Cerpen: Drama Mahasiswa Ojek Online
Pagi-pagi sekali sudah saya buka mata ini, tepat pukul 04.30—berbarengan dengan adzan subuh berkumandang. Tidak, bukan karena saya terbiasa shalat subuh tepat waktu, melainkan tuntutan perut. Iya betul, saya putuskan untuk bekerja sebagai ojek online, setelah orang tua saya tidak memberi amunisi untuk hidup di kota ini—Jakarta, kota yang kejam, bahkan jika saya menangis kelaparan di dalam kamar, tidak akan ada yang peduli, kecuali tikus got yang terus berlarian di dalam kosan sempit ini.
Sengaja saya bekerja sepagi mungkin—jam 10 pagi nanti akan
ada kelas pengantar ekonomi dan saya tidak boleh terlambat. Bekerja sepagi
mungkin juga ternyata bermanfaat bagi kepribadian saya—shalat subuh tepat
waktu, meski tidak berjamaah; mengojek tanpa macet; dan tentunya dapat sedikit
menikmati udara bersih di kota kotor ini. Betul, kota ini sudah terlalu kotor
dan tidak ada seorangpun khawatir akan hal itu—setelah membaca koran beberapa
hari yang lalu, dikatakan bahwa 7 juta orang terbunuh akibat polusi udara, saya
kaget dan memutuskan untuk berhenti sebentar di taman, ketika mengojek, untuk
mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. Sungguh, saya masih muda dan tidak mau
harus mati cepat gara-gara menghirup racun di kota ini.
Sudah kuduga, sepagi ini pesaingku belum pada bangun—tanpa
harus menunggu lama satu orderan meluncur ke aplikasi. Safira namanya, tujuan
SMPN 252 Jakarta, jarak tempuh 8 km dari Jl. Pramuka, harganya 20 ribu—anak
SMP, berangkat terlalu pagi, pasti dia belum mengerjakan PR, pikirku. Dan betul
saja, disepanjang jalan anak itu terus berbicara melalui ponselnya dengan
seseorang, membahas PR-nya.
“Agak ngebut ya Pak”, ungkap anak itu.
“Iya de, tetapi pake
helm dulu ya, saya takut jatuh”, saya mencoba meyakinkan agar anak itu mau menggunakan
helm, yang sedari awal sudah saya tawarkan.
“Tidak usah Pak, deket kok, lagi pula tidak ada polisi
sepagi ini”, mendengar itu, saya hanya mengangguk.
Terdengar ungkapan merdu, “Iya sayang”, saya sedikit
tersentak. Tetapi tampaknya ungkapan itu ditunjukan untuk seseorang di dalam
telepon. Tampaknya selama perteleponan itu berlangsung, anak SMP yang mungkin
kelas 9 itu, sedang berbincang dengan kekasihnya. Pria dalam telepon itu
tampaknya dengan senang hati memberikan hasil PR-nya untuk anak itu. Dasar
anak-anak remaja, pikir saya. Mereka mendewasa terlalu cepat, bahkan pria
dewasa seperti saya masih takut dipanggil sayang.
Sampailah ditujuan, pukul 05.32, seorang anak
laki-laki ditelepon tadi sudah menunggu. Terlalu pagi untuk sampai disekolah,
tetapi tampaknya tidak bagi dua insan yang sedang jatuh cinta. Pasangan muda
atau mungkin saya bisa menyebutnya terlalu muda, berjalan menuju gerbang yang
belum dibuka dan menghilang di samping pepohonan depan sekolah. Dasar anak
remaja, sekali lagi, kali ini menggerutu dengan menggelengkan kepala.
Setelah menunggu beberapa menit, masuk lagi orderan
menuju aplikasi. Kali ini tampaknya dari sebuah perumahan yang berjarak kurang
lebih 500 meter dari tempat saya berdiri. Jalanan yang sudah mulai ramai di Ibu
kota, menandakan bahwa manusia-manusia di kota ini segera harus bergegas menuju
tempat kerja.
Masuklah saya menuju perumahan yang sudah tampak sepi
sedari pagi, enak sekali tampaknya tinggal dirumah sebesar dan sehijau ini.
Terletak jauh dari keramaian, di penuhi pepohonan, taman, dan sarana olahraga.
Kota ini memang tidak adil, tetapi tidak ada yang sadar atau mungin kelewat
pasrah—intinya sama saja.
Rumah pagar hitam, ini tampaknya tujuan saya. Terlihat
beberapa pria dan wanita dewasa sedang bersalaman dengan seorang kakek yang
mengenakan jubah putih dan beberapa koper ditangganya. Saya pun dipanggil,
“Disini Pak”, ungkap salah seorang dari mereka.
“Saya titip Ayah saya, alamatnya sesuai aplikasi ya
Pak”, ungkap wanita dengan tubuh gempal dengan daster motif bunga. Saya hanya
senyum dan mengangguk.
Dipapahlah kakek itu menaiki motor saya, sembari
menitipkan beberapa koper di depan motor. Tetapi karena sedikit hujan, saya
diminta untuk mengambil dan mengenakan jas hujan. Karena saya hanya punya satu,
tentu saya berikan terhadap kakek itu, lagipula hujannya tidak terlalu deras.
Saya berpikir, siapakah kakek ini, kenapa da harus
naik ojek—apalagi ini sedang hujan. Saya lihat mobil putih besar terparkir di
depan rumah, apakah tidak ada yang bisa menyetir atau bagaimana. Tetapi rasa
penasaran saya sirna begitu kakek itu kembali dipapah menaiki motor saya.
Kakek itu memeluk erat saya dari belakang, tampaknya
dia sudah sangat tua. Kami berangkat diiringi gupaian tangan dari para pria dan
wanita yang berjumlah 8 orang dari teras depan rumah. Disepanjang perjalananan
kakek ini benar-benar bawel, dia terus bercerita tentang pengalamannya—sewaktu
menjadi dosen di universitas; pemimpin pengajian besar; dan seorang pengusaha
sukses. Entah itu benar atau tidak, sejujurnya saya sedikit tidak peduli.
Sampailah saya ditujuan sesuai yang tertera di
aplikasi. “Disini ya Pak”, ungkap saya, sembari menghentikan motor.
“Ini maszid Al Mutaqqin ya?”, kakek itu malah balik
bertanya.
“Wahh, saya tidak tahu pak, saya hanya mengantar
sesuai yang tertera di aplikasi”, saya berpikir, ini pasti akan menjadi
masalah.
“Tapi saya mau ke masjid Al Mutaqqin, saya harus
mengisi ceramah”, saya bahkan tidak mengerti apa yang kakek ini bicarakan,
entah itu benar atau tidak, yang pasti saya mulai agak panik.
Akhirnya saya mencoba menelepon orang yang memesan
orderan ini, barangkali mereka bisa lebih memberikan informasi yang jelas.
Namun sial, sama sekali tidak ada jawaban, dasar keluarga brensek pikir saya. Karena
merasa beban moral yang sudah saya ambil, dengan berat hati saya bawa kakek itu
kembali menaiki motor dan terus bertanya kepada beberapa orang yang saya temui
dimanakah letak maszid Al Muttaqin. Setelah mendapat beberapa petunjuk,
sampailah saya di sebuah mushola kecil. Kakek itu terus berkata bahwa bukan itu
tempatnya, tetapi saya cukup yakin, bahwa itu memang tempatnya.
Masuklah saya menuju mushola itu dan bertemu dengan
beberapa orang yang menunggu di dalam, saya menjelaskan bahwa ada seorang kakek
yang ingin pergi ke tempat ini. Dan betul untungnya mereka mengetahui kakek
itu, dibawalah beberapa barang kakek itu ke
mushola . Beberapa dari mereka membayar saya dan memberikan uang tip
sebesar 10 ribu dan berkata pada saya, bahwa tidak ada kasih sayang yang paling
dalam dan besar selain orang tua, meski mungkin engkau membuangnya ketika
mereka sudah tidak berguna.
Saya tidak mengerti apa yang terjadi dan maksud ucapan
mereka, tetapi yang pasti saya teringat orang tua saya. Sedang apakah mereka
sekarang, bahkan jika mereka sudah tidak memberi saya uang beberapa bulan ini, pasti
bukan karena mereka tidak peduli, mungkin mereka lebih membutuhkannya daripada
saya—lagi pula tampaknya saya sudah semestinya harus mandiri.
Tidak terasa, cukup lama saya berkeliling mencari
tempat tujuan si kakek. Waktu sudah pukul 08.00, saya harus bergegas pulang,
dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Meski hanya mendapat 40.000 pagi ini,
tampaknya bisa cukup untuk makan hari ini. Saya cukup senang, setidaknya pagi
ini saya sudah berbuat baik pada orang tua.
***
Kelas terasa menyenangkan hari ini, dosen menjelaskan
pengantar ilmu ekonomi, yang membahas apa yang melatarbelakangi tindakan
ekonomi seseorang. Sungguh, tampaknya saya punya jawaban berbeda dari yang
tertulis di buku. Tindakan ekonomi seseorang lebih dipengaruhi oleh
keterpaksaan dan kepepet, saya selalu percaya bahwa sulit bagi seseorang untuk
bergerak tanpa kepepet dan kuncinya adalah bukan membuat kita mau bergerak
melainkan membuat diri kita harus bergerak. Harus karena jika tidak kita bisa
mati, carilah penderitaan itu, dan nikmati. Setiap hal yang kita usahakan akan
membentuk kita, kurang lebih itu yang saya pelajari hari ini, dan tidak semua
dijelaskan oleh dosen. Hari-hari dikelas menjadi sangat menyenangkan dan penuh
keseriusan, mungkin itu karena inilah satu-satunya hiburan bagi saya.
***
Sore hari dikampus adalah tempat menyenangkan untuk
sekadar nongkrong di depan fakultas, sembari memainkan gitar, dibawah pohon
rindang. Bersama teman-teman yang lain, kita nyanyikan sebuah lagu berjudul “Pesawat
Tempur”, karya Iwan Fals.
“Penguasa,
penguasa berilah hambamu uang, beri hamba uang, beri hamba uang”, nyaring
sekali, seolah itulah doa paling keras dan paling kami inginkan di dalam
hari-hari kami.
Sore itu, saya membayangkan Nona, wanita yang beberapa
bulan ini terus saya pikirkan. Kita dekat, sangat dekat, saya tertarik padanya,
tampaknya dia juga sama. Tapi sungguh saya tidak bisa, tidak untuk saat ini,
masih ada perut sendiri yang harus diisi—bagaimana jika Nona ingin jajan, mau
saya kasih apa, gorengan dingin. Itulah mungkin yang menyebabkan saya pergi
dulu jauh dari Nona. Dia cantik, baik, cerdas dan tampaknya tidak terlalu
peduli dengan uang, tetapi saya peduli, bagi saya bagaimana Nona bisa bahagia
dengan saya, tanpa itu.
Sepulang dari kampus, saya menyalakan aplikasi ojek
online kembali—sembari pulang lumayan juga kan, pikir saya. Handphone saya berdering, tanda order masuk, saya kaget bukan
kepalang, Nona—betul Nona Puspita, nama gadis itu. Saya mencoba meyakinkan
bahwa banyak nama Nona di kampus ini. Tetapi keyakinan saya salah, itu memang Nona,
seorang gadis yang kucoba hindari untuk beberapa waktu ini. Dia mengenal saya,
tapi tidak bicara, begitupun saya.
***
Dijalan yang dingin karena gemericik hujan, tidak ada
sepatah katapun terucap dari kami berdua. Saya mengerti perasaan Nona, pasti
dia sangat kecewa, tetapi saya tidak punya pilihan. Orang tuanya adalah anggota
DPRD, usahanya dimana-mana, dia tinggal di rumah mewah di Menteng, sedangkan
saya, driver ojek online.
Namun tiba-tiba, tanpa saya sadari dengan pasti,
seseorang memeluk saya dari belakang—Iya itu pasti Nona,. Dia berbisik dengan
lembut, “Saya mencintaimu”, pikiran saya terdiam sejenak, sebelum saya berkata.
“Ta ta ta tapi Nona”, ungkap saya dengan gugup.
“Tidak ada tapi, saya mencintaimu, dan saya mengerti”.
25 Maret 2015
Tulisan ini telah di tayangkan di Blog Pusdima di tahun 2019. Terinspirasi dari pekerjaan penulis sebagai Ojek Online pada waktu itu. Masa-masa dimana kita senang dan sedang menuliskan kisah.
Komentar
Posting Komentar