Pentingnya Pendidikan Seksualitas di Era Masyarakat Informasi

Seksualitas selalu berhubungan dengan kekuasaan. Kurang lebih itulah salah satu inti dari pemikiran Michel Foucault, seorang filsuf asal Prancis yang sering membahas tentang seksualitas. Menurutnya, sepanjang sejarah peradaban manusia, seksualitas selalu didefinisikan oleh penguasa (Kali, 2013). Entah itu dianggap tabu atau tidak, semuanya bergantung pada siapa penguasa yang memimpin dan mendefinisikan hal tersebut. Foucault meneliti bagaimana seksualitas dikonsepsikan di masyarakat pada tiga periode sejarah yang berbeda.

Pertama, di zaman Greco-Roman,[1] seksualitas dimaknai sebagai kebebasan masing-masing orang, karena tidak ada kekuasaan yang terpusat pada satu sumber pada waktu itu (Kali, 2013). Di zaman tersebut seksualitas tidak terlalu dianggap tabu dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam masyarakat.

Kedua, di zaman otoritas Gereja dan Victorianisme—dua penguasa ini membentuk seksualitas sebagai hal yang buruk dan tidak boleh menjadi perbincangan di masyarakat (Kali, 2013). Namun meski begitu, karena dilarang, perbincangan seksualitas menjadi menarik dan selalu menjadi perbincangan hangat di masyarakat.

Ketiga, zaman modern, dimana seksualitas dipelajari secara medis dan menjadi konsumsi publik kembali. Hal positif dari hal tersebut adalah penguasa mengontrol masyarakat untuk bisa membatasi perilaku seksualitasnya, yaitu dengan program Keluarga Berencana (KB) dan pembatasan-pembatasan yang lainnya.

Pembagian zaman itu memberikan corak pemahaman sendiri-sendiri bagi masyarakat dalam memahami seksualitas. Hal tersebut kembali lagi pada siapa otoritas yang menjadi penguasa pada zaman tersebut. Pertanyaan sekarang adalah bagaimana seksualitas diartikan di era sekarang?

Yang menjadi permasalahan di era sekarang adalah efek negatif dari berkembangnya informasi dan kapitalisme yang berpengaruh terhadap pemahaman seksualitas. Sekarang ini setiap hal dalam kehidupan manusia bisa dijadikan komoditas—yaitu sesuatu yang bisa dijual—salah satunya seksualitas. Contoh dari hal tersebut adalah banyaknya hal-hal negatif yang muncul seperti pornografi, aplikasi chat dewasa, dan lainnya yang tersebar di internet untuk kepentingan komersial. Namun sebelum kita berangkat lebih jauh tentang bagaimana cara menghadapi hal ini, kita akan bedah terlebih dahulu bagaimana informasi dan kapitalisme menjadi suatu masalah bagi seksualitas.

Kemudahan berbagai akses informasi yang ditandai dengan munculnya media massa disebut oleh Toffler sebagai ciri dari masyarakat informasi. Toffler membagi masyarakat menjadi tiga berdasarkan teknologi dan karakteristik yang dimilikinya. Pertama disebut masyarakat agraris, yang ditandai dengan bergantungnya masyarakat pada pertanian.  Kedua masyarakat industrialis, ditandai dengan berkembangnya industri, seperti munculnya pabrik-pabrik di masyarakat (Toffler, 1980). Dalam masyarakat informasi dunia menjadi semacam desa global karena media massa telah menghilangkan sekat-sekat pembatas bagi masyarakat untuk berkomunikasi

Sementara kapitalisme memanfaatkan hal ini sebagai peluang untuk menjual produk. Sekarang yang dibeli masyarakat bukan lagi nilai guna menurut Baudrillard, melainkan nilai prestise seperti kemewahan yang dimiliki suatu benda (Baudrillard, 1970). Termasuk dalam hal ini, seksualitas bisa dijual oleh kapitalisme dalam masyarakat informasi. Itulah mengapa, di youtube Indonesia misalnya, konten-konten seksualitas sangat digandrungi masyarakat. Misalnya konten “Menjual Celana Dalam Wanita”[2] dan konten lain yang mengekspos bentuk tubuh wanita.

Dalam pandangan Stuart Hall, media massa memiliki fungsi untuk menyebarkan nilai kultural yang sangat besar bagi masyarakat (Kali, 2013). Nilai kultural yang tersebar dari konten-konten yang buruk akan memberikan dampak buruk pula pada masyarakat, terutama anak-anak. Permasalahannya adalah pembahasan seksualitas di Indonesia  masih dianggap tabu oleh masyarakat, terutama oleh keluarga. Bayangkan, jika seorang anak tanpa pengetahuan seksual yang baik mengakses konten dewasa dari internet, mereka akan menganggap hal itulah yang benar, karena hal itu merupakan pengetahuan pertamanya mengenai seksualitas.

Padahal seperti penjelasan awal di tulisan ini, di era sekarang seksualitas sudah menjadi konsumsi publik. Di Indonesia ada sekitar 175,4 juta pengguna internet, lebih dari 64% masyarakat menggunakan internet (Haryanto, 2020). Dan itu terdiri dari orang dewasa hingga anak-anak, tanpa filter internet, siapapun bisa mengakses konten-konten dewasa di internet.

Sekarang kita hanya memiliki dua pilihan. Pertama membiarkan seksualitas menjadi tabu di lingkungan keluarga dan membiarkan anak belajar atau mencari tahu sendiri dari internet tentang hal yang tabu tersebut. Atau kedua, lembaga keluarga dan sekolah sebagai institusi penjaga nilai dan norma mengambil peran untuk memberikan edukasi pada anak-anak.

Maka pendidikan seks sejak dini, misalnya di Sekolah Dasar (SD) menjadi penting karena situasi sekarang media informasi menjadi sangat kuat dalam mempengaruhi anak. Sekolah sebagai salah satu agen sosialisasi harus memperkuat pengaruhnya dengan memberikan pendidikan seksualitas pada anak. Tentunya tidak pendidikan seks dibuat menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri, karena bisa menimbulkan gejolak di masyarakat, tetapi secara terselubung dimasukan ke dalam mata pelajaran moral ataupun olahraga—misalnya agama dan pendidikan jasmani.

Adapun yang mesti diajarkan kepada anak-anak hingga dewasa adalah sebagai berikut. Di usia 1-5 tahun anak sudah diberitahu nama-nama organ intim yang mereka miliki, serta diberi tahu, hal apa saja yang tidak boleh dilakukan orang lain terhadap organ intim mereka, ini menjadi penting karena di usia tersebut mereka rawan menjadi korban pelecehan seksual (Putri, 2019). Kemudian, di usia 5-8 tahun anak diajarkan peran gender, agar si anak mengetahui perannya sebagai laki-laki atau perempuan agar membentuk penerimaan yang baik di masyarakat. Dan di usia 8-12 tahun, di masa-masa pubertas, si anak diberi tahu tentang bagaimana cara merawat organ intim mereka, misalnya ketika menstruasi pada perempuan. Dan terakhir, di usia 12-18, karena anak biasanya sudah memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis, mereka di edukasi apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak terhadap lawan jenis pada waktu itu.

Tabu dalam keluarga memang sulit dihilangkan, tetapi sekolah sebagai institusi yang cukup fleksibel harusnya bisa lebih peka terhadap perubahan zaman. Media informasi dan karakteristik masyarakat informasi sekarang sudah berubah, termasuk pemahaman seksualitas di media massa yang makin hari makin bebas. Setidaknya memang diperlukan dua pendekatan untuk menghilangkan masalah ini.

Pertama adanya aturan bahwa konten dewasa di Youtube harus memiliki akses khusus atau bahkan dihilangkan saja, karena sangat merusak moral. Kedua agen sosialisasi sekolah menjadi garda terdepan untuk memberikan pengetahuan seks yang benar, sebagai tandingan konten-konten seksualitas dari internet. Jika itu dilakukan, maka negara kita akan lebih siap dan lebih baik lagi dalam menyikapi perubahan yang terjadi sekarang ini.

Daftar Pustaka

Baudrillard, J. (1970). Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Haryanto, A. T. (2020, Februari 20). inet.detik.com. Retrieved November 6, 2020, from https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-indonesia

Kali, A. (2013). Diskursus Seksualitas. NTT: Ledalero.

Toffler, A. (1980). The Third Wave. United State: William Morrow .



[1] Zaman Romawi, kira-kira 27 SM.

[2] Banyak sekali konten dewasa yang bisa diakses di youtube sekarang. Kita tinggal search konten seksual, maka akan banyak muncul konten-konten tersebut, tanpa filter, artinya siapapun bisa mengaksesnya, termasuk anak-anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Pembangunan sebagai Sebuah Kebebasan

Post-Truth: Verifikasi sebelum Emosi