Kebebasan Informasi sebagai sarana Kemerdekaan untuk Berpikir

Ide kemerdekaan selalu muncul dari pikiran yang merdeka. Sejarah mencatat bahwa Tjokroaminoto adalah orang yang pertama kali memimpikan kemerdekaan untuk Indonesia. Dalam pidatonya di atas podium Kongres Sarekat Islam di Bandung pada 17-24 Juni 1916, Tjokroaminoto mengatakan, “Orang semakin lama semakin merasakan, bahwa tidak pantas lagi Hindia diperintah oleh negeri Belanda, bagaikan seorang tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya!” (Raditya, tirto.id, 2018).

Ide kemerdekaan Tjokroaminoto terwujud tiga dekade kemudian—adalah murid sekaligus menantunya sendiri, yaitu Soekarno yang berhasil membawa Indonesia merdeka di tahun 1945. Bersama dengan Mohammad Hatta, Soekarno menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama di Indonesia.

Kesamaan dari ketiga tokoh bangsa ini adalah kemerdekaan mereka dalam berpikir. Kemerdekaan itu dicirikan melalui refleksi berpikir yang mendalam dan kemudian berujung menjadi gerakan—sebuah gerakan perlawanan melawan penjajah. Tjokroaminoto adalah anak keturunan pejabat pribumi—ayahnya seorang asisten bupati, sementara kakeknya pernah menjadi bupati. Oleh karena itu, Tjokro mendapat pendidikan yang baik selama ia masih kecil hingga dewasa (Raditya, tirto.id, 2018).

Soekarno adalah anak yang mencintai buku—sedari kecil Soekarno selalu membaca di Perpustakaan theosofi, kemudahan itu ia dapat karena ayahnya merupakan anggota dari perkumpulan theosofi. Kecintaannya kepada buku semakin menjadi-jadi ketika Soekarno mondok di rumah Tjokroaminoto. Dalam otobiografinya, ia mengatakan, “Aku duduk dekat kakinya (Tjokroaminoto) dan diberikannya kepadaku buku-bukunya, diberikannya kepadaku miliknya yang berharga,” (Sitompul, historia.id, 2018). Tjokroaminoto adalah orang yang terdidik, ia tahu bahwa membaca adalah cara yang ampuh untuk memerdekakan pikiran, maka ia mendidik Soekarno muda untuk mencintai buku.

Kemudian Muhammad Hatta, ia merupakan sosok yang cerdas dan datang dari keluarga terdidik. Sejak 6 tahun, ia sudah bisa membaca dan sudah sering membaca koran—melalui kecerdasannya itu, ia berhasil mendapat beasiswa pendidikan di Belanda. Hatta juga merupakan sosok yang dikenal sangat mencintai buku. Salah satu quote-nya yang sering dikutip hingga sekarang adalah, “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Hal itu benar-benar dilakukan Hatta, ketika ia diasingkan ke luar Jawa oleh pemerintah Belanda, Hatta selalu membawa buku-bukunya—bahkan dirinya sendiri dan orang lain seringkali kewalahan untuk membawa buku-bukunya kemanapun ia pergi (Sitompul, historia.id, 2020).

Buku adalah sumber informasi, semakin banyak informasi yang seseorang dapatkan, maka pengetahuannya akan semakin luas. Banyaknya informasi yang didapat akan menghasilkan pemikiran yang kritis, karena secara tidak langsung terjadi dialog di dalam pikiran diri sendiri. Bertemunya fakta-fakta dari buku-buku yang ditulis oleh beragam orang akan membentuk pemahaman yang komprehensif. Pengetahuan akan tersusun dalam simpul-simpul informasi yang membawa kita pada kesimpulan yang paling baik dari hasil pemahaman bacaan.

Buku adalah sumber kemerdekaan dalam berpikir. Proses membaca dan mencari bahan bacaan adalah kemerdekaan dalam berpikir yang sebenarnya. Ketika kita bisa membaca apapun informasi yang kita suka dan kita butuhkan, disitulah letak kebebasan berpikir itu. Pikiran kita merdeka untuk melahap segala jenis ilmu yang akan membawa kita menjadi manusia merdeka seutuhnya.

Keberuntungan dari tiga tokoh diatas adalah mereka memiliki akses dan budaya membaca yang kuat. Akses, tidak semua orang di zaman itu bisa mendapat pendidikan dan mendapat bahan bacaan yang banyak seperti Soekarno di perpustakaan, dan Hatta ketika ia belajar di Belanda. Ketiga tokoh tersebut beruntung memiliki akses yang baik untuk bisa memerdekakan pikiran mereka dengan membaca buku. Kemudian, budaya, inilah yang menjadi penting—karena meski akses sudah ada, tetapi tidak diiringi dengan budaya membaca, maka hasilnya akan sama saja. Dan inilah sebenarnya permasalahan kita di era sekarang.

