Cerpen: Kisah Tragis Empat Cinta
Entah
setan apa yang merasuki kepalaku sore itu, sehabis kelas yang panjang dan
membosankan—sekelebat niat yang mungkin tidak bisa diterima akal sehat sebagian
orang itu muncul—Aku ingin mabuk. Ingin sekali rasanya menghabiskan sebotol
anggur, kemudian lepaskan ingatan dan melayang bersama jiwa yang kekal dan hina
itu. Mabuk semabuk-mabuknya, hidup untuk hari ini, tiada hari esok, Aku
ingin—sungguh ingin.
***
Suatu
sore yang indah, dibawah lembayung senja yang menawan, duduklah Aku dan yang
lainnya, menikmati segelas kopi dengan iringan gitar tak terurus yang penuh
dengan tempelan sticker organisasi. Kami duduk disebuah rumput halaman
kampus yang luas dan nyaman—rumput itu tak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek,
bisa dibilang cukup pas untuk menjadi rumput taman. Hanya ada beberapa pohon di
tempat ini, tetapi daunnya banyak berguguran karena mungkin angin yang kelewat
genit tak mau diam—menjatuhkan daun yang rapuh bewarna-warni.
Kesejukan
angin, melodi nada gitar yang menenangkan, serta secangkir kopi panas tidak ada
duanya, indah sekali. Satu-satunya yang mengganggu kami adalah manusia lain
yang berdiskusi di sekeliling kami, mencoba menikmati kenikmatan alam yang kami
nikmati juga. Mereka terdiri dari kumpulan orang yang terkotak-kotak dalam
lingkaran sesuai minat dan paksaan. Rata-rata kumpulan itu adalah orang yang
berorganisasi, entah sedang rapat atau apa, kami takt ahu. Yang pasti mereka
terlihat sangat menikmati sore itu, seperti kami, ada juga yang gelisah
mendengar orang yang terus mengoceh dihadapannya.
Gerombolan
kami hanya terdiri dari empat orang, Aku bersama gitar butut, sementara yang
lain bernyanyi dengan keras tak tahu malu. Orang memanggilku Budi Dukun,
mungkin karena terlampau religius dan tak pernah takut setan. Memang selalu
kuhabiskan malam-malam di Kampus, meski sendirian tiada rasa takut—pikirku
setan pun akan takut jika bertemu orang sepertiku, kuajak dia selfie—sungguh
aku lebih takut wanita daripada setan. Itulah sebabnya diri ini masih menjomblo.
Tapi aku tidak sendiri, teman-temanku yang brengsek punya banyak cerita cinta
mengenaskan—satu-satunya yang membuat mereka bertahan adalah ikatan pertemanan
yang tak tahu malu ini.
Sementara
tiga temanku, berturut-turut adalah Ajo Kuat, Aji Batil dan Amin Asli, semuanya brengsek, sungguh,
tidak ada yang lebih baik, kami berempat selalu punya sisi buruk yang lebih
dari yang lain. Ajo Kuat dan Aji Batil memiliki kemiripan, punya rambut
kriting, hanya saja yang satu Ajo Kuat, tidak pernah mau memanjangkan
rambutnya, setiap bulan pasti cukur—alasannya di beri nama Kuat adalah katanya
biar kuat saja menghadapi kenyataan. Sementara Aji Batil, membiarkan rambut
kritingnya panjang tak karuan, dia bilang biar terlihat nakal—dan nama belakang
Batil adalah karena untuk meneguhkan tampilan nakalnya, yaitu untuk bisa terus
berbuat batil. Dan terakhir Amin Asli,
pria kecil bernyali besar tetapi penakut, asli orang betawi, hingga mungkin
itulah kenapa namanya Amin Asli, cocok sekali di tempat kuliah kami yang berada
di Jakarta.
***
Sore
itu, setan sedang ada disini, di dalam pikiranku, kutegaskan sekali lagi, aku
ingin mabuk.
“Kalian
pernah minum bir”, ucapku, sambil menyingkirkan gitar butut dari pangkuanku.
“Kau
ini ngigau ya, tiba-tiba bicara yang aneh-aneh”, ucap Ajo Kuat dengan heran.
“Serius
ini, kalian tahu kata-kata ajaib Soe Hoek Gie”
“Siapa
lagi itu Soe Hoek Gie”, jawab Amin dengan polos.
“Gue
juga gak tau siapa, tapi yang pasti dia bilang, kalau dalam kuliah itu hanya
ada tiga, yaitu buku, pesta, dan cinta”, ucapku meyakinkan.
“Ahh
aku inget, dia itu aktivis kalau gak salah”, Aji Batil menanggapi. “Terus apa
hubungannya sama mabuk?”.
“Aku
rasa sudah banyak buku yang kita baca selama kuliah, iya gak si, terus banyak
juga cinta yang kita perjuangin, meski ya gitu, kadang ujung-ujungnya
tragis—tapi kita belum pernah pesta”, ucapku sekali lagi.
“Ahhh
iya iya, menarik si kata-kata kamu, jujur aku juga penasaran gimana rasanya
mabuk-mabukan sampai hilang akal, seru kayaknya”, Amin Asli tampaknya tertarik dengan
ide yang aku cetuskan sore itu.
Tetapi,
Ajo kuat tiba-tiba berdiri dan mencoba meninggalkan obrolan.
“Ehhh,
mau kemana”, Aji Batil penasaran.
“Jangan
banyak bacot, kalau mau mabok ayo, aku mau beli dulu birnya—kalian tunggu di
atas parkiran sana”, ungkap Ajo Kuat, sambil menunjuk atas tempat parkir kampus
paling atas, tempat biasa kami mengobrol saat malam hari. Akupun pergi
menemaninya, sementara Aji dan Amin pergi ke atas parkiran.
***
Jam
8 malam, setelah berkeliling mencari bir akhirnya, Aku dan Ajo sampai diatas
parkiran. Bir Bintang seharga 50.000 sebotol, hasil patungan. Karena aku yang
punya ide, maka aku subsidi 50% dari harga normal. Di parkiran dengan enam
lantai, berbentuk spiral merupakan tempat yang bisa dibilang paling indah di
kampus. Sungguh, semuanya terlihat bagus dari sini, tempat paling atas di
parkiran, lahan kosong dengan angin yang kencang benar-benar menghanyutkan, apa
lagi yang kurang—kita hanya butuh kehangatan, dan tampaknya kita akan temukan dalam
sebotol bir yang kita punya.
“Jadi
gini”, ungkapku pada yang lain, sambil mengambil bir dari tangan Ajo Kuat yang
tampaknya sudah tak sabar untuk memulai pesta ini. “Sebelum kita minum, mari
kita berdo’a terlebih dahulu agar kita sama-sama diampuni”, sambil tertawa, ku
gigit botol bir yang keras itu dan kucium wangi anggur, luar biasa.
Sementara
itu, Amin Asli terus menghisap rokok dengan wajah tegang yang tidak bisa
disembunyikan itu. “Lu yakin mau mabok disini, gimana kalau lu loncat, mati
kita”, ungkapnya sembari gemetar memegang rokok.
“Lahh,
emang itu tujuannya kan”, kata Aji Batil. Sontak kita semuapun tertawa.
“Biar
Aku duluan”, kata Ajo Kuat sembari mengambil bir dari tanganku.
Langsung
saja Ajo Kuat meminum bir untuk pertama kalinya, “Ahhhh, luar biasa bangsat”, sembari
tertawa terbahak-bahak omongannya mulai melantur. “Kau bilang apa tadi, Kau
bilang Pesta, Buku, dan Cinta”, itu semua bangsat.
“Kau
dengar kisa cintaku ini, lalu kau akan mengerti bagaimana, kebangsatan ini
bermulai”, Tampaknya Ajo Kuat sudah dalam fase hilang sadar.
Ajo
Kuat dengan Cinta yang Usang
“Aku
mencintainya, sungguh, Aku tau dia juga cinta. Kita sudah berjalan sekitar 3
tahun, dari SMA. Saking cintanya, kita berpisah. Jalan kita beda dan kita gak
bakalan berkembang satu sama lain jika terus bersama.
“Alahhh,
gak mungkin lu putus cuma gara-gara hal kayak gitu, mustahil, paling ada orang
ketiga”, ungkap Aji Batil yang sudah lama kenal dengan Ajo.
Sembari
tertawa Ajo berkata, “Apanya yang orang ketiga, perjalanan cinta kita baik-baik
aja, kita sering bertemu, bercanda, jalan bareng, ngapa-ngapain bareng,
Cuma kadang yang suka bareng gak bikin kamu berkembang, nanti kamu sadar kalau
pisah satu-satunya jalan buat kamu berkembang”
Setelah
meminum seteguk lagi dan memberikan minuman ke Aji Batil, Ajo Kuatpun loncat
dari atas Gedung Parkiran. Semua dari kita tertawa melihatnya.
Kemudian,
Aji Batil tampaknya tidak sabar untuk memulai percakapan berikutnya. Langsung
dia meneguk bir yang sudah tinggal seperempat itu dengan sangat bernafsu.
Tuhan
Tidak Suka dengan Cinta yang Berbeda
“Kau
tahu, aku mencintai seseorang, dia seorang wanita yang cantik dan baik, hanya
satu kekuarangannya, dia berkerudung dan aku tidak sunat”, Giliran Aji Batil
sekarang yang mulai menikmati pesta ini.
“Aku
tahu dia mencintaiku sepenuh hati yang paling dalam, dia adalah syurga dan aku
adalah neraka”, Seteguk lagi Aji Batil minum, “Kau tahu, inilah dunia yang kita
tinggali, Tuhanku tidak pernah suka dengannya begitupun Tuhannya tidak pernah
suka denganku, dan meski kita saling mencintai, kita tetap mati”, Aji Batil pun
ingin segera meloncat dari Gedung itu, sembari melihat Ajo yang tampaknya sudah
tenang di bawah, dengan darah yang keluar dari kepalanya. Tetapi Amin Asli
menahan Aji, “Sebentar, kalau kamu ingin menyusun Ajo Kuat, kesinikan dulu bir
itu, jangan kamu rusak kesenangan ini”, dengan senang hati Aji Batil
menyerahkan bir itu kepada Amin Asli. Aji loncat dengan berterikan “Terima
kasih cinta, karenamu aku percaya satu hal, bahwa Tuhan itu maha Baik”.
Dengan
wajah gemetar, Amin Asli tau sekarang gilirannya, Sembari membuang rokok dari
tangan kirinya ke belakang Gedung, diapun meminum bir yang sekarang tinggal
setengah itu.
Cinta
tak Pernah Salah
“Aku
bertemu dengannya sewaktu kita baru menjadi mahasiwa. Dia baik, sangat baik dan
aku langsung mencintainya. Dia bersikap baik padaku, akupun begitu, semuanya
berjalan dengan baik, sampai suatu ketika aku mengetahui bahwa dia sudah
memiliki kekasih”, Sembari menyeka air matanya, Amin Asli melanjutkan
panggungnya di pesta itu.
“Sialnya
dia juga mencintaiku, hari-hari kita menjadi menyenangkan meski tanpa ikatan.
Luar biasa, dia adalah orang terbaik yang pernah aku kenal, dan aku sadar, aku jatuh cinta. Dia juga
merasakan hal yang sama. Tetapi karena kebaikannya dia tidak bisa pergi
denganku. Begitupun diriku, tidak mungkin bisa aku menjadi seorang bajingan
seperti itu, aku mencintainya dan akan terus seperti itu. Kitapun berpisah, dan
aku berharap kita selalu bersama”, Segera dia menyodorkan bir itu kepadaku, “Kamu
harus mencobanya, hal ini bekerja dengan baik”, kemudian dia menyusul Ajo Kuat
dan Aji Batil untuk menuju kebahagiaan.
Sementara
itu, akupun tersenyum, kemudian tertawa terbahak-bahak. Kuteguk minuman itu
dengan semangat, dan akupun mulai merasakan pesta itu. Pikiranku melayang,
terasa seluruh kepala ini bergetar, rasa paling nikmat yang pernah ada. Lalu
aku bertanya, kepada siapa diri ini akan bercerita.
Akhirnya
Kita Bahagia Selamanya
Kembali
kuteguk minuman itu dan kuliahat kepada teman-temanku yang sudah di bawah.
Mereka semua diam tak bergerak, akupun mulai tertawa dengan sangat keras.
Lalu
berjalanlah dua manusia di depan mereka bertiga, dengan canda gurau yang sangat
menyenangkan, laki-laki dan perempuan. Lucunya selalu ku kagumi perempuan yang
bersama laki-laki itu, ingin sekali aku memilikinya, sepenuhnya, hati dan
fisiknya.
Dengan
botol bir yang sudah kosong, kulemparkan kepada laki-laki yang bersama
perempuan itu. Tepat mengenai kepalanya, dia pasti mati pikirku, Aku tertawa
dengan sangat keras. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya, Lalu Akupun
melompat dan menyergap perempuan itu, dan kamipun mati bersama dalam cinta.
***
“Ngiung,
ngiung, ngiung”, suara ambulan terdengar dari kejauhan. Semua orang panik
dan berlarian. Sementara aku belum mati juga, kulihat semua orang berlarian
menyelamatkan diri. Ternyata dugaanku salah, itu bukan mobil ambulance
melainkan mobil pemadam kebakaran yang ingin memadamkan api dari parkiran yang
awalnya kami tempati. Aku sangat yakin itu adalah api dari rokok yang kita
nikmati sebelumnya. Akupun tersenyum kemudian
tertidur dan tak pernah bangun lagi.
2 Januari 2020
Tulisan ini juga di upload di Blog Epistemik.id di tahun 2020. Cerpen yang terlihat sedikit prustasi, tapi bukannya memang hidup terkadang memang seperti itu?
Komentar
Posting Komentar