Humanisme sebagai Agama Baru Revolusioner
Sumber Gambar: hidayatullah.com
Manusia Mendapatkan Makna
Manusia
adalah makhluk yang tidak stabil dan mortal. Pada hari ini, bisa saja manusia
mempercayai sesuatu, dikemudian hari mengacuhkannya atau bahkan membencinya,
kemudian berikutnya mati dan dikubur atau dibakar. Itulah mengapa manusia butuh
sesuatu diluar dirinya untuk mengatur hidupnya, agar manusia bisa tahu bahwa
yang dilakukannya baik atau salah. Dalam ilmu sosial, sesuatu yang eksternal
itu dinamakan struktur. Tanpa struktur manusia tidak bisa menciptakan
keteraturan. Dan struktur tentunya dimaknai oleh individu, itulah mengapa hal
itu berfungsi. Dari ungkapan ini, kita mempercayai struktur sebagai makna.
Munculnya
agama politeis, monoteis, dan bahkan ateis, telah membentuk manusia menjadi
makhluk yang lebih stabil. Ciri dari semua agama itu adalah sama-sama memiliki
makna, hal itu terkandung dari berbuat baik kepada orang lain, makna dalam
benda mati, atau dalam sebuah ritual yang menghabiskan banyak biaya.
Makna
sama dengan otoritas, artinya jika ada suatu hal yang bisa memberi makna dan
menentukan sikap kita, maka kekuasaan tergantung dalam hal itu. Seperti cerita
Fir’aun yang memerintah warga Mesir untuk membangun Piramida atau Perang Salib.
Dalam cerita ini, makna disampaikan oleh seorang pimpinan seperti Firaun atau
pemimpin perang, makna itu berisi bahwa kalian ingin mendapat rahmat dari
Tuhan, kalian harus melakukan yang Saya minta.
Otoritas
makna berkembang di dalam setiap sendi kehidupan. Hal inilah yang menggerakan
manusia hingga manusia bisa mencapai kesuksesan yang luar biasa di muka bumi
ini. Makna yang bisa membuat jutaan manusia bekerja sama, ini penting karena
kerjasama merupakan kekuatan terbesar manusia dan yang membedakannya dengan
binatang.
Memang bukan manusia saja yang bekerja sama. Katakanlah simpanse juga
bekerja sama, gajah , atau bahkan singa. Tetapi mereka bekerja sama dalam
lingkup yang kecil. Maksudku, kelompok simpanse bisa saling bersitegang dan
tidak saling mengerti satu sama lain, hingga kita tidak pernah bisa melihat
persatuan simpanse seluruh dunia. Manusia lain lagi, ketika bertemu dengan
manusia lain, manusia tidak akan langsung mencakarnya, lebih dari itu manusia
akan melihat kepercayaan atau pemikirannya, kemudian bersikap sesuai struktur
yang manusia percaya. Itulah mengapa manusia modern yang toleransinya tinggi
dikatakan beradab.
Manusia tidak merepresentasikan semesta seperti apa
adanya, tapi mengolahnya lewat simbol-sombol kultural seperti bahasa, mitos,
agama, kesenian, dan ilmu pengetahuan.
(Cassier dalam Yasraf Amir Piliang, dalam Kecerdasan
Semiotik)
Persekongkolan Modernisme dengan
Humanisme
Ada
banyak sekali pegertian mengenai modern yang diungkapkan oleh ahli ilmu sosial,
namun semuanya sepakat bahwa modern ditandai dengan perkembangan pengetahuan
dan tekhnologi yang terjadi di Eropa, setelah mengalami kemunduran pada abad
pertengahan. Modernsme menjajikan sesuatu kontrak baru terhadap manusia, yaitu
sebuah perjanjian dimana manusia bisa mendapat kekuasaan asal mau menukarnya
dengan makna.
Makna
yang ditinggalkan pada zaman Eropa waktu itu, adalah makna yang dibuat oleh
Gereja, yakni sebagai penyalur kehendak Tuhan. Hal itu ditandai dengan
melemahnya otoritas Gereja bagi masyarakat Eropa. Dampaknya sangat luas dan
karena kekuasaan yang dijanjikan modernisme itu nyatanya berhasil, modernisme
menyebar keseluruh dunia dengan cepat.
Dampak
dari modernisasi ini telah mengancam berbagai macam makna yang ada di dunia.
Contohnya, berbagai kepercayaan tradisional dan agama monoteis terancam akan
adanya modernisasi ini. Seperti yang diungkapkan oleh Syharin Haraphap, seorang
professor yang banyak menulis tentang hubungan antara agama dengan sekulerisme mengungkapkan,
setidaknya ada 3 hal yang mengancam dari modernitas terhadap agama-agama
monoteis. Pertama, limbah modern
seperti westernisasi, sekulerisasi dan liberalisasi yang memiliki paham berbeda
dengan agama. Kedua, modernisasi
telah banyak memodifikasi agama, padahal agama itu sudah final. Ketiga, modernisasi akan menyepelekan
agama.
Abad
pertengahan di Eropa, memiliki pandangan yang berbeda terhadap ilmu pengetahuan.
Eropa abad pertengahan, menurut Yuval Noah Harari, dalam bukunya Homo Deus, mempunyai rumus tentang
pengetahuan, yaitu Pengetahuan = Kitab
Suci x Logika. Para sarjana pada waktu itu mempelajari berbagai ayat
kemudian menalarnya dengan logika, maka itu menjadi pengetahuan. Sedangkan
menurut Revolusi Saintifik, rumusnya adalah Pengetahuan = Data Empiris x Matematika. Para sarjana tidak lagi
mengetahui bentuk bumi dari kitab suci, melainkan mengumpulkan data empiris kemudian
menghitungnya dengan matematika. Pemahaman ini telah menjalar ke berbagai
sendi-sendi kehidupan, termasuk pikiran manusia.
Modernisme
dengan Revolusi Saintifiknya telah memberikan suatu formula baru untuk
memandang dunia. Dunia ini tidak ubahnya sebagai hal empirik dan angka-angka.
Bagaimana mungkin keteraturan sosial bisa terus ada, jika manusia hanya percaya
kepada hal yang empirik dan terukur. Teteapi hal itu ternyata tidak terjadi,
karena modernisme bersekongkol dengan humanisme.
Humanisme
Menguasai Dunia
Ungkapan
Nietzsche yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati, tidak serta merta
menghancurkan keteraturan sosial di masyarakat. Peran itu telah digantikan oleh
sebuah ajaran baru, yaitu humanisme. Ajaran ini telah banyak mengambil otoritas
agama monoteis dan ajaran tradisional, disadari maupun tidak.
Humanisme
merupakan sebuah paham yang mengkhendaki manusia sebagai pusat. Berasal dari
kata humanis, yang berarti manusia. Pemahaman ini tidak serta merta datang
begitu saja, paham ini sudah diperjuangkan sejak berabad-abad oleh para
pemikir, seniman, politisi dan lainnya. Itu tidak berjalan begitu saja tanpa
tantangan, para agen yang memperjuangkan itu harus berhadapan dengan ancaman, bahkan
pembunuhan.
Salah
satu kitab suci umat humanis, ditulis oleh salah satu nabinya bernama Jean-Jacques
Rousseau dalam novel Emile,
“Dengarkan Dirimu sendiri, jujurlah kepada dirimu sendiri, percaya kepada
dirimu sendiri, ikuti kata hatimu, lakukan apa yang Kau rasa baik”. ungkapan
inilah yang menjadi pegangan manusia modern sekarang ini, sekali lagi dirasakan
atau tidak.
Humanisme
juga menawarkan rumus baru dalam melihat pengetahuan. Humanisme memiliki rumus,
Pengetahuan = Pengalaman x Sensitivitas.
Jika kita ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan etis, maka kita harus menjakau pengalaman dari dalam diri kita,
kemudian mengamatinya dengan sensitivitas. Pengalaman berisi sensasi (panas,
tegang, gemetar), emosi (cinta, takut, malu) dan semuanya terjadi dalam
pikiran. Kemudian sensitivitas, mengamati rasa itu dan membiarkannya
memengaruhi Saya. Formula ini juga yang membawa humanisme sebagai makna yang
dipercaya oleh sebagian besar masyarakat dunia.
“Inti
yang sangat mendasar dari semangat hidup adalah hasratnya untuk berpetualang.
Suka cita hidup datang dari pertemuan kita dengan pengalaman baru, dan
karenanya tidak ada sukacita yang lebih besar daripada memiliki cakrawala yang
tanpa henti, karena setiap hari memiliki matahari yang baru dan berbeda”
(Crishtopher
McCandless, dalam Into The Wild)
Politik Humanis: “Pemilihlh
yang paling tahu”
Sejak
berabad-abad yang lalu, individu jarang dilibatkan secara langsung dalam
pemilihan umum. Di Francis, terdapat
sebuah ampula yang disimpan di dalam Katedral Rheims. Setiap raja Francis akan
diusapi oleh air dari dalam ampula itu, ajaibnya ampula itu selalu terisi
kembali, yang menurut mitos diisi oleh Tuhan. Artinya setiap raja Francis
dipilih oleh Tuhan.
Berbeda
dengan sekarang, ada sebuah produk humanisme, yaitu demokrasi, dimana setiap
keinginan individu dihargai. Pergeseran ini memperlihatkan kepada kita
bagaimana humanisme mengambil alih peran Tuhan dalam menentukan pemimpin,
menggesernya dari atas ke dalam diri kita sendiri.
Ekonomi Humanis :
“Pelangan selalu benar”
Sebelum
humanisme berkembang, manusia jarang sekali percaya akan kemampuanya. Produk
tidak bisa diekpresikan secara bebas, ada banyak intervensi dalam penciptaan
produk. Pada abad pertengahan, serikat buruh banyak memengaruhi produk yang
akan diproduksi. Serikat tukang kayu menentukan bentuk kayu yang perlu di
produksi, serikat roti menentukan bentuk roti yang ideal atau pangeran dan
dewan kota memaksa orang membeli sebuah produk dengan harga yang tidak bisa
ditawar, tetapi setelah adanya humanisme, semuanya berubah menjadi kehendak
pelanggan.
Semua
orang bebas menggunakan produk apapun, asal sesuai etika humanisme. Manusia
tidak boleh disalahkan ketika memilih produk yang murahan atau terlalu mahal. Sedangkan
produsen dituntut untuk mengikuti kehendak pelanggan, bukan sebaliknya, karena
pelanggan selalu benar.
Kami
akan mengikuti keinginan pelanggan, meski permintaannya aneh-aneh.
(Mr.
Crab dalam acara serial anak Spongebob Squarepants)
Estetika Humanis :
“Keindahan ada dimata penonton”
Di
Eropa abad petengahan, seorang seniman tidak akan dipuji akan hasil karyanya.
Karena Ia hanya dimaknai sebagai perantara dari dewa dan roh suci. Artinya
bukan seniman itu yang menciptakan karyanya, lebih dari itu, roh suci, dewa
atau malaikat yang membisikan kepadanya sebuah intrumen musik, menggerakan
tangganya dengan pena untuk melukis, atau membentuk pikirannya untuk membuat
puisi.
Pandangan
semacam ini ditolak oleh kaum humanis. Menurut humanisme seni adalah hasil dari
perasaan manusia, tidak ada intervensi dari hal diluar seperti roh atau
malaikat. Tidak ada alat ukur objektif untuk seni menurut humanis, semua seni
bersifat subjektif. Itulah mengapa kaum humanis bisa menikmati sebuah tempat
air seni, sebagai keindahan di National
Gallery of Scotland. Artinya seni dalam humanisme dimaknai sebagai segala
hal yang orang lain anggap sebagai seni, dan keindahan ada dimata penonton.
Atau contoh lain, menurut beberapa agama monoteis menggambar seorang manusia
atau hewan adalah sesuatu yang dilarang, namun humanisme berdalih bahwa lukisan
atau pahatan berbentuk hewan yang Saya buat tidak merugikan orang lain, maka
dimana salahnya?
Etika Humanis : “Jika
terasa baik maka lakukanlah!”
Kaum
humanis percaya bahwa sesuatu yang tidak merugikan orang lain adalah benar. Hal
itu benar-benar dijalankan dalam etika. Sesuatu hal yang dianggap tabu dan merusak
moral oleh agama monoteis, seperti homoseksual dianggap tidak masalah karena tidak merugikan orang lain.
Etika Pendidikan Humanis : “Berpikirlah
untuk diri Anda Sendiri”
Pada
abad pertengahan pemahaman tentang pendidikan berasal dari hal eksternal
seperti kitab suci, tradisi kuno, dan bersifat hapalan. Ketika guru mengajukan
pertanyaan maka jawaban murid haruslah sama dengan pemikiran tokoh-tokoh
terdahulu. Tetapi pendidikan humanis berbeda, Ia mengkhendaki kebebasan untuk Anda
berpikir bebas.
Jika
kita cermati dengan baik, humanisme telah menjadi pijakan manusia di era modern
ini. Agama ini tidak membutuhkan pengakuan dari pengikutnya, tetapi menjajikan
kekuasaan. Modernisme bersekongkol dengan humanisme juga telah menyebar ke
seluruh dunia dan telah menimbulkan reaksi paham baru seperti humanisme religius
atau bahkan pertentangan seperti munculnya agama-agama yang kita anggap
radikal. Mungkin saatnya untuk kita merenungkan, apakah kita mau menolak kekuasaan
yang ditawarkan, atau menerimanya secara diam-diam.
Sumber Ide
Tulisan
ini sepenuhya terinspirasi dari dua buah buku sains populer, karya Yuval Noah
Harari, seorang Sejarawan yang karyanya baru-baru ini mendapat apresiasi dari
banyak masyarakat di dunia. Buku itu adalah Homo Sapiens dan Homo Deus.
Sebagian
lagi berasal dari pengalaman penulis, dari menonton maupun membaca.
Komentar
Posting Komentar