Di abad 21, informasi adalah hal yang gratis dan tidak terbatas. Asalkan kita memiliki koneksi internet, maka kita bisa bebas mengakses informasi. Tentu ini berbanding terbalik dengan zaman dahulu, ketika akses informasi sangatlah sulit. Di zaman Soekarno dan Hatta, tidak semua orang memiliki akses terhadap bahan bacaan, sekarang semua orang bisa mendapatkan hal itu.

Benar adanya, tidak semua orang memiliki akses internet, tetapi kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa akses internet sudah semakin membaik secara kuantitas sekarang ini. Di Indonesia saja, sudah ada 175,2 juta orang yang sudah mengakses internet (Haryanto, 2020)—angka itu sudah melebihi 50% jumlah penduduk di Indonesia.

Dan ini merupakan sesuatu yang baik untuk kemerdekaan manusia dalam berpikir. Akses informasi adalah barang mahal ketika zaman dahulu. Di Eropa misalnya, dahulu informasi hanya bisa diperoleh dari perpustakaan-perpustakaan besar yang dikelola oleh negara (Harari, 2017). Sumber utama pengetahuan biasanya adalah institusi negara dan agama, sehingga informasi dari pemegang kekuasaan tersebut selalu menjadi rujukan. Hal ini amat berbahaya, karena kepentingan elit kekuasaan bisa saja menyetir opini publik.

Hal seperti ini pernah disinggung oleh Filsuf Prancis bernama Michel Foucault, ia mengatakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh rezim penguasa yang berkuasa demi kepentingan mereka sendiri (Kali, 2013). Hal ini membuat individu menjadi tidak merdeka dalam berpikir, karena informasi datang dari satu arah dan seringkali kebenaran menjadi kepentingan yang bisa disetir oleh elit, disinilah letak tidak merdekanya pikiran.

Misalnya kita kontekstualisasikan ke zaman penjajahan Hindia Belanda di Indonesia. Koran pertama yang terbit di zaman itu adalah Bataviasche Nouvelles, syarat berdirinya adalah bahwa koran tersebut harus menghindari debat politik dan hidup matinya terbitan tersebut sangat ditentukan oleh kemauan petinggi-petinggi VOC (Rundjan, 2019). Kita bisa lihat, bagaimana informasi untuk publik dikuasai oleh elit hanya untuk kepentingan penguasa. Dalam hal ini kesadaran masyarakat pribumi sangat sulit dipupuk karena terbatasnya sumber informasi.

Hanya orang terdidik dan memiliki modal ekonomi seperti Tjokroaminoto, Soekarno, dan Hatta yang bisa mendapat akses informasi dari buku waktu itu. Tetapi sekarang, siapapun bisa mengakses hal tersebut, yang perlu dipupuk adalah budaya membaca dan memilih bacaan yang penting, atau sering disebut dengan konsep literasi digital. 

Maka jelaslah, kebebasan informasi sekarang adalah anugerah yang patut untuk disyukuri. Sekarang, akses buku digital, jurnal, dan informasi apapun tersedia di internet. Kemerdekaan dalam berpikir harusnya tumbuh subur di era sekarang, hanya saja apakah kita mau menjemput kemerdekaan itu dengan membaca?

Daftar Pustaka

Harari, Y. N. (2017). Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Haryanto, A. T. (2020, Februari 20). inet.detik.com. Retrieved 10 28, 2020, from https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-indonesia

Kali, A. (2013). Diskursus Seksualitas. NTT: Ledalero.

Raditya, I. N. (2018, Desember). tirto.id. Retrieved 10 3, 2020, from https://tirto.id/sejarah-hidup-hos-tjokroaminoto-pemimpin-abadi-sarekat-islam-dcbE

Raditya, I. N. (2018, Agustus 18). tirto.id. Retrieved 10 28, 2020, from https://tirto.id/proklamasi-kemerdekaan-ri-bermula-dari-nyali-hos-tjokroaminoto-cSRw

Rundjan, R. (2019, Februari 19). geotimes.go.id. Retrieved 10 28, 2020, from https://geotimes.co.id/kolom/media/jejak-pers-belanda-koran-koran-kompeni-1/

Sitompul, M. (2018, Juni). historia.id. Retrieved 10 28, 2020, from https://historia.id/kultur/articles/si-bung-dan-buku-DWeG1/page/1

Sitompul, M. (2020, Mei 18). historia.id. Retrieved 10 28, 2020, from https://historia.id/histeria/articles/repotnya-membawa-buku-bung-hatta-v22z5/page/1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi