan disebut destruktif karena sikap menghakimi seseorang yang belum tentu bersalah tentunya merugikan pihak tersebut. Beramai-ramai netizen memajang foto pelaku dengan narasi kebencian—bukankah ini berdampak negatif pada mereka.
Jika kita telusuri dari sejarah post-truth, fenomena ini merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi. Dulu sumber informasi hanya dari pemerintah, segala informasi mereka dianggap benar, dan masyarakat tidak boleh memberikan informasi tandingan.[4] Berikutnya, setelah pencerahan di abad ke 17 jurnalisme modern mulai muncul. Beberapa orang di warung kopi Inggris sering melakukan percakapan gosip tentang berbagai hal, dan kegiatan ini menjadi begitu populer.[5] Kemudian di bar-bar Amerika juga berkembang penulisan berita dari orang-orang musafir yang singgah di bar, ternyata orang menyukai pesan yang disampaikan dari satu tempat ke tempat lain.[6]
Sekarang jurnalisme jauh berkembang, dengan hadirnya internet setiap orang bisa memproduksi dan mempublikasikan informasi di media sosial. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, penulis buku The Elements of Journalism, menanggapi fenomena ini dengan menambahkan satu elemen tambahan dari 9 elemen jurnalistik yang mereka buat, yaitu warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam memproduksi berita atau kita kenal dengan jurnalisme warga.[7]
Masalah utama dari jurnalisme warga adalah verifikasi informasi. Karakteristik mereka yang notabennya bukan jurnalis, tentu memiliki kesulitan dari segi waktu dan kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Oleh sebab itu, menurut Kovach dan Rosenstiel, tugas utama media massa di era sekarang adalah verifikasi.[8] Tugas ini dari dahulu sudah ada, tetapi di era sekarang kemampuan ini jauh harus lebih cepat daripada sebelumnya.
Melihat fenomena tersebut, maka dua solusi perlu dilakukan oleh dua pihak, yaitu netizen dan media massa. Pertama netizen, mereka harus sadar bahwa selalu ada kemungkinan salah dalam sebuah berita, apalagi jika berita tersebut datang dari sumber yang kurang kredibel, misalnya dari tweet seorang teman atau bahkan argumen seorang publik figur sekalipun.
Ingat bahwa selalu ada kepentingan di dalam berita, dan sebaik-baiknya kepentingan adalah yang ingin menunjukan kebenaran. Bias yang sering mempengaruhi hal ini adalah emosi yang datang dari identitas, misalnya jika berita itu mengandung ancaman pada identitas tertentu, berita tersebut langsung menyentuh emosi dan dampaknya mengurangi logika. Jangan sampai kita terkecoh dengan proses tersebut. Seberapa emosional berita tersebut, kebenaran tetap yang utama.
Beberapa tips yang bisa dilakukan adalah jangan pernah membaca berita dari satu sumber dan pastikan juga sumber tersebut kredibel. Selalu melihat kemungkinan sebaliknya dan kepentingan dari berita, apakah berita ini memiliki kepentingan propaganda atau untuk kepentingan menegakan kebenaran.
Kedua untuk media, pengantut disrupsi digital berpikir bahwa peran media akan hilang, karena semua orang bisa mengakses berita tanpa media, tetapi jelas pemikiran ini salah. Justru di era post-truth media sama pentingnya seperti dulu. Hanya saja memang pekerjaan ini menjadi lebih menantang.
Media harus lebih cepat melakukan verifikasi data, karena itulah kekuatan media yang tidak dimiliki oleh massa. Meski mungkin kewenangan media tidak sebesar kepolisian dalam penyelidikan, justru disitulah media diandalkan masyarakat untuk mengungkapkan yang tidak diungkapkan oleh instansi yang berkepentingan.
Meski sulit beradu cepat dengan viralnya media sosial, media massa harus segera merilis berita yang benar setelah melakukan verifikasi, karena menurut penulis itulah satu-satunya cara melawan post-truth. Kedepannya setelah masyarakat tertipu kasus misalnya, kemudian beberapa hari media meluncurkan fakta lapangan, orang akan semakin percaya kepada media dan tentunya mempengaruhi pola pikir mereka untuk setidaknya menunggu media menulis berita yang tepat atau melakukan verifikasi mandiri sebelum akhirnya berpendapat di media sosial.
Terakhir mengutip John Seely Brown, seorang peneliti organisasi mengatakan bahwa apa yang kita butuhkan dalam ekonomi baru dan budaya komunikasi baru adalah akal yang sehat, kita membutuhkan itu untuk kestabilan dari dunia yang semakin gila, dan jurnalis membutuhkan kemampuan untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang untuk sampai akhirnya bisa mencapai inti kebenaran. Dan akal sehat tersebut didapat dari sebuah sikap verifikasi sebelum emosi yang dilakukan netizen dan dibantu oleh media massa.
[1]
Manser, 1996, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Oxford: Oxford
University Press.
[2]
Haryatmoko, 2017, Ketika Emosi Dominasi Politik. Kompas.Id, diakses dari
https://kompas.id/baca/opini/2017/11/15/ ketika-emosi-dominasi-politik/.
[3] Ignas
Kalpokas, 2018, A Political Theory of Post Truth, Lithuania: Palgrave
Macmillan.
[4] Yuval
Noah Harari, 2018, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, Tanggerang
Selatan: Alvabet.
[5] Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel, 2014, The Element of Journalism, New Yotk:
Three Rovets Press.
[6]
Ibid., Bill Kovach dan Tom Resentiel.
[7]
Satrio Arismunandar, Sembilan Elemen Jurnalisitik (Plus Elemen ke-10), diakses
dari academia.edu.
[8] Ibid., Bill Kovach dan Tom Resenstiel.
Komentar
Posting Komentar