Resensi Buku Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Upaya untuk Mengenal Indonesia
Bumi
manusia, salah satu mahakarya terbesar dalam bidang sastra Indonesia, yang
dibuat oleh sastrawan yang memang mengabdikan hidupnya untuk sebuah proyek
keabadian—Pramoedya Ananta Toer. Satu-satunya sastrawan Indonesia yang pernah
enam kali di nominasikan sebagai peraih nobel perdamaian pada masanya.
Karyanya
novel Bumi Manusia merupakan buku pertama dalam tetralogi Pramoedya, yang
terdiri dari, berturut-turut Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pramoedya menulisnya ketika di tahan di Pulau Buru, sebagai
tahanan politik Orde baru. Meski mendapat sambutan yang luar biasa dari dalam
dan luar negeri, pada tahun pertama penerbitannya—bukunya harus mendapati
tantangan yang bisa bilang suatu kemunduran, karena dilakukannya pelarangan
pada karyanya itu—dikatakan bahwa bukunya mengandung ajaran Marxisme dan
Leninisme—sebuah ajaran yang dilarang pada masa pemerintahan Orde Baru.[1]
Kisah
Bumi Manusi bisa ditempatkan sebagai sebuah karya yang merupakan salah satu
warisan sejarah terbaik Bangsa Indonesia. Sebuah buku yang mengisahkan periode
kehidupan di Indonesia dari tahun 1898-1918, dimana periode tersebut merupakan
tumbuhnya benih-benih pemikiran Politik Etis dan masa Kebangkitan Nasional.
Nyaris tiada sastrawan yang berhasil menceritakan kehidupan pada masa itu sebaik
Pramoedya dalam tetraloginya, terutama dalam kisah Bumi Manusia.
Kisah
Bumi Manusia sendiri mendapatkan banyak sekali mendapat apresiasi setelah
pertama kali terbit pada tahun 1980. Hingga tahun 2005, kisah Bumi Manusia
telah diterjemahkan ke 33 bahasa di dunia dan sekarang sudah sekitar 40 bahasa,[2]
selain itu juga—apresiasinya dilakukan kedalam berbagai pertunjukan teater,
pada tahun 2006 di gelar di 12 kota besar di Indonesia secara serentak. Dan
juga, tidak kalah menghebohkan, bahwasannya kisah Bumi Manusia ini akan
difilmkan oleh Falcon Picture dengan sutradara Hanum Bramantyo dan tokoh
utamnya—Minke, diperankan oleh Iqbal Ramadhan.
Rencana
difilmkannya kisah Bumi Manusia dilakukan sejak 2004, namun terealisasi pada
tahun ini—2019. Hal ini juga menarik antusiasme masyarakat, yang mencintai
sastra maupun baru mencintai, terlebih lagi tokoh utamanya yang diperankan oleh
Iqbal Ramadhan, membikin antusiasme—terutama kaum milenial untuk bisa menonton
film ini.
Untuk
itu, penting juga rasanya—agar kita semua tahu bagaiamana duduk perkaranya,
hingga benar-benar kita bisa memetik pelajaran berharga dari kisah Bumi Manusia
ini, kiranya itulah latar belakang penulis mencoba memberikan ulasan karya ini.
Karena seperti kata Susilo Toer, adik Pramoedya yang masih hidup—kisah Bumi
Manusia itu bagi orang yang membacanya secara mendalam sangatlah kompleks, di
dalammnya terdapat sebuah pengajaran yang luar biasa mengenai perjuangan
Pribumi melawan penjajah; pribumi menyingkirkan budaya Jawa yang kolot;
perjuangan perempuan yang di deskriminasi oleh penjajah, maupun bangsa sendiri;
perjuangan mendapat pendidikan; hingga pengenalan budaya bangsa yang sangat
bermakna. Bukan semata-mata kisah cinta kedua tokoh utama—yaitu Minke dan Annalies,
yang akan diceritakan oleh Hanum Bragmantyo, selaku sutradara film.
Bumi
Manusia merupakan sebuah buku bergenre fiksi yang berlatar belakang kehidupan
pada masa penjajahan Belanda. Di dalam buku ini, diceritakan hiduplah seorang
pemuda Pribumi bernama Minke, yang mendapati dirinya bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS), sebuah
sekolah yang sekarang setingkat dengan SMA, dan diperuntukan untuk orang
Belanda, Eropa dan Elite Pribumi. Minke sendiri merupakan anak Bupati kota B
(disebutkan dalam cerita)—dirinya disekolahkan agar kemudian bisa menjadi
Bupati seperti ayahnya, meski Minke bersikeras menolaknya.
Sebagai
Pribumu, Minke merupakan anak yang cerdas di HBS, kemampuannya dalam menulis
telah membawanya menjadi seorang yang cukup dikenal di Jawa, karena tulisannya
banyak diterbitkan di koran berbahasa Belanda, dengan nama samaran Max Tollenar.
Namun,
pendidikan yang diterima Minke di HBS, menjadikannya pribadi yang sangat
mengagungkan Eropa, terutama karena pengajaran gurunya Juffrouw Magda Peters. Minke
sangat menyanjung Eropa dan dikisahkan tidak lagi mengindahkan budaya Jawa. Meski
pada akhirnya, Minke sendiri mendapati bahwa Eropa yang Ia sanjung tidak lebih
sebagai bangsa pendindas terhadap bangsa lain—hal itu diceritakan secara
dramatis oleh Pramoedya, yaitu bagaiamna awalnya Minke menyanjung Eropa hingga
akhirnya Ia dibuat benci untuk melakukan itu.
Seperti
diceritakan di awal, kisah Bumi Manusia ini sangatlah kompleks—namun penekanan
yang penulis dapat dari kisah ini adalah mengenai kemanusiaan, Pramoedya dengan
lihai menjelaskan konsep itu dalam kisah yang sangat indah.
Ceritanya
berawal ketika Minke yang mendapati dirinya ditantang oleh seorang
teman—bernama Robert Suurhof, untuk pergi ke Wonokromo, mengunjungi seorang
wanita cantik—bernama Annalies Melemma. Suurhof akhirnya menjadi musuh Minke,
karena mencintai wanita yang sama, yaitu Annalies Melemma, celakanya Annalies
juga mencintai Minke daripada Suurhof. Annalies tinggal disebuah rumah besar
yang indah bersama Nyai Ontosoroh, yang merupakan seorang Nyai,[3]
dan kakanya Robert Mellema.
Selain
Minke dan Annalies, Nyai Ontosoroh juga mendapat penekanan dalam kisah Bumi
Manusia, bahkan dalam beberapa pertunjukan teater, justru Nyai Ontosoroh lah
yang menjadi pemeran utamanya. Diceritakan dirinya di jual oleh ayahnya sendiri
kepada orang Belanda, agar ayahnya naik jabatan. Secara menyedihkan, Nyai Ontosoroh
tanpa pernikahan harus rela mendapati dirinya hidup bersama Tuan Mellema, yang
bahkan tidak pernah Ia kenal sebelumnya.
Karena
dendam Nyai Ontosoroh pada orang tuanya, Nyai bertekad untuk mengangkat harkat
martabatnya sendiri dengan pengetahuan. Nyai belajar banyak dari Tuan Mellema—hidup
seperti bangsa Eropa, membaca buku Eropa, belajar baca tulis, dan belajar
mengelola perusahaan. Tuan Mellema awalnya baik dan sangat mencintai Nyai
Ontosoroh, meski tidak pernah menikahinya secara resmi secara hukum dan agama.
Namun bencana datang ketika anak sah Tuan Mellema datang dari Belanda untuk
bekerja di Indonesia dan menuntut Tuan Mellema, semuanya menjadi kacau, Tuan
Mellema pergi meninggalkan Nyai Ontosoroh.
Meski
begitu, Nyai Ontosoroh sudah banyak belajar, bersama Annalies kedua perempuan
itu membangun sebuah perusahaan yang sangat besar. Bisa dikatakan meski hanya
seorang Nyai, Ontosoroh membikin dirinya dihormati karena kekayaannya yang
melimpah, hasil jerih payahnya sendiri, menjadikannya wanita yang mandiri. Sementara
Robert Mellema sudara Annalies Mellema, lebih mengikuti ayahnya dan membenci
Nyai Ontosoroh sebagai Ibunya.
Minke
yang datang ke kehidupan Nyai Ontosoroh dan Annalies disambut baik oleh mereka
berdua. Banyak yang membenci hal itu, termasuk orang tua Minke, karena Ontosoroh
adalah seorang Nyai—begitupun Robert Mellema dan tentunya Suurhof, keduanya
secara terang-terangan menyerang Minke dan mengatakannya sebagai orang yang
ingin mendapati kekayaan Nyai Ontosoroh.
Meski
mendapati diri dalam tantangan yang panjang, Minke tetap saja berusaha untuk
mendapatkan Annalies, menurutnya hal itu sebanding—karena Annales adalah wanita
cantik dan berkepribadian baik, hal itu terbukti dari sikapnya yang bisa
mengurusi perusahaan bersama Ibunya, Nyai Ontosoroh.
Setelah
perjuangan yang sangat berat, Minke dan Annalies akhirnya menikah, keduanya
sangat bahagia, karier Minke pun melejit dengan baik. Minke berhasil lulus dari
HBS dengan peringkat yang sangat memuaskan, padahal dia pernah dikeluarkan dari
sekolah, karena tuduhan-tuduhann yang mengarah padanya telah melakukan hal
buruk dengan seorang Nyai. Semuanya Minke hadapi, dan akhirnya dia bisa
berhasil.
Setelah
kegembiraan Minke dapatkan, bencana datang menghampirinya, Minke jatuh
sejatuh-jatuhnya. Dan yang menjatuhkannya adalah hukum Belanda—hukum orang
Eropa, sebuah negara yang Ia sanjung-sanjung. Setelah kematian Tuan Mellema
yang misterius, anak Sah Tuan Mellema dari Belanda yang sedari awal telah
menghancurkan rumah tangga Tuan Mellema dengan Nyai Ontosoroh menuntut harta
Tuan Mellema yang dikelola Nyai Ontosoroh. Annalies sama-sama menjadi korban,
karena merupakan anak sah Tuan Mellema,[4] Ia
harus dipulangkan ke Eropa dan meninggalkan Minke bersama Nyai Ontosoroh—Nyai
tidak dianggap karena tidak pernah menikah secara sah dengan Tuan Mellema dan
harus merelakan semua perusahaan yang telah Ia rintis dengan Annalies.
Meski
Minke dan Nyai Ontosoroh telah berusaha keras untuk mempertahankan perusahaan
dan Annalies yang harus dibawa ke Belanda, tetap saja hukum tidak pernah
memihak pada Pribumi. Annalies pergi, Minke dan Nyai harus pasrah dan menerima
semuanya. Di akhir buku, Minke berkata pada Nyai Ontosoroh, “Kita kalah Ma,”
bisik Minke, dan dengan bijak Nyai Ontosoroh menjawab, “Kita telah melawan,
Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,”.
Buku
Bumi Manusia ini secara penulisan ditulis dengan sangat apik. Ceritanya runtut
dan penuh makna. Setiap bab diceritan dengan pembabakan yang jelas, dan
terkadang terjadi perubahan pencerita atau orang pertama, misalnya dari Minke, menuju
Annalies, kemudian Nyai Ontorsoroh—tetapi semuanya mudah dipahami dan justru
menambah pemahaman terhadap bagaimana pembangunan karakter-karakter dalam
cerita kisah Bumi Manusia. Seperti ketika Nyai Ontosoroh sebagai orang pertama,
menjelaskan bagaimana bisa dirinya menikah dengan seorang Eropa, dari hasil
dirinya dihinakan oleh adat Jawa—hidupnya hanya dikehendaki nurut dengan Bapak,
apapun kehendak yang dibuat harus dituruti.
Dari
segi nilai yang bisa di dapat, buku ini luar biasa memiliki hal itu. Mungkin
dari semua keunggulannya, amanat nilai-nilai kemanusiaan yang diberikan buku
ini adalah yang paling diunggulkan. Berikut penulis kutip kalimat-kalimat yang
menurut penulis sangatlah indah dan bermakna, khususnya bagi penulis sendiri.
“Dan indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di
hadapan orang lain.”
“Kita harus berterima kasih pada segala pemberi
kehidupan, sekalipun dia hanya seekor kuda.”
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri
bersuka karena usahanya sendiri maju karena pengalamannya sendiri.”
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil
sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar
itu.”
“Ikut pendapat umum yang salah juga salah.”
“Tak pernah aku mengadili tanpa tahu duduk perkara.”
“Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang
membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.”
“Kau pemuda terpelajar. Sepatutnya mulai belajar
mengerti.”
“Memerintah pekerja pun kau tidak bisa karena kau tak
bisa memerintah dirimu sendiri. Memerintah diri sendiri kau tak bisa karena kau
tak tahu bekerja.”
“Dan apa bisa diperoleh dalam hidup tanpa bea? Semua
harus dibayar, atau ditebus, juga sependek-pendek kebahagiaan.”
“Manusia yang wajar mesti punya sahabat, persahabatan
tanpa pamrih. Tanpa sahabat hidup akan terlalu sunyi.”
“Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu
dan pandai menerima.”
“Cantik menarik sungguh lebih baik daripada kusut,
Ann. Ingat-ingat itu. Dan setiap yang buruk tak pernah menarik. Perempuan yang
tak dapat merawat kecantikan sendiri, kalau aku lelaki, akan kukatakan pada
teman-temanku: jangan kawini perempuan semacam itu; dia tidak bisa apa-apa,
merawat kulitnya sendiri pun tidak kuasa.”
“Pada setiap awal pertumbuhan, katanya, semua hanya
peniru. Setiap kita semasa kanak-kanak juga hanya meniru. Tetapi kanak-kanak
itu pun akan dewasa, mempunyai perkebangan sendiri.”
“Dan aku tetap masih tidak mengerti duduk-perkara.
Maka aku diam saja.”
“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan.
Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”
“Asal kau mengerti, Gus, semakin tinggi sekolah bukan
berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.
Kan itu tidak terlalu sulit dipahami? Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan
memaksanya tahu dengan caraNya sendiri.”
“Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak
diperintah, tidak memerintah, Bunda.”
“Sudah pada galibnya ada pertukaran pikiran antara
kaum terpelajar.”
“Lihat: aku hanya mengkhendaki nikmat dari
jerihpayahku sendiri. Yang lain tidak kuperlukan. Kehidupan senang bagiku bukan
asal pemberian, tapi pergulatan sendiri.”
“Kau merugi dua kali, Minke, kalau berarti itu benar.
Pertama: kau sudah ketakutan. Kedua: kah toh terbunuh. Satu kerugian pun sudah
cukup, Minke. Ambillah salah satu. Bangun. Mengapa mesti kau ambil dua-duanya
sekaligus? Goblok kau sebagai terpelajar.”
“Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati.”
“Kau pun termasuk terpelajar Pribumi pertama-tama.
Perbuatan baik dituntut dari kau. Kalau tidak, terpelajar sesudahmu akan tumbuh
lebih busuk dari kau sendiri.”
“Lambat-lambat tapi pasti aku mulai mengerti:
ketegangan ini hanya akibat keogahan membayar karcis untuk memasuki dunia
kesenangan, dunia dimana impian jadi kenyataan.”
“Tahu kalian apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini?
Seorang pemimpin yang mampu mengangkat derajad mereka kembali.”
“Melawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah
menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.”
“Nenenda: setiap lelaki yang beristri lebih dari
seorang pasti seorang penipu, dan penipu tanpa semau sendiri.”
“Nenenda telah menanamkan kepercayaan pada diri: kau
akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan
berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah; jangan takut pada pelajaran
apapun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan
semua.”
“Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di
jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat
kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau
sastra lisan. Apa tidak hebat kalau siswa H.B.S, paling tidak nyaris sepuluh
tahun duduk di bangku sekolah, bisa tidak suka pada sastra dan bahasa? Ya, sungguh hebat.”
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai
deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal
hanya hewan yang pandai.”
“Dia berani menyatakan pendapat! Sekalipun belum tentu
benar. Dia tak takut pada kekeliruan. Tabah, berani belajar dari kesalahan
sendiri.”
“Ingat, kesan pertama, betapapun penting, belum tentu benar.”
“Barangkali sudah sejak Hawa kecantikan mengampuni
kekurangan dan cacat seseorang. Kecantikan mengangkat wanita di atas sesamanya,
lebih tinggi, leboh mulia. Tetapi kecantikan, bahkan hidup sendiri menjadi
sia-sia bila dikuasai ketakutan.”
“Lihat, Tuan Minke, dalam kehidupan ilmu taka da kata
malu. Orang tidak malu karena salah atau keliru. Kekeliruan dan kesalahan
justru akan memperkuat kebenaran, jadi juga membantu penyelidikan.”
“Dalam ilmu, malu tidak punya harga, biarpun hanya
sepersepuluh dari sepersepuluh sen.”
“Semakin tua kehidupan yang dihadapi semakin majemuk,
maka orang harus semakin berani untuk menghadapinya.”
“Ada yang tidak pernah jadi dewasa memang, hidup hanya
dari pemberian seorang atau masyarakatnya: orang-orang gila dan kriminil.”
“Hanya orang pander yang mengagumi diri sendiri.”
“Bahwa suatu perkara bisa jadi suatu akibat perbuatan
sendiri, juga tak jarang suatu kecelakaan belaka, yang menimpa setiap orang;
taka da orang yang dapat mengira ngirakan kapan kecelakaan bakal tiba.”
“Sebagai persoalan memang harus terus dihadapi, Ma.
Kira-kira Minke ini, Ma, kira-kira bukan kriminil. Tidak akan lari.”
“Jangan lari dari persoalanmu sendiri, karena itu
adalah hakmu sebagai jantan.”
“Rebut bunga kecantikan, karena mereka disediakan
untuk dia yang jantan. Juga jangan jadi kriminil dalam percintaan – yang
menaklukan wanita dengan gemerincing ringgir, kilau harta dan pangkat. Lelaki
belakangan ini adalah juga kriminil, sedang perempuan yang tertaklukan hanya
pelacur.”
“Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan,
kesuburan, kemakmuran, kesejahreraan. Dia bukan sekadar istri untuk suami.
Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan berasal. Seperti itu juga
kau harus pandangi ibumu yang sudah tua ini, yang berdasarkan itu pula anak anakmu
yang perempuan nanti kau harus persiapkan.”
“Dengan melawan kita takkan sepenuhnya kalah.”
“Apa guna sekolah-sekolah didirikan kalau toh tak
dapat mengajarkan mana hak mana tidak, mana benar dan mana tidak?”
—Pramoedya Ananta Toer, dalam Bumi Manusis
***
Karena
memiliki aspek historis, novel ini selain menyenagkan dibaca untuk orang yang
memang menikmati karya satra romantik, juga bagus untuk kalangan akademisi yang
ingin mengetahui bagaimana kehidupan manusia di Indonesia pada tahun yang bersangkutan.
Bagaiamana kebangkitan nasional dipupuk, termasuk dalam diri Minke.
Bukan
bermaksud melebih-lebihkan, saya pribadi menilai novel ini tidak terlalu banyak
memiliki kekurangan, terkecuali mungkin karena di buat untuk mengisahkan zaman
kolonial, maka cukup banyak istilah yang kurang akrab di pikiran pembaca.
Akhirnya,
buku ini sangat direkomendasikan untuk siapaun yang menyukai cerita romantik
penuh nilai-nilai kemanusiaan dan pemahaman tentang sejarah. Bukan hanya
menambah pembendaharaan pengetahuan—setiap kutipan yang disampaikan Pramoedya
sangatlah bermakna dan menginspirasi. Selain itu, setiap kata bijak sangat
relevan dengan karakter tokoh dalam cerita, hingga setiap kata-kata inpirasi
itu bisa menancap di otak pembaca, dan menjadi pegangan hidup.
24 Maret 2019
Tulisan ini telah di publikasi di Blog Pusdima di tahun 2019. Waktu itu sangat antusias sekali membca buku ini. Dan ternyata di filmkan di tahun yang sama, luar biasa memang Pramoedya Ananta Toer.
[1]
Irfan Teguh, “Pelarangan Buku dan Kepedihan Pramoedya Ananta Toer”, tirto.id,
diakses dari http://tirto.id/pelarangan-buku-dan-kepedihan-pramoedya-ananta-toer-dcQZ,
pada tanggal 25 Maret 2019 pukul 05.14 a.m
[2]
Nesia Qurrota A’yuni, “Adik Pramoedya
soal Film Bumi Manusi”, Kumparan, diakses dari
http://m.kumparan.com/@kumparannews/adik-pramoedya-soal-film-bumi-manusia-hanung-bramantyo-pemberani,
pada tanggal 25 Maret pukul 05.23 a.m
[3]
Berarti gundik, selir, wanita piaraan, atau simpanan para pejabat dan serdadu
Belanda.
[4]
Secara hukum Belanda Annalies merupakan anak sah Tuan Melemma meski ibunya Nyai
Ontosoroh tidak pernah dinikahi secara hukum dan agama
Komentar
Posting Komentar