Transformasi Budaya Belajar untuk Masa Depan Pendidikan Indonesia
Tepat pada tanggal 17 Agustus 2045 mendatang adalah genap 100 tahun berdirinya negara Indonesia. Tentu hal itu akan menjadi momen yang sangat bersejarah, karena berdirinya sebuah negara selama 100 tahun harusnya sudah bisa melambangkan kedewasaan sebuah bangsa. Dimana prestasi-prestasi harusnya sudah tercapai di usia yang sudah tidak muda lagi. Oleh karena itu, sejak sekarang bangsa Indonesia terus berbenah melakukan perbaikan infrastruktur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045.
Apalagi 2045 merupakan tahunnya generasi Z dan Milenial, generasi dengan usia produktif yang akan mengambil estafet kepemimpinan negara. Generasi Z dan Milenial yang berada di rentang usia 1997-2012 (untuk generasi Z) dan 1981-1996 (untuk generasi Milenial) sekarang ini berturut-turut berjumlah 75,49 juta dan 69,38 juta penduduk menurut Sensus Penduduk 2020 (Idris, 2020), yang jika keduanya di totalkan akan menjadi 144,81 juta dan merupakan 53,5% dari 270,20 juta penduduk Indonesia di tahun yang sama, itu artinya jumlah generasi ini telah melebihi 50% jumlah penduduk yang ada di Indonesia sekarang ini.
Di tahun 2045, generasi Z yang sekarang berusia minimal 9 tahun akan berumur 33 tahun dan yang tertua akan berumur 48 tahun. Sedangkan untuk generasi milenial, usia termuda akan berumur sekitar 49 tahun dan tertua akan berumur 64 tahun. Kedua generasi tersebut akan memenuhi kuota usia produktif, yaitu yang hidup di antara 15-65 tahun. Itu artinya, selain menjadi pemimpin bangsa, di tahun 2045 juga mereka akan memenuhi ruang-ruang pekerjaan di negeri ini.
Bahkan sebelum tahun 2045, tepatnya di tahun 2030, seperti yang banyak di prediksi oleh ahli pembangunan, Indonesia akan mengalami bonus demografi, dimana usia produkti jauh lebih tinggi dari usia non-produktif. Dalam rentang 2030-2040 diprediksi usia produkti akan mencapai 64% dari jumlah penduduk yang diproyeksikan sebanyak 297 juta jiwa (Asmara, 2020). Artinya perjalanan menuju 2045 adalah perjalanan usia produktif membangun bangsa yaitu di rentang waktu 2030-2040, sementara itu di tahun 2045 dua generasi ini akan menjadi pemimpin dan menikmati hasil produktif pembangunan selama rentang-rentang perjuangan di tahun 2030-2040.
Hal ini akan menjadi peluang besar ekonomi, sebagai momentum untuk bangsa ini menjadi negara maju, karena generasi ini diharapkan akan melakukan kegiatan produktif yang berdampak positif pada perekonomian negara. Tetapi hal ini juga merupakan tantangan besar, karena apabila harapan tersebut kandas, dan generasi ini nyatanya hanya membebani negara dengan bertambahnya jumlah pengangguran yang tentu akan berdampak pada kemiskinan, slogan Indonesia Emas adalah cita-cita yang menjadi isapan jempol belaka.
Negara seperti Brazil dan Afrika Selatan adalah contoh negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi. Di Brazil bonus demografi tidak termanfaatkan dengan baik karena kurangnya alokasi dana untuk perbaikan kualitas pendidikan, infrastruktur, dan penyediaan lapangan pekerjaan (wartaekonomi.co.id, 2020). Sementara di Afrika Selatan, lebih dari 50% usia produktif menganggur karena tidak memiliki kemampuan untuk diserap dalam dunia kerja (wartaekonomi.co.id, 2020). Hal tersebut kembali disebabkan oleh kurangnya kualitas pendidikan yang bisa memberikan kemampuan usia produktif untuk bersaing di dunia kerja.
Presiden Jokowi telah mewanti-wanti hal tersebut, salah satu fokus presiden adalah dengan membenahi infrastruktur, baru kemudian membenahi sumber daya manusia. "Pertama, sebagai pondasi, kita akan bangun infrastruktur. Ini sangat penting sekali," ujar Jokowi, berikutnya ia menambahkan "Oleh sebab itu saya mengingatkan, siapapun nanti pemimpinnya, yang namanya pembangunan sumber daya manusia menjadi kunci dalam rangka mengantarkan kita pada Indonesia emas di 2045” (Kuwado, 2020).
Tetapi seperti yang kita ketahui, bahwa janji Jokowi untuk membangun sumber daya manusia di era periode kepemimpinannya yang kedua terkendala pandemi. Bangsa ini sedang resesi, begitupun dengan bangsa-bangsa lain, jangankan membangun sumber daya manusia yang baik, bahkan sekolah-sekolah dan universitas yang dianggap sebagai tempat terbaik untuk membangun sumber daya manusia saja tutup. Lalu bagaimana hal ini bisa kita hadapi?
Melihat Sisi Baik dari Pandemi
Jika melihat pandemi dari satu sudut pandang saja, tentu hal ini adalah bencana global. Sebuah bencana yang lebih banyak efek negatifnya daripada positif—dari jumlah korban jiwa hingga kesulitan ekonomi adalah bukti nyata musibah pandemi bukanlah sesuatu yang diharapkan. Tetapi pernahkah kita berpikir bahwa pandemi ini adalah momen untuk beradaptasi dengan dunia baru, dunia yang akan kita hadapi beberapa tahun mendatang, yaitu dunia digital.
Setidaknya sekarang yang paling mungkin terjadi di masa depan adalah perpaduan yang sangat epik antara pendidikan dan teknologi. Dahulu, katakanlah di tahun sebelum 1960-an, ketika internet belum ditemukan, atau bahkan sebelum tahun 1998, ketika Google belum sepopuler sekarang informasi hanya bisa di dapat di perpustakaan. Sehingga kita butuh seseorang yang membaca di perpustakaan kemudian membagikan ilmunya kepada banyak orang yang tidak memiliki waktu dan akses pergi ke perpustakaan, orang tersebutlah yang kita namai sebagai guru (Harari, 2018).
Di era sekarang, di abad 21, informasi dikirim ke setiap rumah melalui ponsel dengan berbagi pilihan platform seperti youtube, Instagram, facebook, dan lain-lain. Semuanya gratis, kita tidak membutuhkan orang yang mengakses perpustakaan dan menunggunya setiap pagi di hari tertentu untuk mendengarkannya berceramah. Yang kita lakukan hanyalah mencari materi apa yang ingin kita pelajari dan boom, kita bisa mengakses pembahasan dari guru dari belahan dunia lain dengan hitungan detik. Dari professor Harvard yang berkicau melalui proyek podcast filsafatnya atau Guru China yang membagikan materi dasar Cara Melakukan Perbincangan dalam Bahasa Inggris.
Dan pandemi ini merupakan sebuah fenomena yang mempercepat itu semua. Fenomena zoom meeting, webinar online, platform belajar online menjadi sesuatu yang mudah ditemukan—kita akan sampai ke sana tentunya—tapi disadari atau tidak pandemi mempercepat proses itu. Dari yang mungkin fenomena online class terjadi 2030, pandemi mempercepatnya 5-10 tahun lebih cepat dan para guru, orang tua, dan murid dipaksa untuk menghadapinya (Bahtiar, 2020).
Adaptasi Budaya Baru Pendidikan
Penulis ingat sebuah pemikiran terkemuka dari seorang filsuf asal Jerman bernama Karl Marx. Ia pernah mengatakan bahwa kesadaran manusia itu dibentuk oleh infrastruktur (alat produksi, proses produksi) daripada oleh ide-ide (Ritzer, 2012). Pemikiran tersebut yang ia sebut dengan materialisme historis, sebuah pemikiran yang menurut penulis relevan sepanjang zaman.
Sederhananya begini, sebuah budaya atau kegiatan manusia adalah hasil dari alat produksi, yang bisa dibilang salah satunya sekarang ini adalah teknologi internet. Sebuah teknologi yang mengubah banyak hal, termasuk proses pendidikan. Kelas menggunakan zoom, tugas menggunakan google task, atau seminar-seminar di youtube yang bisa ditonton ratusan bahkan ribuan orang adalah sebuah adaptasi baru bagi pendidikan.
Tugas kita selaku murid dan guru bukan menghindar atau menolak, melainkan adaptasi. Karena sekuat-kuatnya kemampuan sapiens (manusia) adalah adaptasinya yang luar biasa (Harari, Sapiens Sejarah Singkat Umat Manusia, 2017). Meski seperti kata Marx, hal tersebut akan terjadi secara alamiah, artinya manusia pasti mengubah sikap karena teknologi, tetapi jangan sampai kita ketinggalan dalam adaptasi, ketertinggalan dalam adaptasi itu menyakitkan, karena itu membuat kita menjadi tidak relevan.
Budaya ingin tahu adalah budaya yang harus tumbuh di era digital. Semboyan semua tempat adalah sekolah terwujud di era digital. Kapanpun dan dimanapun tempat yang memiliki koneksi internet kita bisa belajar. Satu hal kuncinya kita mau menggunakan atau tidak—kita memilih membuka sosial media atau membuka channel youtube pembelajaran.
Budaya inilah yang mesti kita bangun—budaya alamiah seperti kata Marx akan muncul, budaya itu seperti budaya belanja online, budaya silaturahmi online, atau budaya lain yang sebenarnya lebih kepada kegiatan konsumsi daripada produksi. Karena produksi selalu berat, produksi ilmu dalam otak memerlukan berpikir ber jam-jam di depan layar melihat konten edukasi, produksi konten edukatif perlu riset mendalam melalui kebutuhan pasar. Pilihannya kita akan terus konsumsi atau produksi?
Memproduksi Konten Berkualitas
Saya ingat kembali perkataan seorang filsuf asal Italia, namanya Antonio Gramsci. Gramsci yang juga pemikirannya dipengaruhi oleh Marx pernah mengatakan bahwa budaya merupakan hal yang paling bisa mengubah banyak orang, sayangnya budaya itu diciptakan elit atau sekelompok orang berkuasa untuk memperkokoh kekuasaannya (Ritzer, 2012).
Contohnya begini, orang berkuasa yang punya modal dalam stasiun televisi tidak akan peduli dengan pengetahuan penontonnya, yang mereka ciptakan adalah budaya populer yang bisa ditonton banyak orang, seperti acara yang kurang mendidik hanya untuk menjadikan masyarakat sebagai konsumen. Lagi-lagi kepentingan mereka adalah rating untuk bisa menjual barang yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan oleh masyarakat—mereka tidak akan peduli dengan dengan kapasitas pengetahuan masyarakat untuk perbaikan hidup masyarakat, yang salah satunya dimulai dari pengetahuan.
Maka kata Gramsci, diperlukan intelektual organik, sekelompoko intelektual yang mau turun ke masyarakat dan memberikan pengetahuan demi kemajuan masyaarakat (Ritzer, 2012). Mereka yang benar-benar peduli pada peningkatan kapasitas masyarakat dengan memberikan pengetahuan. Dan di era digital seperti sekarang bisa saja dimodifikasi dengan cara dibuatkan adaptasi budaya baru sebagai seorang intelektual. Yaitu orang yang sebenarnya tidak perlu turun ke masyarakat, tetapi melalui kameranya di rumah dengan rekaman bisa memproduksi konten berkualitas dan menyebarkan nya secara cuma-cuma kepada masyarakat luas.
Intelektual di Era Digital
Perubahan di era digital turut mengubah cara kerja intelektual, meski perannya tetap sama, yaitu yang menurut Edward Said, adalah mereka yang berani menyuarakan kebenaran untuk kepentingan orang banyak, terutama orang tertindas (Said, 1998). Intelektual menurut Said bukan orang yang berada di menara gading, tetapi mereka yang mau turun ke masyarakat dan mewakili suara mereka untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat.
Di Indonesia, peran intelektual identik dengan mereka yang berkecimpung di dunia universitas, seperti dosen dan mahasiswa. Dosen dianggap sebagai akademisi yang tidak boleh berpihak kepada kekuasaan karena menginginkan jabatan, sebaliknya dosen harus berani berkata benar meski hal itu bisa mengancam kedudukan profesinya sebagai dosen. Sedangkan mahasiswa, posisinya jelas, yaitu mereka orang terdidik yang beruntung bisa mendapatkan akses pendidikan dan harus bisa menjadi intelektual organik seperti yang disampaikan Anthonie Gramsci, yaitu sebagai orang yang bisa memberikan penyadaran kepada banyak orang akan pentingnya perjuangan melawan ketidakadilan. Lalu bagaimana semua ini berhubungan? Bagaimana mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045 melalui peran dari para intelektual ini di era digital..
Disinilah peran intelektual bisa dimulai, yaitu dengan cara menyebarkan konten-konten edukatif yang informatif sekaligus menggugah semangat banyak orang. Apakah ini efektif? Penulis berpendapat ini akan sangat efektif, apalagi di era digital seperti sekarang. Dahulu intelektual yang produktif adalah intelektual pembuat buku yang produktif, di era sekarang sangat mungkin bahwa intelektual yang produktif disandingkan dengan orang yang membuat film dokumenter yang memuat cerita edukatif dan inspiratif. Jika kita pikirkan ini hanyalah perubahan media atau alat—dan dunia sedang menuju ke arah sana, ke industri gambar yang bergerak, meski memang tidak ada salahnya juga memproduksi buku—tetapi bukankah banyak juga buku yang di buat film di era saat ini?
Para intelektual yang tidak bisa menggunakan teknologi tidak akan bisa relevan di masa depan, apalagi dalam upaya penyebaran kesadaran kepada masyarakat. Di Amerika ada sebuah channel youtube bernama Crash Course yang membagikan video pembelajaran dan kursus secara gratis. Kontennya pun tidak dibuat seadanya, melainkan menggunakan kemampuan videografi yang mumpuni dengan materi yang sangat bermanfaat. Materi-materi seperti How to Be Entrepreneur, Media Literacy, Film Maker dan yang lainnya dibuat dengan apik dan disampaikan oleh profesional-profesional muda yang memiliki keahlian di bidangnya.
Di Indonesia juga ada platform pendidikan digital yang berkualitas, namun sayangnya berbayar. Bahkan platform tersebut bekerja sama dengan pemerintah untuk bisa mendulang banyak uang bagi platformnya. Sementara di youtube Indonesia konten-konten yang berbau seksualitas dan kontroversi bebas dan digandrungi masyarakat dan diakses secara gratis pula.
Maka dari itu, peran intelektual untuk mempersiapkan masyarakat di era 2045 adalah membuat konten-konten tandingan yang jauh lebih bermutu. Para dosen dan mahasiswa sebagai intelektual harus memiliki kemampuan membuat konten edukatif yang dikemas dengan sekreatif mungkin.
Bayangkan, jika para dosen bisa membuat video pembelajaran di youtube dengan kualitas terbaik, maka akses ke masyarakat akan menjadi mudah dan itu gratis. Dan bayangkan pula, jika mahasiswa sarjana pendidikan membuat video pembelajaran gratis dengan animasi yang unik untuk anak-anak jenjang SD-SMA, maka semakin banyak ruang belajar bagi generasi tersebut.
Peluang digital di Indonesia sangatlah tinggi, infrastruktur yang pemerintah janjikan tentunya salah satunya infrastruktur internet. Jika sekarang di tahun 2020 pengguna internet di Indonesia adalah sebesar 196,7 juta jiwa, lebih dari setengah penduduk di Indonesia, maka bukan tidak mungkin dalam jangka waktu 5-10 tahun jumlahnya bisa menyeluruh ke pelosok Indonesia. Jadi akses pendidikan digital sebenarnya adalah yang paling masuk akal dan cepat untuk bisa disebarkan.
Dalam jenjang panjang menuju 2045 peran intelektual adalah menyediakan pendidikan gratis untuk semua melalui platform digital. Intelektual harus mengambil peran dengan memproduksi konten-konten edukatif yang bisa diterima secara cuma-cuma. Konten kursus praktis seperti fotografi, content writer, atau bahkan konten gagasan seperti cara berpikir kritis, sejarah intelektual bisa memberikan pemahaman dan membuat sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
Maka dari itu, saya membayangkan bahwa intelektual di beberapa tahun kedepan adalah mereka yang bisa memanfaatkan teknologi digital untuk membagikan pengetahuan dan penyadaran bagi masyarakat. Ini bukan hal yang tidak mungkin, dan pandemi ini adalah katalisator untuk mempercepat hal itu. Bahkan permasalahan global dalam pemerataan pendidikan bisa sedikit teratasi apabila akses internet sudah merata. Sembari membayangkan akses internet merata, kenapa para intelektual tidak menyiapkan konten-konten berkualitas untuk menyambutnya?
Apakah ini Akan Bekerja?
Membayangkan banyaknya konten-konten negatif di internet, sebenarnya ide tulisan ini sederhana, setiap orang yang terdidik harus bisa membuat konten terdidik sebagai bentuk tanggung jawab pada masyarakat. Kenapa demikian? Karena kita tidak akan bisa membiarkan konten negatif terus-terus menguasai pasar, dan masyarakat mau tidak mau tidak memiliki alternatif konten.
Di luar negeri banyak sekali konten positif seperti konten belajar Bahasa Inggris, peningkatan skill, motivasi dan lainnya, di Indonesia, memang ada tetapi masih kalah jauh dari segi kualitas dan kuantitas. Para dosen, para mahasiswa, bahkan institusi kampus harus mengembangkan sebuah tim dan teknologi untuk beradaptasi membangun konten edukatif di Internet.
Contoh paling keren menurut penulis adalah konten dalam youtube Universitas Leiden, Belanda. Disitu seorang dosen filsafat berambut panjang menjelaskan dalam setiap video pembelajaran yang mudah dipahami untuk mahasiswanya dan untuk masyarakat. Video-video yang dibuat telah dilihat oleh ratusan ribu bahkan jutaan orang—bauyangkan jika dosen tersebut hanya menjelaskan materinya di dalam kelas, tentu tidak akan sebanyak itu.
Baiknya, misalnya seorang dosen menjelaskan materi dalam sebuah video, kemudia di dalam kelas, dosen tersebut berdiskusi hasil pembelajarannya dengan mahasiswa. Maka akan lebih banyak proses bertukar pikiran daripada dosene menjelaskan materinya langsung ketika jam pelajaran—mahasiswa pun akhirnya bosan dan belajar jadi tidak efektif. Itu sangat efektif, kenapa demikian? Karena video yang dibuat dosen tersebut bahkan bisa digunakan terus menerus untuk mahasiswa lain dan mungkin hanya diubah ketika ada peningkatan materi belajar.
Membangun Harapan di Masa Depan
Kita selalu berpikir bahwa pandemi adalah kemunduran dalam belajar, karena selain pengetahuan setiap murid perlu interaksi untuk memperdalam pengetahuannya, tetapi kita tidak punya pilihan? Pandemi tidak bisa kita hiraukan begitu saja dan nyawa tentu jauh lebih berharga dari apapun. Yang bisa kita lakukan adalah adaptasi di segala lini untuk tetap menjaga dan meningkatkan pemahaman setiap murid.
Tapi kita luput satu hal, ternyata dunia memang bergerak ke arah sana, bergerak ke arah digitalisasi massif ada ataupun tidak ada pandemi—pandemi hanya mempercepat perubahan ini. Budaya ingin tahu tetap menjadi kunci dari setiap perubahan apalagi di era digital—kita tidak boleh hanya disetir oleh pasar, kita harus mendobrak perubahan dengan mendorong sedikit diri kita untuk belajar hal produktif dari internet.
Selain itu peran intelektual jadi penting, apalagi dalam hal adaptasi pendidikan. Intelektual harus mendobrak kebiasaan lama dan beradaptasi membuat konten edukatif untuk melawan konten negatif. Peran intelektual di era digital adalah mereka yang mampu membuat konten pembelajaran dengan menggunakan teknologi.
Maka dengan dua hal ini, masyarakat yang mampu belajar dan intelektual yang mempersiapkan tempat untuk itu penulis optimis di tahun 2045, serratus tahun Indonesia merdeka perubahan besar akan terjadi, minimal masyarakat siap menyambut perubahan lain di bidang teknolog seperti teknologi robotic—tetapi sebelum kesana kita bangun dahulu pemikirannya dengan adaptasi teknologi digital dalam belajar melalui masyarakat yang terbuka akan ilmu dan intelektual yang memproduksi ilmu tersebut.
Daftar Pustaka
Asmara, C. G. (2020). cnbcindonesia.com. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/news/20200124170909-4-132578/100-tahun-merdeka-2045-penduduk-ri-tembus-300-juta-jiwa
Bahtiar, F. W. (2020). ekbis.sindonews.com. Retrieved from https://ekbis.sindonews.com/read/95000/34/pandemipercepatdisrupsidigital1594249628?showpage=all
Harari, Y. N. (2018). 21 Adab untuk Abad 21.
Manado: CV> Global Indo Kreatif.
Idris, M. (2020). money.kompas.com.
Retrieved from https://money.kompas.com/read/2021/01/22/145001126/generasi-z-dan-milenial-dominasi-jumlah-penduduk-indonesia?page=all
Kuwado, F. J. (2020). nasional.kompas.com.
Retrieved from dari
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/27/15123691/ini.strategi.jokowi.menuju.indonesia.emas.2045.
Said, E. (1998). Peran Intelektual.
Jakarta: Pustaka Obor.
wartaekonomi.co.id. (2020). wartaekonomi.co.id.
Retrieved from
https://www.wartaekonomi.co.id/read272160/manfaatkan-bonus-demografi-ri-perlu-contek-jepang?page=2
Komentar
Posting Komentar