Cerpen: Biarkan Semesta Bekerja Untukmu
Sebuah
pagi yang menyiksa, setelah malam yang menderita. Nyaris tidak ada
senyuman—sejak dimana saya pergi dan menyerah. Saya kalut dan tersiksa oleh
ekpestasi dalam pikiran saya terhadapnya—Dinda. Rindu yang berat ini tersalurkan
dalam lagu dan puisi, tetapi tidak pernah cukup untuk membangun senyum saya.
Penolakan memang sangat menyakitkan, bahkan jika tidak diucapkan—hanya
tersalurkan melalui sikapmu—Dinda.
Sebuah
alasan bagus untuk bepergian, menghilang dari peradaban, berlari sampai nanti
sampai lupa. Tujuannya adalah alam liar—meski belum pernah terjadi sebelumnya,
tetapi apa salahnya mencoba.
Saya
putuskan untuk menghubungi beberapa teman melalui telepon seluler.
“Kita
ke gunung minggu ini”, di dalam chat
line saya memulai percakapan.
“Wahhhhh,
gila. Ayo ayo”, beberapa dari mereka antusias.
“Ada
yang pernah naik gak?”, ucap saya dengan berharap, agar perjalanan tidak
terlalu membahayakan tampaknya memang dibutuhkan orang piawai dalam hal ini.
“Ndak
ada, bahaya juga sekarang musim hujan”, celetuk yang lainnya.
Setelah
terus mendapati diri dalam beberapa percakapan yang alot dan menjemukan, saya
menyadari bahwa tampaknya betul, terlalu bahaya untuk mendaki di bulan
September—hujan, medan licin, dan beberapa masalah membayangi saya—mungkin
beberapa teman saya juga.
Tetapi,
beberapa teman saya meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa—sungguh, bahkan
gunung yang kita daki tidak setinggi gunung yang lain; tidak sebahaya gunung
lain; dan track-nya dikenal
mudah—gunung Gede, Cianjur, Jawa Barat. Setelah mendapati diri dalam
pertimbangan berat antara bahaya dan berlari. Saya memutuskan untuk berlari,
setidaknya bahaya itu tidak seberat sakit hati yang saya derita.
Sepuluh
teman kelas di kuliah yang saya ajak, terhitung hanya lima yang berangkat. Tiga
orang tidak berminat; satu orang kehabisan uang; dan satu lagi membatalkan
perjalanan di hari terakhir keberangkatan—meski begitu dia tetap meminjamkan
sebuah tenda yang sangat berguna disana.
***
Berangkatlah
kami dari Jakarta, pada malam hari, dan berharap bisa sampai di tujuan
pagi-pagi. Hutagalung, Nugroho, Nurvandi, Utomo, dan Saya sendiri, memutuskan
medaki—tanpa pengalaman, peralatan, dan teman yang bisa diandalkan.
“Abis
ini kita kemana”, Ucap Hutagalung. Kami mulai bingung, setelah turun dari
kereta.
“Itulah
kenapa Tuhan menciptakan mulut, artinya Kau harus bertanya”, Jawab Nugroho, bijak
sekali terdengarnya. Seringkali dari kita susah untuk bertanya, padahal manusia
telah membuat aturan main yang baik untuk bertanya—menganggukan kepala,
tersenyum, lalu bicara dengan sopan.
“Permisi
Pak, arah Gunung Gede kemana ya?, Tanya saya kepada salah satu Tukang ojek online yang berbaris disepanjang pintu
masuk stasius Bogor.
“Oh
itu de”, logat Sunda pria itu sudah terdengar, saya sedikit tersenyum, begitupun
beberapa teman saya. “Kalau untuk kesana, pertama Ade-Ade naik angkot ini,
kemudian naik angkot itu, setelah itu cari angkot yang lain lagi”, ahh itu dia,
kami tidak mengerti. Walaupun begitu, setidaknya kami mengerti, bahwa yang
lebih praktis adalah menyewa angkot.
