Produksi Ruang, Hak Kota, dan Revolusi Urban Pemikiran Henry Levebfre di Untuk Ibu Kota Baru


Pemindahan Ibu Kota Wujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh ...
Sumber Gambar: suaradewata.com

Ruang dan waktu merupakan sebuah hal yang niscaya dalam kehidupan manusia. Segala interaksi sosial, yaitu individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok pastilah terjadi dalam ruang dan waktu. Pada penelitian ini, hal yang akan disoroti sekaligus di analisis adalah mengenai salah satu dari elemen tersebut, yaitu mengenai ruang.

Ruang pada dasarnya netral, kosong atau hampa, itu terjadi jutaan tahun lalu sebelum makhluk hidup muncul dari hasil evolusi, ruang itu disebut ruang alamiah atau ruang absolut. Kenyataannya hari ini, ruang alamiah sudah tidak ada lagi, karena ruang sudah dimaknai sebagai tempat kontestasi makhluk hidup untuk berinteraksi menjadikan ruang sebagai sebuah arena kompetisi untuk dikuasai.

Konsep itulah yang dikemukakan oleh Henry Levebfre, sebagai produksi ruang. Yaitu ruang yang di hasilkan dari sebuah proses tindakan sosial, hasil produksi ruang sosial berkenaan dengan bagaimana praktik spasial diwujudkan melalui persepsi atas lingkungan (environment) yang dibangun melalui jaringan (networks) yang mengaitkan aktivitas-aktivitas sosial seperti pekerjaan, kehidupan pribadi (private life), dan waktu luang (leisure).[1] Ruang yang ada sekarang artinya dimaknai sebagai ruang sosial. Hal itu disebabkan karena ruang yang ada merupakan bentukan dari hasil relasi masyarakat yang melakukan kegiatan produksi di dalam ruang dan membentuk ruang itu sebagaimana produksi yang diinginkan masyarakat.

Di era kapitalisme, ruang diartikan sebagai komoditas untuk produksi ekonomi, hal itu membuat penyeragaman di kota, dimana tujuan utamanya sama, yaitu untuk produksi. Pemahaman mengenai ruang sebagai komoditas menjadikan ruang mengabaikan berbagai hal penting seperti keseimbangan ekologis, sosial dan kultural. Selain itu juga, terjadi dominasi yang menyebabkan segregasi di dalam ruang.

Adapun proses penciptaan rung itu sendiri menurut Lefebvre dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, disebut praktik spasial, yaitu proses penciptaan ruang manusia secara fisik-material terjadi ketika manusia mulai membedakan ruang dengan setiap aktivitas yang dilakukannya, dan kemudian menciptakan ruang khusus untuk berbagai keperluan.[2] Di dalam proses ini terjadi interaksi yang menimbulkan ruang dimaknai akibat hasil interaksi yag terjadi. Levebfre mengatakan, bahwa masyarakat dapat memaknai ruang setelah melihat ruang tersebut, seperti sebagai apartemen, jalan tol, perumahan, tempat wisata.

Kedua, disebut representasi ruang, yaitu ruang hasil imajinasi atau persepsi ahli, seperti arsitek, ahli tata kota, atau pemangku kebijakan. Mereka mengimajinasikan ruang dalam sebuah rancangan seperti peta, denah, atau simbol-simbol yang ingin di praktikan dalam ruang. Hal inilah yang biasanya menjadi kontradiksi, karena bagaiamnapun juga ruang di produksi tidak hanya dalam bentuk rancangan melainkan melalui tindakan.

Dan terakhir, ketiga disebut ruang representasional, yaitu kebalikan dari representasi ruang. Apabila dalam representasi ruang diartikan sebagai hal yang imajinasi, dalam ruang representasi ruang itu berbentuk kongkret. Ruang representasi berisi hal simbolik dari ruang, artinya simbol itu tidaklah serta merta terkandung dalam ruang tersebut, melainkan kadang di luar dari historis ruang tersebut.

Henry Levebre merupakan orang pertama yang mengemukakan apa itu yang disebut dengan hak atas kota. Hal itu dilatarbelakangi oleh kota yang menurutnya semakin tidak ramah dan merusak banyak hak dari warganya. Misalnya dominasi kota oleh sekelompok elit, yang ditandai dengan segresi sosial, padahal hak kota menurut Levebre harus dimaknai secara komunal, bukan individu atau kelompok kecil. Kemudian berikutnya, kota di jadikan sebagai tempat memamerkan diri, hal ini memang berdampak positif, tetapi terkadang menghilangkan hak kota untuk warga, dimana keinginan memamerkan diri diartikan sebagai yang utama.

Hak atas kota dimaknai sebagai upaya untuk menghilangkan masalah-masalah diatas. Membuat kota baik untuk semua orang, karena seperti yang dikatakn Levebfre bahwa kota yang baik bukan hanya menampung/mengijinkan warganya untuk hidup di kota, lebih dari itu, kota yang baik adalah yang menjamin kualitas yang sama bagi semua warga. Kemudian, kota juga bukan ruang sebagai ajang memamerkan diri, lebih dari itu, warganya juga harus bahagia, karena bagaimanapun hak kota dalam hal ini membahagiakan warganya jauh lebih penting daripada memamerkan kota itu sendiri. Hak atas kota juga diharapkan dapat menghapuskan segala jenis sikap yang merusak kota itu sendiri, seperti merusak keseimbangan ekologis, sosial dan kultural. Karena kota, bukan hanya komoditas untuk produksi ekonomi, melainkan sebagai tempat masyarakat menyalurkan kebutuhan sosial dan kulturalnya.

Melalui pemahaman hak kota yang diungkapkan oleh Levebfre, kita bisa belajar bahwa kota yang ideal adalah bukan kota yang hanya mementingkan ekonomi. Lebih dari itu, kota itu harus bisa menjaga hal seperti keseimbangan ekologi, sosial dan kultural warganya. Hal ini tentunya menjadi masukan yang sangat berharga untuk ibu kota baru nantinya. Ibu kota harus dibangun bukan hanya untuk pemilik modal besar, pemerintah tidak boleh deskriminasi dalam memetakan kota, setiap orang memiliki hak yang sama untuk menikmati kota. Fasilitas publik harus diperbanyak dan segala upaya untuk menjadikannya komoditas ekonomi untuk segelintir orang harus dengan tegas dibatasi, hal itu tentunya demi kepentingan bersama warga ibu kota baru nantinya—untuk menjadikan kota yang tidak hanya maju tapi bisa dinikmati oleh semua warga yang tinggal di alammnya.


[1]  Arie Setyaningrum Pamungkas, “Produksi Ruang dan Revolusi Kaum Urban Menurut Lefebvre”, IndoProgres, diakses dari https://indoprogress.com/2016/01/produksi-ruang-dan-revolusi-kaum-urban-menurut-henri-lefebvre/ pada tanggal 19 Agustus 2019.
[2] Ibid. IndoProgres.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi