Sistem Lalu Lintas yang Berkelanjutan untuk Ibu Kota Baru
Sumber Gambar: suaradewata.com
Meski
telah digadang-gadang sejak dulu, bahkan sejak zaman Hindia Belanda, waktu itu
Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1762-1818), berencana memindahkan ibu
kota Batavia (nama lain Jakarta), karena alasan Batavia banyak sumber penyakit.[1]
Dilanjut ketika pasca kemerdekaan, wacana pemindahan ibu kota dilakukan oleh
Soekarno, bahkan Soekarno sudah melakukan peletakan tiang pertama pada 17 Juli
1957 di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, yang digadang-gadang menjadi pusat
pemerintahan pada waktu itu. Wacana itu terus berlanjut hingga zaman Soeharto
dan Susilo Bambang Yudhoyono, namun kembali tidak mendapat penjelasan.
Akhirnya,
pada saat Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo
secara terbuka meminta izin untuk memindahkan ibu kota ke Pulau Kalimantan. Jokowi
juga mengungkapkan, bahwa alasan pemindahan ibu kota adalah demi terwujudnya
pemerataan dan keadilan ekonomi, demi visi Indonesia maju. Di postingan lainnya
juga, yang ia unggah pada tangal 8 Agustus 2019, Jokowi juga menegaskan bahwa
pemerintah sedang melakukan kajian yang mendalam di berbagai aspek, seperti
skema pembiayaan, desain kelembagaan, payung hukum regulasi pemidahana ibu
kota, serta tidak lupa untuk melihat berbagai negara yang telah lebih dahulu
berhasil melakukan pemindahan ibukota—hal itu dilakukan untuk bisa mengukur
segala kemungkinan yang terjadi dalam proses pemindahan, hal itu tentunya agar
pemindahan ibu kota ini bisa meraih hasil yang positif.
Itu
artinya tampaknya sudah bisa dipastikan bahwa ibu kota akan pindah pada masa
kepemimpinan Jokowi. Hal ini menurut saya perlu di apresiasi, mengingat
pemindahan ibu kota sudah direncanakan sangat jauh sebelumnya dan baru
menemukan titik terang sekarang ini. Namun ada beberapa hal yang mesti menjadi
kajian mendalam dalam pemindahan ibu kota ini, hal ini juga tentunya menjadi
pekerjaan yang sangat tidak mudah. Untuk itulah melalui tulisan ini semoga saja
saran yang saya berikan bisa bermanfaat untuk menjadi pengingat pemerintah yang
bekerja untuk mengsukseskan pemindahan ibu kota ini.
Salah
satu hal krusial yang mesti dikaji adalah mengenai sistem lalu lintas. Hal ini
dikarenakan sistem lalu lintas berdampak langsung pada berbagai aspek, seperti
kemacetan, pencemaran udara, dan pemborosan energi. Sistem lalu lintas yang
buruk bisa menyebabkan kemacetan, sistem lalu lintas juga berhubungan dengan
tranportasi publik—apabila tranportasi publiknya kurang memadai maka akan
terjadi lonjakan kendaraan pribadi, hal itu bisa menyebabkan pencemaran udara
akibat asap kendaraan. Belum lagi pemborosan energi dampak dari banyaknya
kendaraan yang berbahan bakar karbon.
Setidaknya
ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk menciptakan keseimbangan lalu lintas
di kawasan kota. Pertama, rencana guna lahan; kedua, pembatasan lalu lintas
kendaraan pribadi; ketiga, pengembangan tranportasi umum.[2]
Ketiga hal ini harus diperhatikan dan diusahakan agar memenuhi standar
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan sendiri diartikan sebagai
pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang, tanpa mengorbankan
kebutuhan generasi masa depan. Pada pelaksanaanya bukan hanya lingkungan yang
menjadi tolak ukur keberhasilan dari pembangunan berkelanjutan, lebih dari itu
aspek ekonomi dan sosial juga diperhatikan.
Pertama,
dalam tata guna lahan diharapkan dipenuhinya standar adanya ruang terbuka hijau
sebanyak 30 persen. Ruang terbuka hijau memiliki banyak manfaat diantaranya, dalam
ekonomi bisa mengurangi biaya kesehatan untuk penyakit pernafasan yang
disebabkan oleh udara kotor. Kemudian dari segi sosial bisa mengeratkan hubungan
diantara warganya, karena ruang terbuka hijau bisa dijadikan tempat berekreasi
berbagai warga, hal itu baik untuk menjalin interaksi diantara mereka. Dan
tentunya dari segi lingkungan tidak usah diragukan lagi, ruang terbuka hijau
bisa menyerap air yang bisa mencegah banjir dan menjaga kualitas udara tetap
bersih dan tentunya memperindah tampilan kota.
Kedua,
pembatasan kendaraan pribadi, bisa dilakukan dengan cara menetapkan tarif pajak
yang tinggi, selain itu bahan bakar bisa dikurangi subsidinya jika memang di
luar Jawa. Pembatasan ini dilakukan agar tidak membludaknya kendaraan pribadi
di suatu kota, karena hal ni bisa berdampak buruk pada berbagai aspek—misalnya
kemacetan, pemborosan energi, dan tentunya polusi udara. Manfaat dari
pengurangan kendaraan pribadi dari segi ekonomi bisa mengurangi jumlah energi
yang digunakan dan perbaikan jalan yang memakan biaya yang besar. Dari segi
sosial apabila masyarakat tidak banyak menggunakan kendaraan pribadi manfaatnya
bisa lebih banyak berinteraksi dengan warga lainnya di kendaraan publik, selain
itu tingkat stres juga berkurang karena jalanan tidak terlalu sesak. Untuk
lingkungan tentunya kita sama-sama mengetahui bahwa kendaraan pribadi terutam
motor memiliki dampak yang buruk terhadap kualitas udara.
Ketiga,
pengembangan transportasi umum yang terintegrasi dengan baik dan bisa
menjangkau banyak wilayah. Hal ini sangat memiliki dampak besar bagi kelancaran
pembangunan lalu lintas kota. Kota-kota besar di dunia seperti Jerman,
Hongkong, Singapura, memiliki tranportasi umum yang terintegrasi dengan
baik—dan itu berdampak langsung pada berkurangnya kendaraan pribadi yang
dimiliki warga. Oleh karena itu, pemerintah sudah semestinya mempersiapkan
tranportasi publik yang bisa memadai dengan baik, agar ketika ibu kota baru
berkembang nantinya pemerintah sudah dengan cepat dan tanggap menghadapi
perubahan yang terjadi.
Tulisan ini sebenarnya diikutsertakan dalam lomba esai harapan untuk Ibu Kota baru, namun tidak menang. Tetapi saya tetap senang, ternyata dulu pernah menulis serajin itu, wkwk.
[1]
Andry Novelino, Sejarah Pemindahan Ibu Kota Sejak Era Hindia Belanda, CNN
Indonesia, diakses dari https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190429081114-20-390452/sejarah-pemindahan-ibu-kota-sejak-era-hindia-belanda
pada tanggal 9 Agustus 2019.
[2]
Bela Yudistika, Review Sistem Kota Berlin, www.academia.edu, diakses dari
https://www.academia.edu/11730136/Review_Sistem_Transportasi_Kota_Berlin pada
tanggal 18 Agustus 2019.
Komentar
Posting Komentar