***
“Itu
dia puncaknya”, teriak Nurvandi, tampaknya dia sangat bersemangat. Menurut
saya, dia juga satu-satunya orang yang bisa diharapkan dalam perjalanan
ini—fisiknya yang ideal, tinggi besar berisi, mungkin bisa lebih baik dalam
mendaki.
“Awas
ya Nugroho, kalau di perjalanan Kau meringis, ku tinggal dan ku tertawakan
Kau”, suara itu terdengar sangat lucu, suara dari Utomo, seorang pria bertumbuh
gempal yang selalu bercerita pengalaman hebatnya sewaktu pramuka, sebuah
pengalaman alam liar yang menakjubkan—kurang lebih itu yang selalu dia
ceritakan.
Sementara
itu yang lain mengobrol dengan ejekan-ejekan yang mengarah ke Nugroho, pria
kecil yang sombong, seorang pelawak ulung, yang setiap tingkahnya selalu
menjadi lelucon—Saya hanya melihat dan sesekali tersenyum. Dinda selalu ada di
pikiran, bahkan dalam pelarian yang jauh dan mungkin berbahaya, Dinda selalu
ada disana, dipikiran dan disini, di dalam hati.
***
“Stop
dulu, ini mau kemana?”, ungkap petugas Gunung Gede di Pos 1, sembari menelitik
penampilan kami.
“Mau
naik gunung Pak”, ungkap saya dengan lantang.
“Serius
mau naik gunung, masa penampilannya kayak gitu”, Saya tidak mengerti apa yang
salah.”Itu teman kamu, kok pakai sandal” sembari menunjuk pada Hutagalung dan
Nurvandi.
“Inikan
sandal gunug Pak”, Hutagalung membela diri.
“Ya
kamu pikir medan nanti semudah itu, kaki kamu bisa kesakitan kalau pakai sandal
gitu, emang tidak ada yang meberitahu kalian”
“Tidak
Pak, saya kira bisa”, ungkap saya.
“Ya
tidak lah, coba yang sudah naik gunung siapa disini?”
“Tidak
ada juga Pak”
“Aduh,
bagaimana ceritanya, nekat, tapi gak persiapan—turun lagi sana, bahaya tau,
perjalanan kesana itu bisa 8 jam, kalau terjadi apa-apa bagaiamana. Persiapan
kalian minim sekali, kami tidak mau ambil risiko”, ungkap petugas itu.
Tiba-tiba
Nugroho maju kedepan menghadap ke petugas dan berbalik arah ke arah kami. “Oke
temen-temen, karena kita sudah sejauh ini, tidak ada pilihan lain yang bisa
kita lakukan, selain turun lagi, terlalu berbahaya”. Ah sial, saya kira petuah
bijak akan keluar lagi dari mulutnya, tetapi memang saya menyadari kita belum
siap—ke gunung menggunakan sandal, menggunakan tas kampus, bahkan tas selempang
besar, dan bawaan besar di tangan kiri dan kanan. Setiap orang yang melihat
pasti berpikir kita akan mendirikan tenda di bukit yang rendah, bukan mendaki
sebuah gunung.
Pria-pria
cupu ini berjalan turun dan berhenti di sebuah kedai, kami pun menyadari bahwa
mendaki gunung tidak semudah yang dipikirkan, kami lebih tersadar ketika setiap
orang yang kami temui sangat siap dari segi peralatan, dan kami—bahkan setiap
orang tertawa ketika kami bilang ingin mendaki gunung Gede—miris.
***
Sebuah
keajaiban muncul, saya melihat ada tempat penyewaan peralatan gunung di sekitar
kantor pendakian. Tentu hal itu memicu kembali semangat kami—disewalah dua buah
sepatu gunung, dan satu tas gunung. Penyewa yang berhati baik, dengan senang
hati menyusunkan peralatan yang kami bawa untuk dimasukan dengan efisien ke
dalam tas.
Petugas
administrasi gunung di Pos 1 tidak bisa menolak kami lagi kali ini, meski tidak
ada yang berpengalaman dalam kelompok kami, setidaknya kami bisa mengikuti
orang yang berpengalaman lain yang mendaki gunung. Saya tersenyum, begitupun
yang lain.
***
Awal
perjalanan selalu menyenangkan, diantari kami berlari dengan cepat dan berharap
cepat sampai tujuan. Begitupun saya—sangat yakin bahwa pendakian ini akan
sangat menyenangkan dan mudah untuk dilalui—saya berjanji bahwa ketika di
puncak sana, saya akan menuliskan sebuah ungkapan cinta untuk Dinda, saya
janji.
Baru
sekitar dua puluh menit kami berjalan, kami sangat kelelahan, dan memutuskan
untuk berhenti sejenak.
“Berapa
menit lagi sampai disana”, ungkap Elprio dengan keringat yang terlihat
disekujur wajah dan bajunya.
“Ya, kurang lebih tujuh jam setengah lagi lah”, ungkap
saya.
“Kayaknya, kita gak bakalan sampe puncak deh, kita
udah ketinggalan jauh rombongan, terus baru dua puluh menit udah cape kayak
gini”
“Apaan si, baru segini udah cape, tadi ngeledek gue loe”, celetuk Nugroho sembari berdiri
dengan tongkat yang dia temukan beberapa saat yang lalu. “Ayo, dikit lagi ada
air sumur, cuci muka dulu disitu”, siapa sangka orang yang dikira paling lemah,
paling bisa diandalkan kata-katanya disaat-saat seperti ini.
Perjalanan
dianjutkan, beberapa barang Utomo dibawa oleh Nurvandi dan saya, tampaknya dia
luar biasa kelelahan—bahkan tanpa barang-barang yang dia miliki, dia tetap
merasa kelelahan. Disepanjang jalan dia terus menggerutu bahwa seharusnya dia
berolahraga sebelum menaiki gunung ini—dan itu menjadi momen untuk Nugroho
mencecar Utomo dengan cemoohannya, lucu sekali.
Belum
seperempat perjalanan, kami merasa sangat luar biasa lelah. Tidak seperti yang
kami bayangkan, pendakian ini luar biasa melelahkan, apalagi beberapa dari kami
masih menggunakan peralatan yang dibuat bukan untuk pendakian. Saya sendiri
merasa sangat tersiksa dengan tas kampus yang sering saya gunakan, tali
pinggangnya kecil dan itu sangat menyakitkan diwaktu yang lama. Belum lagi
beberapa barang teman yang dititipkan, kami merasa bahwa tampaknya tidak bisa
sampai puncak.
Seringkali
kami berhenti, sangat sering, kami bisa berhenti setiap 10 menit. Tetapi
untungnya di perjalanan, kami bertemu beberapa orang yang turun mendaki, mereka
selalu memberi semangat, dan jika ditanya berapa menit lagi untuk sampai
kesana, mereka memiliki jawaban yang berbeda. Ada yang bilang dua jam lagi, 4
jam lagi, bahkan ada yang bilang 7 jam lagi, dan kami berpikir tampaknya tidak
memiliki kemajuan. Pada akhirnya tidak ada yang kami percaya dan kami
memutuskan untuk turun.
“Turun
saja ya, percuma juga masih jauh tampaknya”, Utomo dan Nugroho tampaknya
sekarang memiliki pemikiran yang sama.
“Sedikit
lagi, di atas ada air belerang yang hangat, setidaknya kita bisa sampai disana
dulu”, ungkap saya meyakinkan.
“Apa
Kau ndak sadar, dari tadi katanya
tempat itu sudah dekat, tapi ndak ada tanda-tanda akan sampai”, kali ini
Hutagalung bersuara, saya padahal yakin dia masih kuat berjalan.
“Sedikit
lagi, percayalah sedikit lagi”, saya mencoba terus meyakinkan mereka, ini
perjalanan harus sampai, demi Dinda.
Saya
senang Nurvandi memiliki semangat yang sama, meski jarang bicara dia terus
berjalan paling depan dan paling tidak terlihat lelah diantara kami. Saya
sendiri orang paling semangat tetapi juga sangat kelelahan, beberapa kali saya
berjalan dibelakang grup sebelum Utomo yang memang selalu paling belakang.
Beberapa kali kami menarik Utomo untuk terus berjalan, meski terkadang kami
menyadari bahwa tampaknya memang sudah tidak bisa dipaksakan.
***
Terlihat
asap putih dari kejauhan dari bawah, tidak salah lagi itu adalah pemandian
blerang. Kami sedikit tersenyum, ada juga yang berteriak, “Ahhhhhh, itu dia”,
sembari berlari. Kaki-kaki yang mulai lelah, perlahan seperti mendapat mukzizat
untuk berlari—mungkin itu adalah kekuatan tujuan, dimana sedikit saja terlihat,
memacu kita bisa lebih kuat lagi.
Sore
itu, sekitar pukul 16.30, kami sampai di sungai blerang Gunung Gede. Luar
biasa. Kami mandi dan berendam diatas air hangat, menikmati segala pemandangan
yang ada di depan mata—awan-awan bergerak lambat dan matahari belum juga mau
menghilang, indah sekali.
Kami
sangat segar dan siap untuk kembali berjalan, tujuan berikutnya adalah Kandang
Badak. Menurut informasi, tempat itu adalah tempat mendirikan kemah sebelum
mendaki sampai puncak. Letaknya sekitar 80% dari ketinggian Gunung Gede. Siapa
sangka, orang-orang cupu ini, tanpa pengalaman, dan peralatan—ditertawakan
sepanjang perjalanan sebentar lagi akan menaklukan gunung ini.
***
Saya
menjatuhan semua barang bawaan dan tubuh saya ke atas tanah, begitupun yang
lain. Ya, kami telah sampai di kandang Badak, banyak yang mendirikan tenda
disini. Tetapi kami tidak mau terburu-buru, kami ingin tiduran sejenak.
Iya,
masalah tidak pernah berhenti datang dalam hidup—setiap masalah selesai
menuntun pada masalah lain untuk diselesaikan. Lucu sekali, tidak ada
seorangpun diatara kami yang bisa memasang tenda. Utomo yang berpengalaman
dalam pramuka, ternyata tidak bisa memasang tenda gunung, dia hanya bisa
memasang tenda terpal panjang. Kebingungan kami yang menurut saya sangat konyol
disaksikan oleh sebagian orang yang mendirikan tenda di Kandang Badak.
Untungnya
ada seseorang baik hati yang menawarkan bantuan, seorang pria dengan penampilan
urakan, rambut panjang dibiarkan terurai dengan rokok ditangan kanan—ciri khas
anak gunung.
“Biar
saya, bantu, tampaknya kalian tidak bisa memasag tenda ini”, ucapnya sembari
melemparkan rokok yang dia pegang. “Di gunung seperti ini jangan canggung untuk
meminta bantuan, kita semua saudara, jangan berpikir untuk melakukan hal ini
sendirian”, petuah itu kami ingat, tidak ada yang menyangka sesorang penampilan
urakan seperti itu berhati mulia. Belum lagi pria yang kami tidak sempat Tanya
namanya siapa, memberikan terpal untuk alas kami tidur. Ahhh, baik sekali.
***
Di
malam yang dingin, dibawah langit malam cerah, rembulan tanpa malu menampakan
diri. Dinyalakan api untuk menghangatkan diri, secangkir kopi menemani, kami
merasa beruntung merasakan hal ini. Meski belum selesai, tempat ini merupakan
tempat untuk rehat—kita memang perlu rehat untuk bisa berjalan lebih jauh dan
cepat. Tapi tunggu, tampaknya tidak perlu cepat, yang penting tidak diam dan
berhenti.
Saya tersenyum, dan menuliskan beberapa puisi untuk
Dinda di atas secarik kertas.
“Seandainya”
(Kandang Badak,
Gunung Gede, 2018)
Mencintaimu
seperti pendakian, tanpa persiapan hanya memiliki tujuan.
Dinda, kata “Seandainya”,
hanya itu yang selalu kuingat,
Seandainya kau
tersenyum padaku,
Seandainya kau
bicara padaku,
Seandainya kau
bersamaku, dan
Seandainya kau
mencintaiku.
Kata itu
meyakinkanku dalam bimbang, kata itu pula yang selalu jadi bahan bakar untuk
berjuang.
Sama saja dengan
pendakian ini, daku hanya butuh kata “Seandainya”,
Seandainya ku
berada diatas sana,
Seandainya kaki
ini bisa lebih kuat,
Seandainya ku bisa
bangkit dan terus bergerak
Seandainya…
Tetapi,
sebelum puisi ini benar-benar rampung, tampaknya kepala ini kehabisan diksi
untuk di tulis. Sementara itu teman-teman lain berkumpul membentuk sebuah
lingkaran di depan api unggun, sembari menyanyikan lagu-lagu—damai dan indah. Tidak
pernah terpikir bahwa kesederhanaan terkadang adalah panggilan hidup manusia
paling mewah, tanpa internet, tanpa beban tugas—kita hanya membawa yang kita
butuhkan, dan itu cukup.
Hari
semakin malam, badan ini perlu istirahat, besok adalah hari yang akan lebih
melelahkan, track-nya dikatakan lebih
sulit dari sebelumnya, barangkali itu yang kami simpulkan dari percakapan
bincang malam kami hari ini.
***
Mata
ini terbuka, setelah terlelap kurang lebih 4 jam, alarm alam membangunkan tidur nyenyak kami. Suara-suara burung yang
bawel, suara air sungai yang damai, dan angin pagi yang menggerakan daun-daun
pohon, menciptakan harmoni suara alam yang menggairahkan.
Hal
ini juga menandakan bahwa saatnya kami melanjutkan perjalanan. Semuanya
bersemangat pagi itu, seperti segala permulaan, setiap orang biasanya memang
melakukannya dengan semangat, dan di perjalananlah sebenarnya semua semangat
itu di uji, karena memang di perjalanan itulah proses perjuangan itu terjadi.
Perjalanan
memang menjadi lebih berat dari sebelumnya, track-nya
lebih terjal dari sebelumnya, tetapi semangat kita juga seperti itu. Terlihat
dari kejauhan puncak itu, setiap saya lelah, saya selalu percaya satu kata “Seandainya” hanya itu, “Seandainya saya berada disana”, menjadi
mantra yang luar biasa, dan tak terasa, saya telah sampai disana, bersama yang
lainnya.
Kembali
saya ambil puisi sisa semalam, yang memang belum sempat dirampungkan. Teringat
kembali semua seandainya yang saya tangguhkan pada gunung ini, mengingatkan
saya pada seandainya yang kutangguhkan pada Dinda. Pena ini langsung menjadi
saksi seandainya yang baru. Maka puisi itu kulanjutkan,
Dinda, seandainya
Kau ada disini,
Dan Seandainya
kita bisa melihat ke bawah bersama, maka Aku akan berkata,
“Dinda gunung ini
tidak seindah semua seandainya yang ku harapkan darimu”.
Rabu, 22 Mei 2018
Tulisan ini telah ditayangkan di blog Pusdima di tahun 2018. Cerpen ini terinspirasi dari pendakian pertama penulis menuju Gunung Gede pada tahun 2017. Sungguh pengalaman yang mengagumkan dan akan penulis ingat sepanjang hayat.
Berkarya dengan kata, berkata dengan karya ✨ naisss ��
BalasHapussadiss
BalasHapus